“Amak[1].”
“Iya, Jan.”
“Aku jadi sunat minggu depan?”
“Iya, Jan.”
Amaknya sedang sibuk mempersiapkan baju pegon untuk pernikahan saudara besok. Ia ingin mengetahui tentang apa itu sunat. Ia memperhatikan Amak sedang mengaca, memakaikan sebuah mahkota sapuk atau cappuk. Di badan Amak, telah melekat baju pegon, baju yang mendapat pengaruh adat Jawa dan mengadopsi model jas Eropa. Bawahannya adalah kain dengan wiro bermotif tulang nangka, yaitu kain yang digunakan untuk penutup tubuh bagian bawah. Kain itu dililitkan dari pinggang hingga batas mata kaki, dengan ujung tengah lurus menjuntai ke bawah.
Amak amat tampan dan gagah. Apalagi ketika menyampulkan selendang umbak dengan dominasi merah dan hitam dengan panjang berkisar empat meter. Amak bak seorang kesatria ketika menyelipkan sebuah keris dengan bagian muka lurus ke depan, sebagai lambang tidak dalam keadaan siaga atau berperang.
Ia akhirnya pergi setelah amaknya hanya sibuk dengan urusannya sendiri. Ia pergi ke kamarnya untuk mengambil uang di laci. Uang itu diperolehnya kemarin dari Papuk Mame[2] Ahmad Sobirin, saat berkunjung untuk memberikan hadiah bagi Amak dan Inak berupa baju adat pegon dan lambung. Saat itu, Papuk Mame memanggilnya dan memberikan sejumlah uang. Sekarang, ia berniat memberi layangan.
Di tengah perjalanan, ia melihat segerombolan anak seusianya, empat sekawan, Udin, Mamat, Zainul, dan Khoirul. Mereka adalah teman sekelasnya di SDN 01 Pijot. Udin sedang membawa bola plastik berwarna kuning. Dari jarak beberapa meter di depan empat anak itu, ia sudah menyadari bahwa gerombolan empat sekawan itu akan mengusilinya. Mamat melambai-lambaikan tangan. Kedua gigi atas Mamat yang offside berkilau terkena bias matahari.
“Mau ke mana Jan?” tanya Udin seraya berhenti.
Gerombolan empat sekawan itu menghadang jalan. Ia ingin tidak menggubris. Ia ingin langsung nyelonong. Zainul, si anak gorila dalam benaknya, menyengir sinis terhadapnya. Dengan ragu-ragu ia menjawab, “Mau beli layangan.”
“Wah, kamu bawa uang berapa?”
“Banyak.”
Mendengarnya, Udin menengok ke tiga teman-teman yang ada di kanan kirinya. Tatapannya merencanakan sesuatu. “Minta seribu, Jan.”
Ia memandang mata pemalak itu, Udin. Tatapan Udin sama seperti tatapan saat minta uang jajannya ketika di sekolah. “Nggak bisa, ini uang dari Papuk Mame,” jawabnya ketakutan.
“Ayolah, seribu aja. Amakmu kan orang kaya,” tambah Mamat, si gigi kelinci dalam benaknya.
Ia menjawabnya tanpa kata. Kepalanya menggeleng ke kanan dan ke kiri. Udin mendekat ke arahnya dengan mendekatkan wajah. “Ayo main bola! Kutunggu di lapangan Pijot.”