Hubungan persahabatan Janubi dan Syamali terus berlanjut dari hari ke hari. Tanpa terasa, satu tahun telah berlalu. Setelah keluar dari program asrama, Syamali si Anak Rantau melanjutkan perjuangan kuliahnya dengan tinggal sebuah kamar kos yang berada di Jl. Kerto Leksono No.21, 120 meter dari kampus.
Ia pernah berkata pada Janubi bahwa ia tidak akan pulang ke Samarinda, kecuali saat lulus. Ia mengatakan bahwa ingin lulus kuliah tepat waktu dengan predikat cumlaude. “Aku ingin pulang lebih cepat dan segera membantu Ibu di rumah.”
Saat itu, Janubi tidak tahu harus membalas apa. Membaca kata “pulang” pada SMS Syamali, membuatnya resah. Tak terasa satu tahun telah berlalu. Dan ia belum mengungkapkan perasaannya.
Pagi itu ia melihat Syamali dan Riana yang bersimpangan jalan dengannya di depan Gedung Fakultas Humaniora. “Syamali,” panggilnya.
Syamali menoleh ke arahnya. “Iya Kak Janubi.”
“Nanti kita makan siang bareng yuk.”
Syamali tidak langsung menjawab. Riana heran melihat Syamali tak merespon. “Iya, Kak Janubi,” sahut Riana.
“Ria!” Syamali melotot.
“Udahlah, bilang ‘ya’ aja susah amat.”
“Oke nanti aku tunggu di depan Gedung Rektorat!” Janubi meneruskan perjalanannya dengan ke tiga temannya, Nanda, Dahlan, dan Najib, menuju ruang masing-masing.
Riana adalah sahabat yang paling banyak menghabiskan waktu dengan Syamali. Alasan paling utama adalah karena Riana adalah satu-satunya teman sekamar asrama yang sejurusan. Alasan kedua adalah karena Riana yang blak-blakan. Jika suka mengatakan suka, jika benci mengatakan benci. Syamali banyak menemui hampir rata-rata semua orang, antara yang diucapkan yang dibatin dengan lisan, selalu bertolak belakang. Dan hal itu tidak ditemukannya pada Riana.
Dalam perjalanan menuju kelas, Syamali melihat beberapa anak-anak perempuan dari Prodi bahasa Arab yang sedang duduk-duduk sambil membaca Quran. Timbullah rasa kangen terhadap Ning Mala. Sayangnya, Ning Mala berada di fakultas lain, sehingga jarang bertemu.
Baginya, pengalaman setahun di asrama yang paling berkesan adalah dengan Ning Mala. Dalam waktu satu tahun itu ia diajari cara membaca Quran. Ada suatu momen di mana air matanya jatuh dan sebuah jari-jemari yang halus mengusap tangisnya. Saat ia mendongak, ia melihat guru spiritualnya itu tersenyum manis kepadanya.
“Kita mau ke mana?” tanya Syamali di atas mobil yang melaju di tengah Alun-Alun Tugu Kota Malang. Ia memenuhi janjinya tadi pagi terhadap Janubi untuk makan siang bersama.
“Aku mengajakmu untuk memperbaiki gizimu. Kita makan seafood.”
Ia tertawa mendengar jawaban Janubi saat itu. Ia merasa senang, tapi sebenarnya ia tidak menginginkan itu. Ia tidak ingin Janubi mendekatinya hanya karena kasihan. Beberapa waktu lalu, ia sempat mengatakan pada Janubi bahwa hampir setiap hari ia makan mi instan untuk menghemat pengeluaran.
Saat itu Janubi bergurau, “Kamu mau bunuh diri pelan-pelan?”
“Walau pun gini, IPK-ku di atas tiga koma sembilan tahu, artinya otakku tidak mati.”
Ada hal lucu tentang mi instan dalam hidupnya. Mundur setahun sebelumnya, ia mendapatkan ilmu membuat mi instan ala pesantren yang unik dari Ning Mala. Caranya dengan memasukkan air panas langsung ke dalam bungkus mi instan dan menunggunya mengembang. “Ini adalah masak mi ala pesantren,” kata Ning Mala setahun lalu saat masih di Asrama Banafsajun.
“Wah praktis ya Ning?”
“Syamali!” ucap Janubi membuyarkan lamunannya.
“Iya, Kak.”
“Sudah sampai.”
Syamali keluar dari dalam mobil. Ia membaca plakat besar di depan resatauran itu, Ocean Park.
“Selamat datang Kak Janubi,” sambut salah seorang pelayan begitu Janubi dan Syamali masuk.
Syamali mengikuti Janubi dari belakang dan melihat beberapa orang menyapa Janubi. Saat duduk, Janubi memberikan buku menu padanya. “Kak, kayaknya semua orang di sini mengenalmu,” ungkapnya setelah membaca beberapa menu.
“Iya, aku pelanggan setia di sini. Sudah, mau pesan apa?”
“Lele ada?”
“Mali.” Muka Janubi menciut. “Ini seafood, bukan lalapan.”
“Apa ya, aku tidak tahu ... menu-menunya asing.”