Hati Syamali menjadi berdebar tidak menentu. Bagaimanapun kejamnya Janubi meninggalkannya, ia menyadari kenyataan bahwa sesungguhnya ia sendiri tidak berjuang untuk dirinya sendiri.
Ia bercermin. Dalam cermin itu, terpantul seorang gadis jelita dengan kecantikan tidak lazim bagi siapapun yang memandang, kecuali dirinya sendiri. Kulit putih oriental, rambut kuning keperakan dengan kelembutannya yang super, membuat siapapun yang memandangnya, pasti ternganga.
Saat bercermin, ia tidak menatap dirinya pada bagian luar. Jiwanya yang menyelam lebih dalam adalah usaha untuk memandang diri sendiri dari bagian dalam. Aku bisa mendengar percakapan semua orang. Aku bisa mendengar suara batin seseorang. Aku menganggap semua itu bukan kekuatan, melainkan kutukan. Tidak ada yang sanggup menahan disonansi-disonansi, semua orang berbohong, semua orang berdusta. Tetapi pada kenyataannya, aku pun berbohong, aku pun berdusta. Aku tidak pernah benar-benar mendengarkan suara hatiku sendiri.
Ia mengambil ponselnya yang tergelatak di meja rias, meskipun bisa dibilang itu bukan meja rias, sebab tidak ada kosmetik satu pun di sana. Ia ingin memberi SMS pada Janubi, namun hati kecilnya berkata bahwa kapan Janubi memberinya SMS untuk sekadar menyapa. Menyadari ia dan Janubi sudah lama sekali tidak berkomunikasi, keinginnanya pun menggamang. Tapi di sisi lain, ia akan pulang dalam waktu dekat. Pagi itu ia kesal mengapa Janubi tidak pernah menanyakan kapan kepulangannya.
Dalam garis waktu yang sama, Janubi sedang menatap layar ponselnya. Ia bingung untuk mengetik apa pada Syamali. Kesempatannya tidak banyak lagi. Tadi malam ia mendapat kabar dari Ning Mala bahwa Syamali akan pulang besok. Bagaimanapun, aku harus menyapa.
Kaku sekali dua jempolnya saat mengetik. Berkali-kali ia menghapus kata yang telah ia rangkai. Dan inilah kata yang akhirnya ia sampaikan: “Assalamualaikum Syamali. Apa kabar?”
Syamali sendiri sebagai seorang perempuan, hanya bisa menunggu Janubi mengirim pesan. Ia hanya bisa menunggu dan menunggu Janubi memberinya pesan atau menelpon. Pun ia hanya bisa menanti dan menanti jika ada keputusan Janubi, mencegahnya pergi atau melepaskannya begitu saja.
Ia terperanjat melihat ada SMS masuk dari Janubi yang ia nanti-nantikan. Ia pun membalas, “Waalaikumsalam, baik Kak. Kakak sendiri bagaimana?”
“Alhamdulillah baik. Kamu pulang kapan?”
“Besok, Kak.”
“Mali, boleh aku menelpon.”
“Boleh.” Hati Syamali kemudian berdebar. Dan makin berdebar tak keruan begitu dering ponselnya terdengar. Ia mengambil napas panjang dan berdehem. Begitu menaruh ponsel di telinga, ia tidak mendengar apapun.
Janubi sendiri sedang gugup tak terkira. Bibirnya kelu sekali untuk berucap. Beberapa saat kemudian, ia mendengar suara, “Halo, halo.” Ia pun segera bersuara, “Iya, Mali. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Besok ke Juanda naik apa, Mali?”
“Naik mobil carteran Kak, biar cepat.”
“Syamali.”
“Iya, Kak.”
“Maafkan aku ya.”
“I-Iya, kumaafkan kok.”
“Mali.”
“Iya Kak.”
“Bahagia ya di Kalimantan. Hiduplah dengan ibumu yang selama ini membesarkanmu dan berkorban banyak. Aku ingin engkau mengabdikan diri untuk ibumu. Walaupun kehidupanmu mungkin tidak selayak semua orang, tetapi lebih baik begitu Mali. Daripada aku, seorang anak adopsi yang dikatakan kepada semua orang bahwa aku anak kandung.
Saat Papa dulu memojokkanmu, maafkan aku tidak berbuat apa-apa. Hidupmu lebih baik daripada aku Mali. Semua yang kumiliki sebenarnya tidak nyata, ilusi. Aku memang mendapatkan semua hal di rumah ini. Tetapi aku tidak mendapatkan kasih sayang dari ibu kandungku. Lebih baik kita tinggal di gubuk tua bersama ibu kandung kita sendiri, Mali, daripada hidup di rumah gedong tetapi bersama ibu angkat, terlepas dari betapa sayangnya beliau terhadapku.
Untuk kamu Mali. Entah kenapa aku merasa kamu harus membahagiakan ibumu dulu. Hiduplah bersamanya. Seperti yang pernah kamu bilang padaku pada kebersamaan kita dulu, bahwa engkau ingin tinggal di Kalimantan bersama ibumu sebab hanya ia seorang yang amat berarti bagimu karena pengorbanannya.