Jangan menyepelekan perempuan. Jika ia marah, otot kawatmu adalah cacing pita!
Saat sampai di kelas, ia melihat ponselnya. Pesannya sudah terbaca, namun belum ada balasan. Pasti kamu sibuk. Beberapa jam yang lalu, ia memberi pesan SMS kepada Janubi, “Kak, lagi apa?”
Begitu azan zuhur berkumandang, ia mengecek ponselnya lagi. Ada garis kemurungan karena pesannya belum juga dibalas. Hari itu ia merasakan ada yang berbeda dengan suasana hatinya. Sepulang dari kuliah, ia mengecek ponselnya lagi. Balasan belum juga datang.
Seusai mandi ia mengecek ponselnya lagi, namun masih belum ada balasan. Ia pun mengetik, “Kak, sibuk ya?”
Setelah pesannya terkirim, ia membuka laptopnya. Ia mulai melanjutkan penulisan skripsinya. Sembari mendengarkan musik, ia sesekali melirik ponsel, menunggu pesan masuk. Ada dering SMS kemudian. Dengan penuh semangat, ia menyahut ponselnya. Pundaknya menurun, ia mengeluh. Itu ternyata hanya SMS dari Riana. Sampai malam tiba, ia masih menunggu balasan dari Janubi sampai ketiduran. Paginya, ia mengecek ponsel. Lagi-lagi, belum ada balasan.
Seusai ke kampus hari itu, ia pergi bersama Riana untuk makan bersama di warung belakang kampus. Ia bernostalgia dengan sahabat-sahabat sekamar asrama dulu. Sudah lama ia dan teman-temannya itu berkumpul, makan bersama, ngobrol, seperti saat itu selepas meninggalkan asrama. Kesibukan perkuliahan di jurusan masing-masing adalah alasan terkuat.
Baginya, sebenarnya siang itu menjadi waktu bahagia untuk melepas rindu dengan sahabat-sahabat asrama. Namun, ia lebih banyak diam dan mendengarkan teman-temannya berbicara satu sama lain, Riana membicarakan rencana pernikahannya, Izzi membicarakan akan mengajar di mana setelah lulus, Ning Mala sebentar lagi akan memegang pesantren putri milik ayahnya, dan lain-lain.
Saat pesanan datang, ia makan dengan tidak bergairah. Kuah soto yang ia seruput, rasanya seperti tidak diberi garam, hambar. Pikirannya dipenuhi tanda tanya tentang Janubi yang tiba-tiba seolah menghilang begitu saja. Kemarin-kemarin, rasanya setiap satu jam sekali, Janubi selalu memberinya pesan SMS. Sekarang jangankan pesan SMS, membalas pesan darinya saja tidak dibalas dan hanya dibaca saja. Itu rasanya sakit.
“Mali, kamu sakit?” tanya Ning Mala.
“Tidak kok Ning,” jawabnya dengan berusaha tersenyum.
“Kok kayaknya kamu nggak enak makan, Mali.”
“Enggak kok Ning.”
Ia pura-pura makan dengan lahapnya. Izzi bertanya, “Mali, bagaimana hubunganmu sama Kak Janubi?”
Ia hanya tertawa kecil. Tiba-tiba, Riana menjadi juru bicaranya. “Wah teman-teman, Mereka ini so sweet loh. Aku sampai ngiri. Bayangin aja, betapa perhatiannya Kak Janubi sama Mali selama tiga tahun ini. Bentar lagi mereka juga akan nikah.”
“Nikah!” Izzi melotot. “Wah selamat ya Mali. Jangan lupa kami semua nanti diundang.”
Syamali tertawa kecil lagi.
Riana menatapnya. “Mali, siapapun di antara kita yang nikah duluan, andai kamu datang ke pernikahan aku, jangan dandan. Biasa aja. Aku nggak mau ya nanti di album pernikahanku, tamunya lebih cantik daripada aku. Awas ya!”
Semuanya seketika tertawa begitu mendengar kelakar Riana yang dijuluki Bibir Seribu, saking cerewetnya. “Pantas saja, kamu dijuluki Bibir Seribu saat di asrama,” sentil Elis kemudian.
Sampai rembulan berpendar, Janubi tak kunjung jua mengiriminya pesan. Dan akhirnya, sampai berhari-hari. Tidak ada kabar sama sekali. Pun di kampus, ia tidak pernah bertemu dengan Janubi.
Akhirnya, ia bertemu dengan Janubi seusai keluar dari gedung perkuliahan untuk bertemu ruang dosen pembimbing skripsi. Di depan Gedung Fakultas Humaniora, ia bertemu dengan Janubi yang berjalan ke arahnya. Seketika ia tersenyum lebar. Rasa rindunya pecah seperti balon udara. Betapa hatinya meledak setelah menahan kerinduan sekian lama.
Namun, ia melihat Janubi tidak melihatnya sama sekali. Malahan, Janubi lewat di sampingnya begitu saja. Ia pun seketika terkejut. Seluruh anggota badannya menjadi kaku. Beku. Sepi. Hening. Kepalanya pening. Tanah yang ia pijak seolah-olah miring dan semakin miring. Gedung-Gedung yang berdiri megah seolah-olah mendoyong.
Riana keluar dari Gedung Fakultas Humaniora. Ia melihat Syamali yang berdiri mematung di tengah jalan. Setengah mengendap-endap, ia mengagetkan Syamali dengan menepuk punggungnya keras-keras serta berteriak kencang, “Hah!”
Tetapi, Syamali tidak bergeming sedikit pun. Ia seolah-olah tidak mendengar suara apapun. Tidak pula melihat siapapun. Pun seolah-olah mati rasa.
Riana seketika bingung. “Mali, Mali!” panggilnya.
Ia melihat Syamali menoleh perlahan-lahan. Ia melihat mata Syamali yang sayu. “Mali, kenapa, kamu sakit?”
Lirih sekali, lirih. Ia mendengar Syamali berkata, “Janubi ….”