Terima kasih Patih Gajah Mada, karena sudah mempersatukan Indonesia. Jika pulau-pulau di nusantara ini tidak menjadi Indonesia, niscaya aku tak akan berjumpa dengan Syamali.
Setelah Syamali berputar-putar di labirin itu, ia tak kunjung menemukan Janubi. Saat ia menguatkan telinga waskitanya, ia masih belum bisa mendengar kehadirannya. Dalam pencarian itu, bahkan ia telah menguatkan kewaskitaannya sampai berjuta-juta kilometer jauhnya, melampaui atsmosfer, menuju antarikasa, menuju jarak tahun cahaya. Tetapi, ia belum bisa berjumpa dengan Janubi.
Begitu pula Janubi, ia telah menginersia semua mata orang di depannya, apakah mereka semua nantinya akan bertemu Syamali, sehingga ia bisa menemukan titik koordinat Syamali berada. Pada akhirnya, ia hanya mereka-reka hatinya. Tidak pernah terpikir olehku, hidup di Malang. Lalu bertemu dengan Syamali yang berasal dari Kalimantan.
Syamali pun demikian. Ia menyadari sesuatu yang besar dalam suratan hidupnya. Janubi berasal dari luar Malang, begitu pula aku. Kita bertemu di kota ini. Aku dan dia seperti pengelana yang bertemu di suatu titik. Apakah di kota ini adalah final hidupku?
Sejak sama-sama merenungkan sesuatu tentang garis pertemuan itu, Janubi dan Syamali mulai meredupkan kekuatan masing-masing sampai padam sempurna. Begitu kekuatan mereka padam, mereka menggunakan satu-satunya kekuatan yang sebenarnya paling istimewa, cinta.
Setelah berjuang melewati jalan-jalan labirin yang berkelok-kelok, akhirnya mereka bertemu tepat di tengah labirin. Di depan air mancur setinggi setengah meter, mereka menatap mata satu sama lain. Kali ini tidak ada keraguan. Janubi mendekat dan memegang pergelangan tangan Syamali yang tertutupi lengan baju, tidak menyentuh kulintya. Ia berkata, “Ayo, kita mencari jalan keluar!”
Janubi dan Syamali berlari bersama melewati lekak-lekuk labirin. Selama pelarian, Syamali melihat sesekali Janubi menoleh, tersenyum, menyeringai bahagia. Apabila ia imamku, genggamlah tanganku sampai nanti, genggamlah tanganku sampai aku memecahkan misteri di dalam labirin kosmos ini.
Janubi yang sesekali juga menoleh ke belakang, memastikan Syamali tetap tersenyum. Selanjutnya, ia menoleh berkali-kali tanpa alasan karena cinta tidak membutuhkan alasan. Bagaimana nantinya, Syamali? Apakah kita bisa terus berlari seperti ini? Apakah aku dan kamu bisa melewati seluruh misteri dan kutukan ini? Selama aku tidak bisa mendilatasi waktu dan menginersia dirimu, nyatanya kamu adalah kekuatan terbesarku saat ini.
***
Dua setengah tahun kemudian ...
Hari-hari telah mereka lalui. Cinta membuat hari demi hari menjadi menarik. Dipenuhi teka-teki yang selalu menjadi candu untuk dipecahkan bersama-sama. Saking serunya, tanpa terasa Syamali sudah di semester akhir. Sementara itu, Janubi belum lulus. Ya, seperti kebanyakan mahasiswa seperti dirinya, rasanya tidak afdol kuliah, kalau belum sampai semester sepuluh.
Syamali sendiri sebenarnya diliputi kebimbangan, satu sisi ia ingin cepat lulus, satu sisi ia tidak ingin cepat lulus, karena ia tidak tahu bagaimana masa depannya dengan Janubi. Sampai saat ia memikirkan kebimbangan itu, Janubi belum menunjukkan itikad untuk melamar. Setiap kali ia memancing Janubi untuk membicarakan hal serius, Janubi selalu mengelak, menyelimur dengan hal-hal lain.
Terakhir kali ia bertanya, “Kak Janu, kapan aku kau ajak ke rumah lagi?”
Janubi tertawa. “Tenang, nanti akan aku ajak ke rumah kok.”
Saat itu, Janubi seketika mencoba sekuat tenaga untuk tidak bersikap mencurigakan, menyembunyikan sesuatu. Ia menyembunyikan bahwa dalam pandangan futurulogisnya dua setengah tahun yang lalu, ia melihat Papa, tidak merestui hubungannya dengan Syamali.
Sampai saat itu, saat Syamali mulai bimbang, ia juga memikirkan apa langkah selanjutnya. Ia takut Syamali cemas. Berkali-kali Syamali telah mencoba membujuknya untuk segera memberikan kepastian. Kepalanya pun pening malam itu saat memikirkannya. Gimana ya ini. Papa tidak merestui. Tetapi, dalam gambaran itu, Papa juga tidak bilang langkah apa yang akan ia ambil oh iya. Oh iya!
Ia pun bangkit dari telentang. Ia mengambil napas dalam. Dadanya membusung lalu mengempis lembut. Ia mengambil ponselnya dan menelpon Syamali.
Syamali yang tiduran begitu mendengar suara dering, lekas mengambil ponselnya.
“Assalamualaikum,” buka Janubi.
“Waalaikumsalam. Iya ada apa Kak?”
“Mali, besok ke rumah ya. Menemui Papa Mama.”
Syamali gugup menjawab. “I-Iya, baiklah.”
Dengan diantar olehnya, Syamali duduk di ruang tamu menghadap Papa dan Mama pada keesokan harinya. Sesuai dengan gambaran dalam pandangan futurologisnya, Papa lebih banyak bertanya daripada Mama. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah mengenai seluk-beluk keluarga Syamali yang bahkan ia sendiri belum pernah menanyakannya. Pastinya Syamali tersudut.
Selama ini, papanya belum tahu mengenai apa yang terjadi terhadap dirinya. Yang papanya tahu, ibunya, Inak, hanya menyerahkannya untuk diadopsi, itu saja. Ia merasa ini semua tidak adil. Secara otomatis, kepingan masa lalu kelam segera menerkam kepalanya begitu saja. Aku adalah seorang pembunuh dan keluargaku di Lombok carut marut. Tidak adil rasanya Papa menyudutkan keluarga Syamali. Tetapi, aku harus apa?
Selama Papa menanyakan pertanyaan tentang bagaimana kondisi ibunya Syamali sekarang, apa pekerjaannya, bagaimana bisa bercerai, ia melihat Syamali yang berusaha tetap tegar dan menghadapinya. Tetapi, ia tahu Syamali terluka. Saat pulang, ia meminta maaf padanya.
“Tidak apa-apa Kak. Setidaknya kita pernah mencoba.”
Pernyataan itu amat melegakan. Ia dan Syamali pun menjalani hari, pekan, bulan yang tersisa menuju hari kepergian Syamali setelah lulus. Ia harus segera menghubungi ibunya gadis itu. Ia gugup membayangkannya.
Namun ternyata, ia tidak perlu menghubunginya.
Saat itu Janubi dan Syamali duduk di bangku di tepi Jalan Ijen Boulevard seusai menikmati bakso legendaris Kota Malang, Bakso Presiden. Syamali ingin duduk tepi jalan itu. Kata anak-anak perantau yang lain, tidak lengkap rasanya kuliah di Malang kalau belum duduk di bangku tepi Jalan Ijen Boulevard. Walaupun toh hanya sebuah jalan biasa, namun pemandangan yang tersaji selalu menempel di kenangan.
Hari itu, harapan Syamali terkabulkan. Matahari akan tenggelam, duduk di ufuk barat untuk melukis langit menjadi senja. Udara yang hangat, semilir angin sore, melebur menjadi satu, menghidupkan suasana. Apalagi jalanan sedang sepi.