Di atas langit masih ada langit.
“Kita makan di sini!” Syamali terkejut, ia menatap sebuah rumah besar berlantai tiga. Hari itu ia diajak Janubi mengunjungi rumahnya.
“Iya, kita makan di sini. Kita masak bersama-sama.”
Janubi tersenyum. “Tenang saja, Papa dan Mama lagi ada bisnis properti di Jakarta.” Ia memperhatikan Syamali tidak percaya diri. “Tenang saja, di sini ada Mak Ti, kok. Jadi kita tidak berdua saja, ayo!”
Syamali mengikuti Janubi yang membuka pintu. Begitu masuk, matanya seketika menyapu seluruh ruangan. Baik di luar maupun di dalam, rumah itu memiliki desain yang unik. Ia melewati ruang tamu. Termpampang di sana, lukisan-lukisan yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
“Itu lukisan Papa,” ungkap Janubi.
Ia terkejut mendengarnya. Perkiraannya, lukisan itu didapat dari sebuah galeri seni. Ia meneruskan langkah mengikuti Janubi. Ada sebuah lukisan yang berisi api dan ular berkepala sembilan menyembur orang-orang di bawahnya yang tampak kecil seperti serangga. Lukisan itu cukup membuat imajinasinya terganggu sekaligus ternganga secara bersamaan.
Begitu masuk ruang tengah, Janubi berkata, “Kita langsung masak atau lihat-lihat dulu.”
“Kita lihat-lihat dulu.” Syamali penasaran dengan isi rumah itu.
Setelah puas mengelilingi rumah itu, Janubi mengajaknya ke kamar. Ia melihat Syamali bimbang. “Tenang aja, aku cuma naruh tas kok.”
Syamali lega. Ia mengikuti Janubi masuk ke kamar. Janubi menaruh tas di atas tempat tidur. Di ambang pintu, Syamali melihat-lihat dinding-dinding di kamar itu penuh dengan poster seperti, The Matrix, Valentino Rossi, tokoh-tokoh superhero; Batman, Superman, Iron Man, klub sepak bola; AS Roma dan FC Barcelona.
“Kamu memang benar-benar pecinta superhero.” ungkapnya dengan tidak beranjak dari tempatnya.
Janubi membuka jaket dan menaruhnya di gantungan. “Iya, mulai dari kecil, aku menyukai superhero karena dulu aku memimpikan menjadi mereka. Saat kecil aku terkena penyakit saraf yang menyebabkanku lambat dalam belajar dan bergerak. Poster-poster di sini, semua, adalah mimpiku sejak kecil. Aku ingin menjadi keren, tangkas dan kuat.”
“Kamu lebih cocok jadi Iron Man, Papamu kayak bapaknya Tony Stark.”
Janubi tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Tak disangkanya ternyata Syamali bisa selucu itu.
“Kok bisa gitu?” Ia duduk di atas tempat tidur.
“Ocean Park. Aku tahu loh itu punyamu.” Syamali berjalan mendekati meja belajar. Ia melihat pigura yang terpampang di atas meja belajar, terpaku di dinding. Ada sebuah nomor punggung nomor sepuluh, Lionel Messi, striker FC Barcelona. Ia berbalik badan. “Kenapa yang kamu pasang kok bukan wajahnya, tapi nomornya?”
Janubi bangkit dan berjalan mendekati Syamali. Ia bersidekap. Dengan arah mata ke kanan, mengusap hidung, tersenyum dibuat-buat, ia menjawab, “Pesepak bola idolaku ini akan memiliki gelar Balon D’or terbanyak dan akan pensiun di Barcelona.”
“Kok kamu tahu?” Syamali mengingat tiga gestur Janubi barusan. “Itu bukan cuma harapanmu saja, ‘kan?”
“Prediksiku tidak akan meleset.” Walaupun tidak melalui kontak mata secara langsung dan hanya melalui layar kaca, ia masih bisa menginersia seseorang. Ia tertawa kecil mengingatnya. “Kamu kok tahu tentang sepak bola?” tanyanya tanpa menatap Syamali.
“Karena aku suka Real Madrid. Ada Christiano Ronaldo di sana.”