Namaku Irena Putri...
Aku berasal dari Pontianak, Kalimantan Barat. Pada pertengahan tahun 2010 sekarang ini, aku harus tinggal bersama keluarga Bibiku yang ada di Jakarta. Aku disuruh orangtuaku melanjutkan sekolah ke Jakarta lantaran keluargaku sedang mengalami kesulitan ekonomi. Ayahku belum lama ini mengalami PHK dari perusahaan tempatnya bekerja. Sedangkan Ibuku, tidak bekerja sama sekali karena hanyalah seorang Ibu Rumah Tangga biasa. Jadi kondisi keuangan keluarga kami sekarang ini bisa dibilang agak sulit.
Berhubung aku memiliki seorang Bibi di Jakarta yang saat ini hidupnya lumayan berkecukupan, dia mau membantu membiayai sekolahku. Tetapi, dia juga ingin aku tinggal menemaninya karena dia sering ditinggal Pamanku pergi dinas ke luar kota. Oleh karena itu, mau tidak mau, aku pun harus melanjutkan sekolah di sini.
Aku sudah didaftarkan olehnya di salah satu sekolah favorit dan prestisius yang ada di Jakarta, yakni di SMA Negeri Unggulan Nusantara atau biasa disingkat dengan SMANUS. Sekolah ini dulunya adalah sekolah Swasta, namun sekarang sudah menjadi sekolah campuran antara Swasta dan Negeri. Jadi, walaupun SMANUS termasuk sekolah terbaik, biaya bersekolah di tempat itu tidaklah terlalu besar, apalagi ada beasiswa untuk anak yang berasal dari keluarga kurang mampu sepertiku.
Di hari yang cerah pada pagi ini, aku berangkat sendirian menuju sekolah. Menyusuri jalanan yang cukup ramai oleh kendaraan yang lalu lalang. Berhubung jarak antara rumah ke sekolah bagiku tidak terlalu jauh, yakni hanya memakan waktu sekitar 30 menit-an kalau jalan kaki. Jadi aku cukup jalan aja biar hemat, tidak perlu naik kendaraan umum.
Hari ini aku mengenakan seragam khusus untuk siswa yang bersekolah di SMANUS, yakni baju putih dengan dasi hitam yang berbentuk pita. Aku juga memakai rok hitam yang bermotif kotak-kotak. Seragam ini didapat saat pendaftaran masuk kemarin dan hanya dipakai pada hari tertentu saja, yaitu pada hari Kamis dan apabila ada acara sekolah. Sedangkan pada hari-hari lainnya, kami tetap memakai seragam yang sama seperti siswa SMA sekolah lain pada umumnya.
Aku merasa gugup karena ini adalah kali pertama aku hidup jauh dari keluarga dan aku belum terbiasa hidup dengan suasana Kota Jakarta. Sebelum pergi waktu itu, aku sempat merasa berat ketika harus berpisah dengan kawan-kawan SMP-ku. Soalnya sebelum lulus kami pernah sepakat untuk melanjutkan ke SMA yang sama. Namun ternyata hal itu tidak pernah terjadi. Tetapi, aku juga merasa bahagia karena akan memasuki masa SMA. Masa di mana aku akan menjalani hari-hari sebagai seorang anak remaja yang kurasa sangat menyenangkan, meskipun terkadang ada rasa takut karena suatu hari nanti, aku pasti akan meninggalkan masa-masa itu.
“Jalani dululah... nanti saja memikirkan hal ke depannya!” batinku.
Saat sedang asyik berjalan sambil bernyanyi-nyanyi kecil, tiba-tiba ada seseorang menegurku.
“Kamu pasti baru masuk SMANUS!” tebak seorang gadis yang kelihatannya sebaya denganku. Dia mengenakan seragam yang sama denganku. Sepertinya dia juga baru masuk SMA.
“Iya. Kamu sendiri?” tanyaku balik sambil memandanginya. Dia berambut sebahu dan memiliki poni yang menutupi keningnya.
“Sama. Aku juga baru masuk ke SMANUS. Ayo kita barengan!” ajaknya. Dia lalu mengulurkan tangan kanannya. “Nama kamu siapa? Kalo namaku Winda Kartika.”
“Irena Putri.” balasku sambil menyambut uluran tangannya.
Aku tersenyum ke arahnya, sambil bersyukur di dalam hati karena memiliki teman di hari pertama masuk. Tadinya aku sempat takut jika melanjutkan sekolah di Jakarta, aku bakal kesepian karena tak ada teman yang kukenal.
Kami berdua pun berjalan sambil mengobrol tentang diri kami masing-masing. Namun ketika melewati persimpangan kedua, terdengar seorang gadis berteriak. “Windaa...!!! tungguin guee..!!!”
Gadis itu juga mengenakan seragam yang sama dengan kami. Aku dan Winda langsung menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. Terlihat dia berlari ke arah kami berdua yang sedang menunggunya. Dan ketika sudah tiba di hadapan kami berdua, dia langsung menundukkan badannya dengan kedua tangan memegang lutut akibat capek.
Gadis itu bertubuh tinggi langsing dan terlihat sangat cantik. Kulitnya putih mulus dan rambutnya panjang lurus, namun sebagian dikuncir ke belakang menggunakan jepit rambut.
Aku sempat merasa iri dengan kecantikannya, walaupun sebenarnya aku ini tidak jelek-jelek amat sih. Aku juga memiliki kulit yang putih dan rambut yang juga lurus, walaupun panjangnya hanya sedikit melewati bahu. Hanya saja kalau dibandingkan dengannya, dia terlihat seperti gadis yang anggun, sedangkan aku lebih terlihat seperti gadis yang imut. Aku tampak imut karena badanku tidak terlalu tinggi dan agak sedikit berisi.
Tetapi aku selalu meyakinkan diriku bahwa aku harus menghargai fisik diri sendiri dan tidak membandingkannya dengan orang lain. Siapa pun pasti memiliki aura dan pesona tersendiri.
Sementara Winda lalu berkata kepadanya, “Eh, Ca, lo lanjut di SMANUS juga rupanya?! Ya ampun.. gue kira elo bakalan sekolah ke luar negeri!”
“Mama ngelarang gue sekolah di tempat yang jauh, Win. Jadinya gue sekolah di sini aja.”
“Yaah sayang banget nih, gue jadi nggak bisa deketin cowok-cowok ganteng itu kalo elo sekolah di sini,” Winda mencandai dan menepuk bahu gadis cantik yang dipanggilnya Caca itu.
“Aduh... lo apa-apaan sih. Gue sama mereka itu kan cuman temenan!” Caca seolah mengetahui siapa yang Winda maksud.
Gadis bernama Caca itu merapikan kunciran rambutnya, lalu kemudian memandang ke arahku.
“Oia Ca, kita punya teman baru dari Pontianak. Namanya Irena Putri. Tadi gue di jalan ketemu sama dia. Dan gue liat dia pake seragam SMANUS, ” kata Winda kepadanya. Setelah itu lalu berkata kepadaku,“Irena, ini teman SMP-ku, namanya Salshabilla Juwita. Kami biasa memanggilnya Caca.”
Sebenarnya daritadi aku merasa kurang nyaman mendengar mereka berdua berbicara seperti itu. Mereka berbicara menggunakan bahasa gaul yang belum biasa kuucapkan sebagai seorang anak daerah. Tapi untunglah mereka berdua langsung mengerti saat kuberitahu. Mereka bersedia ngomongnya pakai ‘aku kamu’ aja kalau denganku, bukan pakai ‘lo gue’. Rupanya Caca juga lebih senang begitu. Dia bilang lebih suka berbicara seperti itu karena sewaktu kecil dia beserta keluarganya juga pernah tinggal di daerah. Sewaktu SMP dia malah suka ngomong 'campuran'. Tidak ada masalah sama sekali selama ini. Begitulah yang dia katakan padaku.
Akhirnya, aku dan Caca berjabatan tangan. Kami berdua juga sama-sama tersenyum dan menunjukkan sikap ramah antar satu sama lain.
“Ayo ngobrolnya sambil jalan aja!” Winda mengajak kami berdua melanjutkan perjalanan. Kami bertiga pun berjalan beriringan menuju sekolah.
“Irena, aku kasi tau ya, Caca ini kembangnya sekolah loh! Kalau ada dia, pasti banyak cowok yang pengen deket-deket sama kita. Makanya aku suka berteman sama dia,” Winda meledeknya.
“Bisa aja kamu, Win. Aku tuh orangnya sama kayak yang lain kok,” kata Caca sambil memukul lengan Winda.
“Beneran loh! Bahkan nih ya, Ardiyat, Erik, Rangga sama Bima juga lanjut sekolah di SMANUS. Aku curiga, apa jangan-jangan... karena kamu melanjutkan sekolah di situ, makanya cowok-cowok ganteng itu juga ngelanjut ke situ !” seru Winda sambil melirik Caca.
Aku yang tidak paham dengan apa yang dimaksudkan Winda itu hanya bisa mendengar saja. Soalnya aku tidak tahu siapa mereka yang namanya disebutkan itu. Aku hanya bisa tersenyum ketika mendengarnya. Sedangkan Caca langsung mencubit lengan Winda dengan keras.
“Aww... sakit!!” Winda menjerit dengan suara nyaring.
“Jangan ngeledekin aku di depan mereka ya nanti!” ancam Caca. Dia seolah memprediksikan kalau temannya itu bakal melakukan hal tersebut.
“Okay! Tapi... nggak janji deh yaa hahaha... ayo kita kabur aja Ren!” Winda menarik tanganku untuk berlari meninggalkan Caca sendirian.