“Mali, kamu bertemu papanya Kak Janubi berapa kali?” tanya Ning Mala.
Syamali duduk menghadap Ning Mala. Ia ikut menyilangkan kaki, bersila. “Satu kali Ning,” jawabnya seraya menunduk.
“Pernah nggak kamu ke sana lagi?”
“Enggak Ning. Cuma satu kali.”
“Kak Janubi apa mengajakmu lagi?”
“Iya, beberapa kali ia mengajakku ke sana.”
“Lalu kamu menuruti?”
Syamali hanya menggelengkan kepala. Lalu menunduk lagi, teringat momen saat ia mewaskita papanya Janubi. Saat itu, sebenarnya sekuat apapun hatinya menahan, sebenarnya hatinya tergores dan lecet. Gemuruh tiba-tiba bergelora mengingati itu semua. “Kamu tidak pantas bersama Janubi. seharusnya, ia mendapatkan wanita yang lebih baik dari segi nasab dan materi.”
Ning Mala bingung mengomentari yang dikatakan Syamali. Sempat terpikir olehnya kalau-kalau Syamali mengigau. Ia pun menebak, “Itu perkataan papanya Kak Janubi?”
“Iya.”
“Hah! Benaran Mali?” Nada suara Ning Mala meninggi.
Syamali pun tersentak. Ia seperti tersadar dari lamunan. Ia menyadari keteledoranya, mengatakan apa yang dibatin oleh papanya Janubi. Tidak mungkin ia mengakatakan pada Ning Mala bahwa ia memiliki telinga waskita. Ia menggaruk-garuk kepalanya. “M-Maksudku dilihat dari sikap papanya, sepertinya begitu.”
“Oalah. Kalau gitu ya jangan berpikir negatif dulu Mali.”
Mendengar komentar itu, ia berputus asa. Apa harus kuungkap jati diriku ya. Ah rasanya tidak mungkin. Tetapi, aku memang tidak pernah berpikir negatif ke semua orang karena aku memang bisa mendengar suara hati semua orang.
Ning Mala menambahi, “Mali, tapi seharusnya ketika Kak Janubi memintamu pergi menemui papanya, seharusnya kamu ikuti saja.”
Ia tidak menjawab. Dalam hati ia membatin bahwa sebenarnya ia trauma dengan pertemuan pertamanya dengan mantan calon mertuanya itu. Ini tidak adil. Janubi sendiri sebenarnya bukan anak kandungnya. Tapi, ia merasa nasabku buruk karena keluargaku rumit. Bukankah sebenarnya keluarganya juga rumit dengan berbohong kepada semua orang bahwa Janubi adalah anak kandungnnya.
Ning Mala bosan menunggu Syamali membalas perkataannya. “Mali, Arima pun mengatakan bahwa jika Kak Janubi begitu terus, bisa saja pertunangannya akan gagal. Walaupun toh sulit gagalnya, karena papanya Janubi tipikalnya tidak mudah digoyahkan, jika sudah A, ya A.”
Lagi-lagi, hanya bengongan Syamali yang ia dapatkan. Setelah kepingan-kepingan cerita itu ia sampaikan, barulah ia menyampaikan kepingan dari pikirannya sendiri. “Mali, kurasa ada yang tidak beres dengan semua ini.”