“Kita mempunyai impian masing-masing, walau kita tidak tahu bagaimana cara mewujudkannya...“
Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar dan mulai mengerjakan pekerjaan rumah, seperti membersihkan ruangan serta memasak untuk makan malam nanti, dan malam hari nanti baru aku belajar.
Saat malam telah tiba, aku pun mulai belajar. Namun aku jadi tidak bisa konsentrasi karena wajah Ardiyat selalu hinggap di pikiranku. Kenapa susah sekali untuk melupakannya walau hanya sejenak?
Apalagi saat aku teringat dengan dirinya yang tadi menyemangatiku, itu membuatku semakin tidak bisa melupakannya. Aku jadi termotivasi untuk belajar lebih giat lagi. Aku malu padanya karena aku adalah orang yang hanya bisa menyia-nyiakan waktu begitu saja. Mulai hari ini, aku harus memikirkan untuk jadi apa ke depannya.
Meskipun sekarang aku belum tahu cita-citaku itu sebenarnya ingin jadi apa, tapi tetap saja aku harus memikirkannya. Barangkali dengan seiring dengan berjalannya waktu, aku bisa menemukan passion yang tepat untukku. Jadi, sekarang aku hanya perlu fokus, fokus, dan fokus belajar!
Aku lalu menjadikan Ardiyat sebagai motivasiku. Aku ingin bisa sekelas lagi dengannya sampai lulus. Semoga aku dan dia bisa berteman selamanya. Dan, diam-diam aku menginginkan suatu hari nanti hanya menjadi seseorang yang bukan sekedar teman untukku. Aku ingin dia terus berada di sisiku untuk selamanya.
Beberapa saat lamanya aku tenggelam dalam lamunan, sebelum pikiranku kembali ke dunia nyata.
“Aku tidak boleh berpikiran konyol seperti ini! Aku harus Semangat belajar karena itu memang kewajibanku dan demi orangtuaku, bukan karena dia!” aku berkata kepada diriku sendiri dalam hati sambil mengetok kepala, gara-gara merasa bodoh memikirkan hal konyol seperti tadi.
Akhirnya aku kembali melanjutkan kegiatan belajarku malam ini. Aku belajar dengan cara merangkum catatan dan mempelajarinya sampai benar-benar paham. Jika belum paham, aku akan mempelajarinya lagi berulang-ulang. Ini sungguh sebuah perjuangan keras dan melelahkan bagiku.
Waktu terus berjalan hingga semakin larut.
Kenapa aku merasa waktu di malam hari ini terasa lama menuju pagi? Padahal aku ingin sekali cepat-cepat masuk sekolah supaya bisa bertemu dengannya, walaupun sebenarnya aku ingin cepat masuk sekolah karena ingin menuntut ilmu juga sih.
Ketika malam sudah sangat larut, mataku pun akhirnya sudah mulai mengantuk. Aku memutuskan untuk tidur karena besok ingin bangun lebih awal. Jadi, aku segera menghentikan belajarku dan langsung rebahan di atas kasur. Kupandangi langit-langit kamar sebelum mulai tertidur. Saat memejamkan mata, dalam hatiku sempat berkata, “Selamat malam, Ardiyat Wisesa...”
***
Keesokan harinya, aku bangun lebih awal dari biasanya. Aku juga cepat-cepat melakukan segala keperluan seperti mandi, berpakaian dan menyiapkan perlengkapan sekolah. Setelah mengikat tali sepatu, aku langsung bergegas berangkat sekolah. Bibiku di rumah sempat keheranan melihat kelakuanku yang tidak seperti biasanya, yaitu berangkat ke sekolah dengan terburu-buru di awal pagi. Soalnya hari-hari biasanya aku selalu santai sekali berangkatnya.
Ketika tiba di sekolah, aku melihat Ardiyat dan teman-temannya berada di parkiran. Mereka sedang duduk mengobrol di atas motornya masing-masing. Aku berpura-pura tidak melihat mereka saat berjalan menuju gedung sekolah, dengan harus melewati mereka terlebih dahulu.
“Irena!”
Deg!
Ardiyat memanggilku. Ternyata dia sempat melihatku berjalan melewati parkiran.
Aku menghentikan langkah dan lalu memandangi mereka yang berada tepat di depanku.
“Ada apa?”
“Kok tumben hari ini datangnya awal?”
Di satu sisi aku merasa senang karena dia menyapaku. Tapi, di sisi lainnya, aku merasa malu karena ternyata dia tahu kalo aku sering datang lambat.
“Hahaha... pasti kamu suka bangun kesiangan ya?!” Erik ikut menimpali sambil tertawa.
Mendengar hal itu, urat maluku serasa meronta-ronta.
“Apaan sih kamu, Rik, aku selalu bangun pagi tau!! Aku itu biasanya bantuin Bibiku dulu di rumah, makanya tidak datang awal!” terpaksa aku berbohong.
Aku memang sering bangun kesiangan karena suka membaca novel sampai larut malam. Apalagi sekarang ditambah dengan belajar dan mengerjakan latihan dengan giat. Walau terkadang memang benaran karena lelah membantu Bibiku juga.
“Hahaha... haha... haha...,” mereka malah pada tertawa saat melihat wajahku yang sebal memandangi mereka.
“Bilang aja karena kesiangan, pakai acara bohong segala lagi.” Ardiyat mengolokku. “Makanya jangan kebanyakan baca novel romantis!”
Rupanya dia masih ingat waktu di toko buku kemarin. Aku sempat memberitahunya kalau aku suka membaca novel bergenre romance.
“Ardiyat!!” aku berteriak dengan kesal, sambil meraih sebuah batu kecil di tanah. Kemudian melemparkan ke arahnya. Lemparanku tepat mengenai pelipis kirinya hingga membuat dia meringis. Aku tertawa puas melihatnya, dan langsung melarikan diri ke dalam gedung.
Aku berlari melalui lorong labirin ini sambil tersenyum, soalnya bahagia karena kini sudah bisa bercanda dengan mereka. Bercanda seperti yang sering dilakukan oleh Caca, Winda dan Shila terhadap mereka.
Beberapa saat setelah tiba di kelas, aku melihat Caca, Shila dan yang lainnya tampak keheranan melihatku habis berlari.