“Benarkan hari ini cuaca buruk.” Syamali menoleh ke arah Janubi penuh kemenangan.
Janubi berhenti menatap langit. Ia memejamkan mata sejenak. Tanpa memandang Syamali, ia berkata, “Ternyata kamu memang gadis peramal cuaca.”
Gerimis tipis turun dengan lembut membiak daun daun di pohon kota. Angin berhembus mendinginkan hawa. “Jarang ada orang yang paginya melihat berita perkiraan cuaca yang akan mendung, lalu berangkat bekerja sembari membawa payung,” sindir Syamali.
Saat ia merasa menang atas Janubi yang sudah terpojok dalam perkataan, tiba-tiba ia merasakan ada pelukan hangat dari punggungnya. Saking terkejutnya, ia sampai tidak mampu menoleh ke kiri. Kepalanya hanya menunduk. Kedua pipinya memerah malu. Tangannya menyentuh benda yang merangkul tubuhnya, sebuah jaket parka kini telah menyelimutinya dari dinginnya udara.
“Tapi, aku tidak lupa membawakanmu jaket. Setidaknya, aku tidak membiarkamu kedinginan.”
Syamali semakin tersenyum malu-malu mendengar perkataan itu. Ia tidak mampu berbicara saking dag-dig-dugnya.
“Ayo, kita tidak bisa berlama-lama di sini,” lanjut Janubi.
Mereka berjalan menuju trotoar. Di depan zebra cross, mereka melihat sepasang kekasih sedang menyeberang mendahului mereka. Sepasang kekasih itu berpegangan tangan untuk melewati aspal loreng putih. Sang lelaki terlihat jelas menggamit tangan sang gadis.
Sambil menunggu rambu lalu lintas ke arah selatan kembali berwarna merah, mereka diam tanpa kata. Janubi melirik ke bawah. Ia memperhatikan tangan kiri Syamali. Ada niatan untuk memegangnya. Tetapi, ia tidak punya nyali. Sementara itu, teologi tidak memperbolehkannya berleluasa.
Sementara itu, Syamali sendiri merasa sebentar lagi Janubi akan mengenggam tangannya. Dengan ragu, ia menoleh perlahan ke Janubi. Begitu menangkap basah Janubi sedang memperhatikan tangannya, ia melihat Janubi segera membuang pandangan ke depan.
Begitu lampu merah menyala, mereka berdua segera menyeberang. Tanpa kata, mereka berjalan sejajar menuju toko buku.
Begitu selesai membeli beberapa buku, Janubi dan Syamali langsung keluar meninggalkan toko buku. Sebelumnya, keduanya mengambil tas bahu berbahan kulit milik Janubi yang dititipkan di lobi. Buku-buku yang mereka beli dimasukkan ke dalam tas itu.
Sekarang, mereka hanya terdiam di depan pintu utama toko buku tersebut. Hujan yang kini sedang mengguyur deras, menjebak mereka di depan toko buku. Sepasang sahabat perempuan berpayung mendahului mereka. Disusul oleh sepasang kekasih yang bernaung pada satu payung, berpetualang mengarungi derasnya hujan. Janubi kesal hujan membatasi geraknya hari ini. Padahal, ini hari istimewa. Sebabnya, ia bisa mengantar Syamali menonton film di bioskop untuk pertama kali bagi Syamali. Apabila hujan tidak lekas reda, kemungkinan ia gagal mewujudkan hal itu.
Ia bersandar pada tiang sambil memperhatikan Syamali yang berdiri dengan tenang. Ia melihat wajah Syamali yang teduh menatap hujan. Ia merasa Syamali mengabaikan kehadirannya. Hal itu semakin membuatnya membenci hujan. Ia menatap langit sejenak dan mengutuk hujan yang telah merebut perhatian Syamali atas kehadirannya.
Tiba-tiba, ia melihat bibir Syamali tersenyum lebar. Ia tidak tahu kebahagiaan apa yang dirasakan gadis itu. Hawa dingin membuat kulit wajah Syamali yang oriental semakin memutih, berkontradiksi dengan bibir Syamali yang semakin pekat merahnya. Ia terpesona lagi dan lagi. Rintik demi rintik hujan yang jatuh, melambat dalam pandangannya, terpengaruh oleh perasaannya yang terbuai kehadiran bidadari di depannya.
Bulir hujan deras yang tidak terhitung dan turun dengan cepatnya, melambat seperti seperti butiran permata bening yang jatuh. Dari butiran permata yang tidak terhitung jumlahnya itu, ia hanya melihat Syamali seorang, pengejawantahan keindahan perhiasan dunia.
Syamali sendiri sedang teringat pada masa-masa haid pertama, masa paling membingungkan dalam hidup, di mana ia bisa mendengarkan semua batin dan percakapan orang-orang. Hidupnya menjadi tidak tenang dan harus dipukuli oleh disonansi-disonansi psikologis yang hanya dirasakan olehnya.
Hujan bertindak seperti earphone dalam hidupnya. Hujan bisa mengalihkan kewaskitaan pendengarannya, untuk meredupkan setiap batin dan percakapan orang-orang di sekelilingnya. Aku menyukai hujan, suaranya membuatku tenang.
Hujan pun mereda. Mata Janubi dipenuhi rasa syukur. “Mali, ayo kita ke bioskop. Dua puluh menit lagi filmnya dimulai.”
“Iya,” jawab Syamali sembari mengikutinya.
Kali ini, mereka tidak berjalan beriringan. Syamali mengekor di belakang Janubi. Di depan zebra cross keduanya berhenti. Zebra cross itu membuat Janubi ingin mencoba lagi untuk menggenggam tangan Syamali. Ia melirik ke arah Syamali di samping kanannya. Melihat wajahnya yang anggun itu, matanya silau. Niatnya terurungkan.
Lampu merah belum menyala, tetapi jalanan sepi. Janubi memutuskan untuk menyeberang. “Ayo Syamali.” Ia berjalan mendahului.
Syamali berjalang di samping Janubi agak ke belakang. Janubi sudah berpijak di trotoar. Syamali berpijak beberapa saat kemudian dengan kaki kiri. Tetapi, jalanan yang licin membuatnya terlepeset. Apalagi ia mengenakan sepatu pantopel. Secara spontan, ia berteriak dan suara teriakan itu bercampur dengan suara napas yang tersekat di tenggorokkan. Tangan kanan Syamali terhempas ke atas, sedangkan badannya tak berdaya di udara.
Sontak, Janubi segera berbalik badan. Ia tidak mampu mendilatasi waktu terhadap Syamali. Sehingga, kecepatan waktu berjalan normal. Rasa takut gagal menyelamatkan Syamali secepat kilat menjalari badannya. Jantungnya berdegup kencang seolah membentur tulang rusuk. Sekuat tenaga, ia berusaha meraih tangan Syamali.
Tangan Syamali akhirnya teraih. Ia segera menariknya.