Suara hati lebih kuat daripada suara lisan. Mata hati lebih kuat daripada mata pengelihatan.
Saat liburan kuliah, Syamali diajak Janubi pergi ke Coban Rondo, Pujon, Batu.
“Bagaimana kalau kita bermain?” Syamali menantang Janubi memasuki Taman Labirin Coban Rondo atau biasa disebut taman sesat.
Di bibirnya saat menantang, terpasang seuntai senyum merona. Ia sangat bahagia hari ini. Air Terjun Coban Rondo benar-benar membuatnya rileks, terutama indra pendengarannya dan yang paling utama adalah pada keindraannya yang lepas dari kelaziman manusia. Deru air terjun seperti suara hujan baginya. Ketenangan alamiah tercipta, sebuah ketenangan tanpa kabel earphone.
Di sana, secara alamiah ia melepaskan diri dari disonansi-disonansi. Seperti deras air yang jatuh ke bawah, cipatrannya menyebar bebas, tanpa beban. Jiwanya yang selama ini terbelenggu oleh segenap disonansi, hari ini melepas bebas menjadi partikel-partikel perawan. Dan ia ingin memainkan partikel-partikel itu dalam sebuah diorama pembuktian cinta pra-nikah dengan seseorang yang lebih dari sekadar ia cintai.
“Apa?” Janubi ikut tertantang.
“Kita main di sana!” Syamali menunjuk taman sesat itu. “Kita main pisah-pisahan. Masuk bersama untuk bertemu di dalamnya, mari kita saling mencari satu sama lain. Jika kita memang ditakdirkan bertemu, kita akan bertemu pada akhirnya.”
“Tentu saja kita akan bertemu.”
“Kamu tidak bisa memberiku garansi untuk bertemu lebih cepat. Kita akan bertemu, tapi kita tidak tahu kapan.”
“Kita menggunakan intuisi masing-masing.”
“Apa kau yakin dengan intuisimu?”
Janubi mendekatkan kepalanya ke arah Syamali dan menatap matanya yang penuh kemurnian. Syamali turut menatap matanya dan baginya hitam matanya dipenuhi teka-teki kolektif seratus kali lipat dibandingkan dengan bermain teka-teki untuk saling bertemu di taman sesat.
“Aku yakin. Menurutmu di dunia ini. Intiuisi apakah yang terkuat?”
Syamali menjauhkan kepalanya. Ia tidak tahan menatapnya. Walau ia menjauhkan tatapannya, ia merasa ada yang melekat dalam pandangannya. Tentang pertanyaan itu, ia pun mengingat-ingat sesuatu yang familiar dengan jari-jemarinya saat memegang pena, puisi. Beberapa detik berlalu.
“Rasa,” ungkap Janubi dengan wajah penuh kebanggaan.
“Maksudmu?” Syamali terkejut, ia berpikir apakah Janubi telah membaca pikirannya barusan.
“Rasa dapat mendahului logika. Rasa bergerak dinamis lagi idealis, sedangkan logika bergerak statis dan ritmis.”
Suara burung-burung di sana tiba-tiba seolah menghilang. Begitu pula suara air terjun yang menenangkan itu tiba-tiba lenyap, hening. Alirannya mandek. Membeku. Meskipun, tidak berada di suhu nol derajat celcius.
Pikirannya kembali ke masa SMA, saat dihibah tentang kedekatannya dengan Abid.
TARRR! Tiba-tiba ia mendengar bunyi gelas kaca yang jatuh.. Ia juga bisa mencium aroma ampas kopi yang tumpah. Tangannya gemetaran. Seseorang di belakangnya menanyainya. Tetapi, ia tidak menggubris. Yang jelas, jantungnya tiba-tiba berdegup hebat. Ia mengambil satu demi satu pecahan gelas kaca itu. Ia amat gugup, tertekan dan kecewa. Seirama dengan denyut jantungnya yang tak menentu, muncullah disonansi-disonansi di kepalanya. Bisikkan-bisikkan suprasegmental datang bertubi-tubi.
“Dia tidak punya teman, siapa yang mau berteman dengannya.”
“Aku tidak pernah menginginkan kehadiranmu di dunia ini.”
“Dasar miskin! Pecundang!”
“Dia hanya penjilat. Otaknya sakit!”
Ia terjebak dalam dimensi ambivalensi dalam rancangan pikiran yang ambivalen. Ia mengambil satu demi satu pecahan gelas yang berserakan. Suara-suara entah milik siapa tapi di lain cabang ia tahu itu suara siapa berplot secara kognitif dengan kompleksitas empiris. Gemetar tangannya gemetar. Ia mengambil pecahan gelas-gelas kaca itu dengan suara hati yang meraung. Raungan hatinya sendiri lebih mengganggu ketimbang bisikan-bisikan suprasegmental yang hadir.
Kegugupan membuatnya tak sengaja menekan salah satu ujung pecahan gelas yang tersepih di lantai. Lapisan kulit di ujung jari telunjuknya berdarah. Ia menaikkan jari telunjuknya untuk dilihatnya lekat-lekat.