“Masnya dari mana toh,” tanya ibunya Syamali.
“Saya dari Malang, Bu.”
“Ya Allah, jauhnya. Ya sudah tunggu di sini saya buatkan minum.”
Ibunya Syamali berjalan meninggalkannya. Ia menunggu di ruang tamu. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri, melihat-lihat sekeliling. Ada beberapa foto Syamali yang masih kecil di sana. Ada juga beberapa sertifikat lomba dan olimpiade yang Syamali ikuti. Pantas saja ia bergelar cumlaude.
Terdengar suara gemuruh mendung di luar. Ia menengok langit dari balik jendela ruang tamu. Ia bingung mengapa hari ini mendung. Beberapa jenak kemudian, hujan lebat mulai turun. Ini masih April, bagaimana mungkin bisa turun hujan?
Ibunya Syamali datang dengan membawa secangkir kopi hangat. “Maaf ya lama. Tadi mau kubuatkan minuman es, eh hujan. Jadi aku membuatkan kopi. Diminum dulu, Mas.”
“Iya Bu.” Janubi menuang kopi ke lepek. Ia menyeruputnya. “Sekarang, musim hujannya datang lebih cepat ya Bu.”
Ibunya Syamali tertawa. “Bukan lebih cepat Mas, memang sekarang sudah musim hujan.”
Janubi tertawa dalam ketidakmengertian. “Bu, Syamali sudah tiba?”
Ibunya Syamali bingung mendengar pertanyaannya. “Tiba apanya, Mas?”
“Kan sekarang dia pulang ke Samarinda Bu.”
“Enggaklah Mas, dia kan belum lulus.”
“Mali sudah lulus Bu. Kan sudah diwisuda.”
“Loh! Dia belum lulus Mas, wong masih semester enam kurang setahun lagi.”
Janubi bingung mendengarnya. “Loh, dia sudah diwisuda Bu.”
“Masnya ini gimana toh. Tadi malam aja dia telponan sama saya. Kok bisa dikatain lulus itu loh, Mas ini gimana. Dia itu lulusnya nanti tahun 2015, Mas.”
“Sekarang kan 2015, Bu.”
Ibunya Syamali seketika tertawa terbahak-bahak mendengar ucapannya. “Ya Allah, Masnya ini gimana, sekarang itu masih 2014, Mas. Mas gimana sih. Lupa tanggal itu biasa, lah Mas kok bisa lupa tahun sih.”
“Enggak lupa Bu, memang sekarang tahun ….” Janubi berhenti berbicara. Ia melihat deret angka di ponselnya. Matanya melotot. Aliran darahnya seolah mandek. Ia terkejut bukan main melihat angka 2014 tertera di pojok kiri layar ponselnya. “Bu, pinjam ponselnya ya.”
Ia mengira mungkin saja kalender di ponselnya mengalami eror. Saat melihat ponsel milik ibu itu, ternyata angkanya sama, 2014! Ia menoleh melihat kalender di ruang tamu. Benar, ternyata memang 2014. Bagaimana mungkin aku berada di bulan 11 Agustus 2014?
“Sebentar ya Bu.” Ia keluar dari rumah. Napasnya terengah-engah. Ia bingung dengan semua ini. Ia menampar pipi kanannya sendiri. Setelah itu, ia melihat tangannya yang gemetaran. Apakah aku bermimpi? Tidak, aku tidak bermimpi. Tetapi, bagaimana aku mempercayainya. Tidak-tidak, aku harus memastikannya lagi.
Ia mencoba mengakses internet untuk melihat berita sepak bola. Matanya melotot begitu melihat Real Madrid, berhasil menjuarai Liga Champion musim ini. Ia menyadari kenyataan mengerikan itu. Seharusnya, berita yang tertera adalah Barcelona juara Liga Champion dan meraih treble winner musim ini. Gawat, Aku memang ada di 2014!
Ia teringat akan labirin Coban Rondo.
Saat keluar dari dalam labirin, ia melihat ada apel. Ingatannya mundur lebih jauh pada saat ia ke labirin itu pertama kali bersama Syamali. Ia teringat kalau ada apel di jalan masuk labirin. Apel yang kulihat tadi pagi, mempunyai pola gigitan yang sama dengan yang kulihat saat itu. Apakah aku memang ada di 2014? Tapi bagaimana bisa?
Ia memikirkan kejadian di labirin tadi pagi.