Membayangkan kamu akan melupakanku, ingin aku membawamu lari dari sini dengan kecepatan cahaya.
3 bulan kemudian …
Intensitas hujan di Indonesia meningkat drastis. Banjir melanda kota-kota besar seperti Jakarta. BMKG menyatakan tahun ini merupakan tahun-tahun dengan curah tertinggi di tanah air. Berita-berita di televisi menyatakan bahwa BMKG telah mencatat bahwa hampir di semua daerah, intensitas hujan adalah 150 mm per hari. Rekor intensitas hujan tertinggi ada di Samarinda, yakni 377 mm per hari pekan ini.
Janubi memikirikan gadis Peramal Cuaca yang rindukan itu. Ia tidak tahu pasti mengapa tiba-tiba hujan bisa begitu menggila. Ia mengira hanya di kotanya saja. Ternyata ada di banyak kota. Ia duduk kembali setelah memperhatikan hujan yang selalu mengejek masa lalunya. Ia memperhatikan payung hijau tua yang tergantung di dinding kamarnya. Apa kabar Syamali, semoga kamu baik-baik saja?
Sekitar 1.551 km dari Janubi duduk merenung, ada Syamali yang duduk di ruang tamu, memancarkan kepedihan luar biasa atas meninggalnya sang ibu tiga hari yang lalu. Tanpa ia sadari, ia memancarkan gelombang elektromagnetik berskala besar, menghasilkan medan-medan ionik besar. Ion positif kembali ke bumi, sementara ion negatif naik ke atsmosfer. Intensitas hujan pun akhirnya naik drastis.
Setelah pulang dari Malang, ia hanya mendapat jatah tiga bulan saja untuk bisa menghabiskan sisa waktu bersama sang ibu. Meski hanya tiga bulan, ia tetap bersyukur bisa menemaninya dan berbakti di saat-saat terakhir. Sampai akhirnya, ia bisa meletakkan telinganya di dada sang ibu, untuk bisa memastikan tidak ada detak lagi.
Setelah kematian sang ibu, setiap hari ia diselimuti tangis kesedihan. Bagaimana pun di kata, ibunya adalah seseorang yang paling berharga di dunia ini. Setiap waktu, ia meratapi bagaimana perjuangan ibunya menghidupinya, menyekolahkannya, menguliahkannya, seorang diri.
Lima hari kemudian pada tahlilan hari ke tujuh, ia kaget melihat salah satu tamu tahlilan adalah orang yang selama ini ia rindukan, Janubi. Ia melihat lelaki itu saat ia berada di ruang tengah. Ketika membagikan makanan ramah tamah dibantu tetangga, ia kaget begitu melihat lelaki itu tiba-tiba ikut membantunya membagikan makanan.
Selesai dari acara tahlil, Janubi dan Syamali bercakap-cakap di ruang tamu.
“Maaf, Mali aku tidak datang lebih awal. Aku hanya bisa ke sini di hari ke tujuh,” kata Janubi setelah menceritakan perihal kedatangannya yang tiba-tiba.
“Tidak apa-apa Kak. Kakak sudah jauh-jauh dari Malang datang ke sini, bagiku itu luar biasa. Oh iya, Kakak bermalam di mana?”
“Aku bermalam di rumahnya Dahlan, anak PAI ituloh.”
“Rumahnya cukup dekat kok. Ia sama kayak kamu. Rumahnya ada di Kecamatan Loa Janan Ilir.”
“Oh, iya-iya. Kak, bentar aku dipanggil.”
Mendengar jawaban Syamali itu, ia jadi teringat akan ibunya Syamali. Ia teringat bahwa ibunya Syamali juga gemar menjawab perkataan dengan kata “oh, iya-iya”. Ia pun akhirnya teringat sepulang dari Samarinda dan setelah bermalam di hotel dekat Bandara Juanda, ia segera ke Coban Rondo keesokan harinya.
Saat itu ia masih berada di tahun 2014. Saat akan melangkah masuk ke labirin, ia melihat apel misterius itu masih di sana. Ia tidak berani untuk menyentuhnya. Saat masuk beberapa langkah dan memejamkan mata, ternyata tidak terjadi apa-apa pada dirinya. Ia bingung tidak merasakan apapun. Saat itu ia membayangkan ada portal atau lubang hitam seperti di film-film scien-fiction atau superhero. Nyatanya, tidak ada sama sekali. Ia pun berbalik untuk melihat apel misterius itu. Ia terkejut apelnya sudah tidak ada. Saat ia mengecek kalender di ponselnya, ia melihat tahun 2014 sudah berubah menjadi 2015. Barcelona sudah meraih treble winner bersama trio MSN.
Saat pulang, papanya memintanya untuk berbicara empat mata. Papanya mengatakan bahwa satu hari yang lalu, Syamali datang ke rumah. Ia terkejut mendengarnya.
“Papa selama ini salah, Janubi. Ketika seseorang berada di puncak, ia cenderung pikun akan jalan yang telah dilalui. Seseroang yang menyayangi seseorang, terkadang lalai akan keegoisannya sendiri. Janubi, kamu boleh menikah dengan siapapun, termasuk Syamali,” tutup Papa.
***
Keesokan harinya, Syamali meminta Janubi untuk menemuinya di Taman Tepian Mahakam. Sebenarnya, ia ingin berbicara lewat telepon. Tetapi, Janubi menolak. Ia pun memintanya bertemu di sana.
Janubi dan Syamali duduk berdua sambil menikmati Sungai Mahakam. “Kak, besok aku akan menikah,” kata Syamali, memulai pembicaraan serius, setelah sebelumnya membicarakan seluk beluk Sungai Mahakam sebagai basa-basi.
“Iya Syamali, tidak apa-apa.”
“Kakak sendiri pertunangannya bagaimana?”
“Aku batalkan Mali.” Janubi mendongak memandang gemulung awan. “Dan engkau tidak perlu tahu kenapa. Yang terpenting, persiapkan pernikahanmu. Apalagi waktunya tinggal hari ini.”
“Kak, maaf ya.”