Saat pelajaran terakhir hari ini sudah cukup lama berakhir, Caca segera berpamitan kepadaku karena dia sudah dijemput sopirnya. Sementara Winda, memang sudah pulang lebih duluan daritadi. Selain karena kelasnya hari ini duluan berakhir, dia juga harus menemani Ibunya berkunjung ke rumah Neneknya di Bekasi. Jadi hari ini aku pulang sendirian.
Sewaktu melangkahkan kaki di sebuah lorong sekolah, aku melihat Ardiyat baru saja keluar dari ruang guru. Kelihatannya dia habis menyelesaikan urusannya yang mereka bicarakan tadi di kantin, yaitu mengenai lomba OSN.
Ketika dia baru saja menutup pintu dan hendak melangkah, aku langsung menghampirinya.
“Hei, ketua kelas!” panggilku. Dia menoleh ke arahku, dan mata kami berdua saling bertatapan.
“Jangan panggil aku kayak gitu dong, malu tau!” Ardiyat tersipu. Dia menundukkan kepalanya ke lantai, mengalihkan pandangan.
“Hehe... suka-suka mulutku dong!!” kataku sambil terkekeh.
“Ya udah deh, terserah kamu aja,” ucapnya. Dia lalu bertanya, “Kamu kok belum pulang?”
“Ini baru aja mau pulang. Kamu sendiri kenapa belum pulang?”
“Aku habis menghadap Pak Beni.”
“Ngapain?”
“Tadi siang aku konsultasi sama Bu Rahmi mengenai OSN. Berhubung aku pengen ikut bidang fisika, Bu Rahmi nyaranin aku buat nemuin Pak Beni.”
“Kamu memang pintar dan rajin ya. Orangtua kamu pasti bangga sekali punya anak kayak kamu.”
Ardiyat hanya tersenyum tipis mendengar pujianku. Namun aku merasakan kalau senyumannya itu seperti dipaksakan, hanya untuk sekedar basa basi.
“Kamu mau aku antar pulang?” dia menawarkan diri.
Mendengar pertanyaan itu, aku merasa sangat senang. Namun aku tiba-tiba teringat akan sesuatu. “Hmmh... kamu nggak lapar apa? Maaf, tadi aku nggak sengaja liat kamu ketiduran di kantin,” aku bertanya sambil menjelaskan yang sebenarnya kepadanya, agar dia tidak salah paham. Aku takut jika dia merasa kalau aku terlalu memperhatikannya. Nanti dia mengira aku menguntit dirinya. Meskipun kuakui kalau aku memang sudah berlebihan memperhatikannya.
“Eh iya nih... aku baru sadar kalau belum makan dari pagi. Hmm... kamu mau ikut aku makan nggak? Hari ini aku yang traktir deh!”
Deg! Aku tidak menyangka dia akan mengajakku makan bersama. Tentu saja aku mau banget!
“Ehmm... boleh, kalau tidak merepotkan kamu,” kataku berbasa-basi. Padahal dalam hati kegirangan karena diajaknya makan berdua.
“Yaa nggaklah, kita kan teman sekelas!”
Lagi-lagi aku merasakan jantungku berdegup tidak karuan. Ada rasa senang sekaligus rasa haru. Ternyata dia sudah menganggapku, walaupun hanya dianggap sebagai teman sekelas.
“Ayo kita ke parkiran!” ajaknya.
Kami berdua berjalan bersama menuju parkiran sekolah. Sesampainya di sana, Ardiyat membuka jok motornya untuk mengambil jaket yang akan dia kenakan. Kemudian naik dan mulai menyalakan motornya. Aku pun juga naik ke atas motornya. Setelah itu, dia mengendarai motornya menuju ke sebuah rumah makan. Kami akan makan di luar karena kantin sekolah jam segini sudah tutup.
Seperti saat ke toko buku waktu itu, hari ini aku kembali menikmati perjalanan yang kulalui bersamanya. Melewati jalanan yang panas dan berdebu. Tapi perjalanan ini sungguh menyenangkan karena perginya bersama dia, yaitu seseorang yang aku suka. Ini akan menjadi kenangan terindah dalam hidupku. Aku berharap, hal menyenangkan seperti hari ini akan terus terjadi.
Angin sejuk menerpa rambutku yang panjang dan terurai, saat motor yang dikendarainya melaju kencang di jalanan ini.
***
Ardiyat menghentikan motornya di depan sebuah warteg. Kami berdua langsung masuk ke dalam dan duduk di kursi paling pojok karena tempatnya terlihat nyaman dan adem.
“Kamu mau makan apa?” tanyanya ketika aku sedang melihat menu yang tertera.
“Aku mau ayam geprek, yang sangaaattt pedass tapi ya!” seruku.
Ardiyat mendelikkan matanya. “Yakin mampu makannya? Awas kalau tak mampu! Jangan minta tambah air ya!”
“Tenang aja, aku ini hantu cabe. Jadi aku pasti mampu memakannya tanpa minum yang banyak.”
“Yaudah, kalo gitu aku akan pesan makanan itu untuk kita, soalnya aku juga suka makanan pedas,” kata Ardiyat sambil beranjak pergi ke tempat memesan makanan. Dia juga memesan minuman untuk kami. Setelah itu, dia kembali duduk di samping kiriku.
Sambil menunggu makanan datang, aku mencoba mengobrol dengannya. “Ardiyat, kamu pasti punya cita-cita yang tinggi sekali ya? Pasti keluarga kamu bangga sama kamu.”
“Kenapa kamu selalu mengatakan hal seperti itu?” tanyanya. Pertanyaannya terasa seperti tidak menyukai perkataanku tadi.
“Ehh... maaf kalau perkataanku salah. Aku hanya kagum dengan orang yang pintar seperti kamu...” ucapku. Aku sempat melihatnya menatap wajahku saat mendengar ucapan terakhirku. Namun dia kembali mengalihkan tatapannya ke depan.
Aku kembali berkata, “Pasti kamu nanti nggak terlalu susah dalam menghadapi pelajaran, nggak kayak aku yang otaknya biasa aja,” kataku dengan hati-hati agar dia tidak tersinggung.
“Tidak semua yang kamu pikirkan seperti itu...” ucapnya lirih.
“Apa?” tanyaku karena ucapannya tadi nyaris tak terdengar.
“Nggak apa-apa,” sahutnya sambil tersenyum ke arahku. Mungkin untuk mencairkan suasana.
Minuman yang tadi dipesan pun datang. Sambil minum aku kembali melanjutkan obrolan dengannya.
“Kamu nggak ikut bimbel kayak Erik? Kamu kan teman dekatnya,” dia tiba-tiba menghentikan minumnya. Kemudian memandangku dengan lekat-lekat. Aku yang dipandanginya jadi merasa tidak nyaman.
“Aduhh... sekali lagi aku minta maaf kalau perkataanku salah. Aku nggak bermaksud ingin tahu tentang kamu. Aku cuma bingung mau ngomong apa, soalnya aku kan nggak kenal kamu dari lama, kayak Caca, Winda, Shila dan yang lain, ” aku berusaha menjelaskan agar dia mengerti dengan sifatku.
Ardiyat justru tertawa lepas mendengarku berbicara dengan nada khawatir. Setelah selesai tertawa, dia kembali memandangiku. Namun kali ini tidak dengan tatapan tajam tadi, melainkan dengan tatapan yang lembut.
“Irena, kamu itu lucu...” dia kembali berkata seperti di toko buku kemarin.
“Kan, kan, kan... kamu selalu aja ngatain aku lucu. Memangnya aku ini pelawak?!” hardikku. Namun Ardiyat malah melamun. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu yang berat.
“Kamu lagi ada masalah, ya?” tanyaku.
Ardiyat menghela napasnya sebentar. Aku bisa merasakan kalau dia sepertinya ingin mengatakan sesuatu, namun agak ragu untuk mengatakannya.
“Kamu kenapa? Cerita dong kalo lagi ada masalah. Santai aja denganku!”
Melihatnya terdiam, aku kembali bersuara. “Kalau kamu nggak mau cerita juga tidak apa-apa kok. Aku hanya menawarkan diri karena aku adalah seorang pendengar yang baik.”
Ardiyat memandangiku begitu lama untuk meyakinkan bahwa aku bersungguh-sungguh dengan perkataanku.