Labirin Kosmos: Janubi & Syamali

Faiz el Faza
Chapter #30

Simpangan Makro dan Mikro-Kosmos

Lelaki sejati tidak akan menarik bismillah-nya untuk mundur dan menyerah.

Janubi terbangun dari tidur begitu mendengar suara kaca mobilnya diketuk-ketuk.

“Mas, Mas, nggak apa-apa Mas?” Suara itu terdengar sayup-sayup di telinganya, sebelum kesadaran telinganya menormal. Ia menoleh. Ada seorang tukang parkir yang tampak gelisah dari balik jendela. Ia menurunkan kaca jendela. “Ada apa Pak?”

“Masnya sakit. Sudah berjam-jam Anda diam di sini. Saya khawatir Anda pingsan.”

Ia melihat jam tangan miliknya. Ia terkejut sekarang sudah hampir jam 10.00. “Maaf Pak tadi malam saya begadang, jadi ketiduran di sini.”

“Oalah, lah Masnya mau ngapain toh, mau ke coban atau gimana, apa nunggu temen?”

Ia mencari alasan. “Anu Pak, iya nunggu temen, karena nggak datang-datang saya ketiduran.” Ia berpura-pura melihat ponsel seolah memeriksa pesan, tanpa melihat tanggal dan tahun di layar ponsel. “Pak,” imbuhnya, “saya pulang saja, teman saya mengatakan ia tidak bisa datang.”

Saat melihat layar ponsel, ia tidak begitu teliti dengan tanggal, bulan dan tahun yang tertera di layar.

Setelah membayar parkir, ia pun segera tancap gas. Begitu sudah jauh dari lokasi Coban Rondo, ia menepikan mobilnya. Entah mengapa perasaannya begitu ketar-ketir dengan keadaan yang menimpa tadi, hingga mampu mengkhayal sampai sedetail itu. Ia menunduk memegangi dahinya. Tetapi, jelas-jelas aku mendengar suaranya di labirin itu, berbicara dan memanggil namaku.

Kedua tangannya sudah memegangi setir. Jelas-jelas aku memang tidak bisa melupakannya, sampai-sampai aku seolah terkena penyakit mental seperti ini. Bisa-bisa aku gila. Jika aku sudah mengetahui kebenaran tentang diriku, seharusnya aku berani mencoba. Meskipun keberhasilannya kecil, sejatinya tekadku masif. Bismillah.

Sementara itu, Syamali sedang duduk di ruang tunggu di Bandara Juanda. Keadaannya sama seperti Janubi. Ia amat risau bisa setidak waras itu. Ia mendengar ponselnya berdering. Itu adalah telepon dari Ning Mala. “Iya, Assalamualaikum Ning.”

“Waalaikumsalam, Mali. Mali sudah di mana?”

“Bandara, Ning.”

“Mali maaf tadi malam aku ketiduran, tidak membalas pesanmu.”

“Iya, tidak apa-apa Ning. Terus gimana Ning?”

“Alhamdulillah, lancar Mali. Maaf selama ini nggak pernah cerita. Intinya gini Mali, aku yang menemui orangtuanya sendiri. Jika aku menunggu ia datang ke Abah Umiku, mau sampai kapan. Ya aku datang sendiri ke rumah mereka. Aku mengatakan pada mereka, bahwa sebagaimanapun derajatnya keluargaku, yakinlah bahwa semua akan baik-baik saja. intinya gini Mali, meski orang yang kucintai bukan seorang gus, aku meyakinkan mereka dengan baik agar percaya diri, pada dasarnya semua orang sama, yang membedakan adalah ketakwaannya.”

“Jadi, perjodohan Ning dengan lelaki pilihan Abah dibatalkan?”

“Iya, tanpa melukai semua pihak. Padahal tanggal pernikahanku sudah ditentukan loh, Mali. Tetapi aku bisa melaluinya. Dengan legawanya aku mau menemui orangtua seseorang yang kucintai, akhirnya semuanya baik-baik saja. Sebelumnya, aku merasa bahwa keberhasilannya amat minim.”

“Hebat Ning. Aku tidak bisa membayangkan lika-likunya.”

“Mali, aku sudah mendengar kata hatiku. Setelah mendengar kata hati tetapi tidak melakukan apa-apa, kita melalaikan anugerah Allah yang diberikan untuk kita.”

Begitu sambungan telepon diputus, ia memandang kosong ke depan. Kemudian ia berdiri dengan kedua tangan terkepal. Perkaataan Ning Mala di telepon mengubah haluan perjalanannya.

Dengan berjalan tergesa-gesa meninggalkan ruang tunggu, ia menelpon Mas Ocid, memastikan apakah Mas Ocid masih ada di sekitaran bandara. Ya, ternyata Mas Ocid masih minum kopi bersama temannya sesama agen travel yang tidak sengaja bertemu di sana. Ia pun segera datang menemuinya. Sambil berlari, jantungnya seperti lampu peringatan yang berkedap-kedip.

Sementara itu, Janubi telah berada di bandara. Ia berusaha menelpon Syamali, namun selalu gagal. Yang ia dengar hanyalah, “Nomor yang Anda hubungi, sedang berada di luar jangkauan ....”

Ini menjadi misteri sebenarnya. Sekali lagi, ia tidak teliti melihat layar ponselnya.

Ia memutuskan untuk langsung mencarinya. Masalah terbesarnya adalah ia tidak tahu jam berapa Syamali berangkat. Jika Syamali sudah berangkat, ia berniat untuk langsung terbang ke Kalimantan. Lelaki sejati tidak akan menarik bismillah-nya untuk mundur dan menyerah.

Lihat selengkapnya