LABIRIN

Riri
Chapter #3

HARI YANG PENUH WARNA

Pagi ini, aku dengan riangnya mengenakan seragam putih abu-abu untuk pertama kalinya. Tetapi lagi-lagi aku pergi ke Sekolah dengan bergegas karena ingin cepat-cepat melihat pengumuman. Hari ini akan diberitahukan pembagian kelas yang akan diumumkan lewat mading sekolah di pojok lorong lantai satu. Aku ingin melihat namaku tercantum di kelas mana. 

Di sepanjang perjalanan, aku begitu bersemangat menjalani kehidupan sebagai seorang murid SMA. Dalam hati, aku berjanji akan belajar dengan sebaik mungkin. 

Sesampainya di Sekolah, aku berjalan dengan lebih cepat lagi, agar nanti tidak berdesakan dengan para siswa lainnya. Karena mereka nanti pasti berkerumun untuk mencari namanya juga. 

Setibanya di tempat itu, ada tujuh kertas yang sudah tertempel di papan mading. Di kertas itu tertera nama-nama murid yang akan menempati ruang kelas mana-mana saja. Aku langsung mencari namaku mulai dari kertas pertama. Dan akhirnya kutemukan namaku tertera di kertas pertama itu, kertas yang mencantumkan nama-nama siswa yang akan mengisi ruang kelas XA. Aku senang sekali karena berhasil menemukan ruang kelasku. Aku pun langsung membalikkan badan untuk pergi ke sana.

Namun, saat baru saja hendak melangkah, aku terbelalak karena sempat menyadari sesuatu. Aku baru sadar bahwa ketika mengecek kertas pertama tadi, aku merasa ada melihat nama Ardiyat Wisesa, yang artinya cowok tampan dan manis itu bakalan sekelas denganku. Aku pun kembali membalikkan badan untuk mengecek kertas tersebut. Tidak sulit untuk memastikannya karena urutan nama di kertas itu tampaknya berdasarkan abjad. Karena nama Ardiyat berawalan huruf "A", pasti namanya terletak di urutan paling atas.

Ternyata benar! Ada namanya tertera di kertas pertama tersebut. 

Hal itu membuatku jadi ingin tahu apakah kedua temanku, Winda dan Caca, sekelas juga denganku atau tidak. Jadi aku pun kembali mengecek kertas pertama tersebut.

Tak lama kemudian, ada kutemukan nama Salshabilla Juwita, yang berarti Caca sekelas denganku. Namun, aku tidak menemukan nama Winda Kartika. 

“Irena!” terdengar suara Caca memanggil. Ternyata dia sudah berada di belakangku.

“Kita berdua sekelas nih. Tapi... sayang banget, Winda nggak sekelas sama kita. Dia di kelas XC,” beritahunya. “Ayo kita cari tempat duduk, Ren,” ajaknya.

“Ayo!”balas ku sambil merangkul tangannya menuju ke ruang kelas XA.

“Oh ya, berhubung kita berdua sekelas, kamu mau nggak duduk sebangku denganku?” Caca bertanya sambil menatapku. 

Aku mengangguk sambil tersenyum kepadanya. “Tentu saja.”

Caca juga tersenyum ke arahku. 

Sesampainya di ruang kelas, aku mengajaknya memilih bangku tengah karena tempat itu yang paling strategis menurutku. Soalnya aku tidak mau duduk di paling depan, atau pun di bagian belakang.

Tak lama setelah duduk, aku melihat Ardiyat datang bersama Erik. Mereka berdua lalu duduk di bangku yang ada di samping kiriku, namun di bagian agak depan, sehingga aku bisa menatap belakang tubuh mereka. 

Jantungku terasa berdegup kencang. Bagaimana tidak? Aku berada di kelas yang sama dengan cowok yang aku suka. Apalagi dia duduknya tidak jauh dariku, pastilah selama beberapa bulan ini aku bisa sering-sering memandanginya, meskipun hanya bisa memandangi belakang tubuhnya saja, hihi. 

Saat Ardiyat dan Erik hendak duduk, seorang teman yang duduk tepat di depanku tiba-tiba menghardik mereka berdua.

“Hehhh... kalian berdua tuh ya, dari dulu enggak bisa berpisah sama sekali, udah kayak anak kembar siam ajah!!”Shila mendengus kesal.

“Eh, ada Shila! Hehe iya, kami memang kembar. Dan kami nggak hanya kembar dua, tapi sampe kembar empat loh. Ada Rangga sama Bima juga, cuman mereka berdua belum datang,” kata Ardiyat kepada Shila yang disambut cengengesan olehnya. Keliatannya mereka berdua itu juga sudah akrab sekali.

“Ada Caca juga ya di sini. Gak nyangka ya, Shil!” kata Erik sambil memandang ke arahku dan Caca.

“Iya, nggak percaya gue kalo sekelas lagi sama bocah tengil kayak kalian!” gerutu Shila. 

Erik cuek dengan perkataan itu. Dia masih memandang ke arahku dan Caca. 

“Oh iya Ca, Winda di kelas sebelah ya? Trus... Irena ini teman baru elo?” Erik kembali bertanya, namun kali ini kepada Caca. Dia dengan santainya menanyakan hal itu tanpa ada rasa canggung sedikitpun.

Saat dia menyebut kata “teman baru”, Erik menatapku dengan mata tajamnya itu. Pada saat kami berdua saling bertatapan, aku menyambutnya dengan senyuman ramah. Aku tidak menyangka jika dia ingat namaku. Seingatku, aku baru menyebutkannya sekali saat berpidato di OSB kemarin.

Caca yang baru teringat denganku yang belum ia perkenalkan sama sekali kepada teman-teman SMP nya itu pun langsung tersadar.

“Eh iya, kalian sudah pada tau kan kalo ini Irena yang berpidato waktu OSB kemarin. Dia dari Pontianak. Waktu berangkat OSB, dia ketemu sama Winda di jalan. Winda ngenalin kami berdua. Kita jadi berteman deh.”

“Wah, elo jauh banget sekolahnya sampe kemari,” Shila memandangiku sambil menggelengkan kepala. 

Aku hanya tersenyum malu. Sementara Caca yang seolah paham kalau aku sedang canggung pun kembali berbicara kepada teman-temannya.

“Irena ini belum terbiasa ngomong kayak kita-kita yang biasanya pakai ‘lo gue’ gitu. Jadi, kalo kalian ngomong sama dia, pakai ‘aku kamu’ aja.”

“Ribet amat !!” seru mereka di kelas bersamaan, membuat aku dan Caca kaget dan tertawa secara bersamaan.

Aku pun mengulurkan tangan untuk menyalami mereka satu persatu. Senang sekali rasanya mempunyai teman baru seperti mereka ini. Apalagi mereka kelihatan baik dan ramah.

Saat aku bersalaman dengan Erik, dia langsung mengenggam erat tanganku dan tidak langsung melepaskannya.

“Sepertinya kamu cewek yang tangguh yah, berani banget merantau ke kota buat sekolah. Kalo kamu kesulitan, kamu bisa hubungi aku.”

Aku tersenyum saat mendengar Erik berkata seperti itu. Namun perkataan dia dibalas Shila dengan ucapan “Dasar sok perhatian!” 

Erik lalu memperkenalkan dirinya. “Gue... Opss aku... Dirgantara Ricky Syairendra. Panjang dan bagus banget kan nama lengkapku. Tapi, gue... eh.. aku punya nama panggilan yang cuma empat huruf loh! E-R-I-K,” ujarnya sambil mengeja namanya dengan lucu. Tingkahnya seperti anak SD.

“Kok, nama lengkap kamu sama nama panggilan kamu agak tidak nyambung sih?” tanyaku.

Caca langsung nyeletuk. “Memang begitu Ren, harap dimaklumi orangnya. Asal kamu tahu aja ya, kehidupannya Erik itu memang sangat tidak nyambung!”

Perkataan Caca membuat kami semua tertawa, kecuali Erik. Dia langsung cemberut ketika dikatai seperti itu.

“Hehhh... masih nyambung kok nama Ricky dipanggil Erik, kayak elo juga Salsha dipanggil Caca. Gue tuh dipanggil Erik gara-gara Nyokap gue suka manggil gue pake nama itu!” ungkapnya. Dia lalu mendelikkan mata tajamnya itu ke arah temannya yang berada di sampingnya. “Elo sih Yat, dulu pake acara ikut-ikutan Nyokap gue manggil gue pake nama Erik, ngebuat yang lain jadi pada ngikut!!”

“Kok lo jadi nyalahin gue sih ?! Jelas-jelas elo sendiri yang waktu itu bilang kalo lebih suka dipanggil dengan nama Erik. Lo juga ngerasa nama itu lebih cocok buat elo!” Ardiyat membela diri.

“Ah, masa sih?! Kok gue kagak ingat??” Erik memegang kepalanya sendiri dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya, masih mengenggam tanganku. Aku hendak melepaskan tanganku dari genggaman tangannya. Tapi dia malah semakin mengenggam tanganku lebih erat hingga aku meringis.

Melihatku yang tampak menahan sakit, Caca berkata kepadanya, “Eh Rik, lepasin! Hobi banget sih lo ngusilin orang!”

“He’eh, sorry!”ucap Erik sambil mengacungkan kedua jari tangan kirinya, yaitu jari telunjuk dan tengah, membentuk huruf V ke arahku. Namun tangan kanannya tetap saja masih mengenggam tanganku.

“Udah, lepasin Rik. Aku juga mau kenalan sama teman baru,” kata Ardiyat sambil menarik tangan Erik.

Mendengar perkataan Ardiyat membuatku tersipu malu. Mungkin wajahku jadi memerah sekarang.

Akhirnya Erik pun melepaskan tanganku dari gengaman tangannya. Setelah itu, aku lalu bersalaman dengan Ardiyat.

Saat tanganku bersentuhan dengan tangannya, aku merasakan getaran yang begitu hebat di dalam dada. 

“Gue... ehh lupa! Aku Ardiyat Wisesa. Biasanya sih dipanggil dengan orang paling ganteng dan manis... Akhh...!!” Ardiyat menjerit kesakitan karena Shila langsung mencubit punggungnya saat mendengarnya berkata seperti itu. Aku tersenyum karena melihat betapa lucunya dia saat sedang meringis.

“Apaan sih lo, Yat! Kepedean banget jadi orang!!” 

“Orang gua emang ganteng kok,” sahut Ardiyat dengan penuh percaya diri.

“Kelakuan sok ganteng kalian belum pada hilang rupanya ya wahai para lelaki!” Winda yang baru datang ke kelas kami langsung ikut menimpali. 

“Lo juga apaan sih... wahai perempuan, datang-datang langsung nyinyir aja!!” Ardiyat menghardiknya. 

“Apa?!” Winda merasa gusar karena Ardiyat menghardiknya. Ia hendak memukul Ardiyat, namun Caca keburu berdiri dan menghardik cowok-cowok itu.

“Udah deh !! Kalian anak cowok duduk aja di bangku kalian. Jangan gangguin kami anak perempuan yang mau berghibah.” Kami Caca. Dia pun kembali duduk sambil mengipaskan wajahnya dengan buku.

Ardiyat merangkul bahu Erik sambil berkata, “Rik, kita duduk aja yuk. Cewek-cewek ini pasti mau ngegosipin kita.”

“Okay, kita dengerin dari jauh aja,” kata Erik dengan semangat. 

Mereka berdua pun kembali ke tempat duduknya tadi. 

“Geer amat sih lo para lelaki!!!” Shila berteriak ke arah mereka.

“Lelaki berhati malaikat, kan?” ucap Rangga yang tiba-tiba datang. Dia langsung mendekati kedua temannya, Ardiyat dan Erik. 

Ndasmu !!”Shila berteriak ke arah Rangga, sambil menatapnya dengan tatapan yang sangat mengerikan.

“Kasar banget sih lo,” Rangga menunjukkan wajah pura-pura kecewa kepada Shila.

Bima yang juga baru muncul di pintu kelas langsung berbicara sok bijak kepada para temannya.“Udah bro, jangan gangguin cewek-cewek. Dosa lu entar. Ingat, emak lo itu cewek. Kita harus hormati wanita!”

“Lu kenapa pake bawa-bawa emak segala sih??! bikin gue ngerasa berdosa sama nyokap jadinya!!” Rangga berseloroh sambil menyenggol Bima yang tiba sampingnya, hingga anak itu mau terpental jatuh.

Caca lalu berteriak ke arah mereka. “Dengerin tuh perkataan teman lo. Kalian pada jangan suka gangguin cewek. Ibu kalian itu cewek. Kalo kalian merendahkan cewek, sama aja kalian jadi anak durhaka!!”

“Siapa yang ngerendahin? Orang kita-kita cuman becanda doang,” Erik membela diri. 

“Tapi cowok kayak lo pada, becandanya suka keterlaluan. Sekali-sekali perlu dikasi pelajaran biar jera!” balas Caca.

“Tau nih. Dikutuk jadi batu tau rasa lo !!” Shila kembali menyerang mereka dengan perkataan sadis, sehingga ia merasa menang. Soalnya haram baginya untuk kalah debat dengan cowok.

“Ihhh serem amat...!” Ardiyat bergidik ngeri membayangkannya. Dia melepaskan jaket coklat muda yang dikenakannya, dan lalu mengajak ketiga temannya itu membicarakan topik lain.

Akhirnya, kami para grup cowok dan cewek ini pun pada larut dalam obrolan masing-masing.

“Ardiyat, Erik, Rangga... kalo ada PR kita belajar bareng-bareng ya! Nilai gue kan paling rendah di antara kalian bertiga,” pinta Bima kepada ketiga temannya yang memang dikenal pintar itu. 

“Oke.... Tapi jangan lupa upah traktirannya,” sahut Ardiyat sambil memainkan HP yang sedang dipegangnya.

“Pake upah segala lagi lo, Yat. Kayak gak ikhlas aja ngajarin temen. Anggap sedekah ngapa!” kata Bima sambil menabok kepala Ardiyat. Yang ditabok kepalanya itu langsung meringis sakit.

“Eh, jangan sentuh kepala gue. Ini aset berharga tau!!” kata Ardiyat sambil mengelus kepalanya yang kena tabok. 

Lihat selengkapnya