Rasa malu ternyata lebih menyakitkan daripada sesak dan sakit di dada.
Lombok, 2002 ...
Suara riang anak-anak kelas 4 yang sedang berolahraga menghiasi halaman SDN 04 Pijot. Sambil menunggu guru berada di halaman, mereka bermain di sana. Ada yang bermain bola, anak laki-laki. Ada yang bermain kasti, anak perempuan. Ada pula yang bermain lompat jauh.
Sementara itu di dalam kelas, Janubi sedang mengintip mereka dari balik jendela. Bocah pengidap sindrom anak lamban atau Clumsy Child Syndrom menganggap bahwa pelajaran olahraga adalah pelajaran yang paling dibencinya. Meskipun gurunya adalah salah satu guru terfavorit di sekolah itu, ia tidak menyukai pelajaran itu, karena di pelajaran itu ia hanya akan menjadi bahan olok-olokan. Untung saja gurunya Pak Alim, guru muda lulusan IAIN Hasanuddin, Lombok Timur, yang berperangai lucu, telaten dan menyenangkan. Tanpa Pak Alim, mungkin saja perundungan yang menyertainya semakin menjadi-jadi.
Ia teringat pelajaran olahraga pada praktik kasti pekan lalu.
Pada gilirannya sebagai pemukul bola, ia bersiap. Ada Udin di depannya, berancang-ancang untuk melempar bola ke arahnya. Tangannya gemetaran memegang pemukul bola.
“Janubi, focus, lihat bolanya!” seru Pak Alim.
Matanya berusaha menyorot bola kasti berwarna hijau muda yang sedang digenggam Udin. Ia bersiap.
“PRITTT!” suara peluit Pak Alim terdengar lantang.
Udin mendoyongkan badannya ke belakang. Kemudian dengan sekuat tenaga, melempar bola itu. Bola itu terlempar ke depan, lurus dan cepat.
Selapangan tertawa terbahak-bahak kemudian. Bahkan ada anak yang tertawa sampai memegangi perut saat melihat apa yang dilakukannya. Bola itu meluncur ke dahinya. Setelah bola itu mengenai dahinya, ia baru mengayunkan pemukul bola. Tentu saja ia hanya memukul angin. Setelah mengenai dahinya, bola itu terpantul ke udara. Ia pun melepaskan pegangannya pada pemukul bola. Sadar bahwa dahinya pening tertimpuk bola kasti, ia mengusuk-kusuk keningnya. Rasanya sakit sekali. Ia ingin menangis, tapi ia tahan, malu rasanya ada banyak anak perempuan di sana. Tetapi, ia tidak tahan. Wajahnya mulai mewek. Tangisnya pun pecah.
Pak Alim mendatanginya, memeluknya dan menenangkannya. “Sudah-sudah, nggak apa-apa Jan. Masak anak cowok kalah sama anak perempuan.”
Ia masih memandangi anak-anak di halaman.
Pak Alim keluar menuju halaman, kemudian mengabsen satu per satu. Tentu saja ia tidak ada. Posisinya ketahuan begitu Pak Alim melihat ke tempatnya mengintip. Ia segera berjongkok di balik dinding, setelah sebelumnya gurunya itu mengacungkan jari telunjuk ke arahnya dengan mata melotot.
Beberapa detik kemudian, suara Pak Alim telah berada di sampingnya, “Jan, nggak olahraga tah?”
“Eh, iya Pak.”
“Lah kok masih di kelas!”
Ia hanya nyengir.
“Ayo lekas ke halaman!” tegas Pak Alim.
“Iya Pak.”
Ia pun berjalan gontai ke halaman. Tiba-tiba jantungnya berdetak hebat. Ia amat gugup pagi itu, tidak percaya diri dan bertanya-tanya dalam hati, apa materi pelajaran hari ini.
Sebelum memulai pelajaran, Pak Alim akan mengajak anak-anak untuk senam. “Oke anak-anak, rentangkan kedua tangan. Jangan sampai ada yang bersentuhan!”
Anak-anak merentangkan kedua tangan. Satu per satu dari mereka mulai geser ke kiri.
“Kita akan melakukan pemanasan dan peregangan. Ini penting untuk memulai olahraga, agar tidak mudah keseleo atau salah urat,” terang Pak Alim.
Ia merentangkan kedua tangan. PLAK! Ada yang memukul tangan kanannya. Ia menoleh. Dewi berada di samping kanannya. “Geser-geser!” teriak Dewi, kesal.