Nama Janubi dan Syamali akhirnya tercetak dalam undangan pernikahan. Dalam momen pernikahan, salah satu momen paling menyenangkan adalah sesi foto bersama sahabat dan keluarga. Itu pula yang mereka rasakan. Yang unik bagi pernikahan mereka berdua adalah karangan bunga di samping panggung pernikahan. Ada karangan bunga bertuliskan “Selamat menempuh hidup baru Kak Janubi, dari kami mantan-mantanmu” dan karangan bunga satunya yang bertuliskan “Selamat menempuh hidup baru Adek Syamali, dari kami yang patah harapan”.
Membaca tulisan itu, Janubi tertawa geli. Kapan juga aku pernah punya mantan, pacaran saja tidak pernah. Begitu pula Syamali yang tertawa sampai sakit perut. Memangnya, kapan aku pernah memberi mereka harapan?
Saat malam pertama, Janubi begitu gundah dan resah tentang bagaimana “cara memulainya”. Syamali sendiri juga harap-harap cemas. Ia hanya duduk di atas ranjang sembari mengutak-atik ponsel terbarunya. Ia mulai mendapatkan chat-chat tidak jelas dari Riana melalui aplikasi yang baru saja rilis tahun 2015, whatsup.
Sembari membalasi pesan Riana yang ambigu, ia memperhatikan Janubi yang mondar-mandir bak orang ling-lung. Ya, begitulah efek pacaran pasca-menikah jika dalam kehidupan pranikah yang sebelumnya hanya mengobrol, duduk, memandangi alam, tanpa melakukan “kegiatan-kegiatan ekstra”.
Janubi duduk menghampirinya. “Mali,” sapanya.
“Iya Mas.” Syamali sudah tidak lagi memanggilnya “kakak”.
“Ada sesuatu yang ingin aku omongin.”
“Iya aku juga.”
“Kalau gitu, kamu dulu.”
“Enggak kamu aja.”
“Iya deh. Syamali, kamu tahu alasan aku selalu memakai celak?”
Syamali menggeleng. “Tidak.”
“Perhatikan ya.” Janubi membersihkan bagian bawah matanya yang diwarnai celak. Begitu sudah dibersihkan, ia menatap Syamali.
Syamali terpanah menatapnya. Ia melihat selaput pelangi mata suaminya yang barusan hitam kecoklatan, berubah menjadi coklat hazel, berpola mata seekor burung elang, tetapi indah sekali.
“Inilah alasanku selalu memakai celak. Jika tidak begini, banyak orang yang akan mengira aku bukan orang Indonesia.”
Syamali tersenyum dan tertawa lembut.
“Sekarang giliranmu, Mali,” pinta Janubi.
Syamali mengangguk. Ia menunjukkan ponselnya. “Mas, asal kamu tahu, selama ponsel ini kugenggam atau menempel di tubuhku, aku tidak perlu mengecasnya.”
“Kok bisa.”
“Mana kutahu. Yang jelas inilah rahasia kekuatanku selain bisa mendengarkan suara batin seseorang.”
“Wah, benarkah? Ah kamu memang tipe istri idaman. Pastinya kita akan hemat pengeluaran ya.”
Syamali tertawa lagi. Ia menyubit suaminya.
“Mali, kan kita ada di kamar, mengapa kamu masih memakai kerudung?” tanya Janubi.
“Mas, rahasiaku belum selesai loh.”
“Ada lagi?” Janubi antusias.
“Ada.” Syamali melepaskan kerudungnya. Saat menoleh, ia melihat suaminya yang melongo menatapnya. Mulut suaminya terbuka seolah rahangnya kehilangan daya.
Janubi terkesima melihat rambut kuning keperakan itu. Wajah oriental, rambut kuning keperakan, itu sempurna sekali untuk menghujam jantungnya hidup-hidup. Ia tidak berkedip menatap Syamali. Ia hanya menjadi patung bernyawa saat menatap rambut indah itu. Tidak hanya itu, ia merasa segan untuk bernapas. Jantungnya pun melemah. Badannya doyong dan roboh. Ia akan pingsan beberapa saat lagi. Bidadari ini membunuhku, tetapi, aku ikhlas dibunuhnya berkali-kali.
“Mas! Mas!” kata Syamali dengan riang sekaligus cemas. Ia pun menaikkan selimut untuk menutupi badan suaminya. Setelah itu, ia tidur miring sembari menatap suaminya sampai terlelap.