Hari ini hari Sabtu. Setiap akhir pekan, SMANUS hanya mengadakan kegiatan ekstrakurikuler dan klub saja. Tidak ada kegiatan belajar mengajar.
Beberapa waktu yang lalu, aku memutuskan untuk ikut ekskul badminton. Itu karena Winda mengajakku. Namun saat melakukannya, aku merasa tidak berbakat sama sekali dalam bidang olahraga yang satu ini. Soalnya aku selalu kalah tiap kali bermain. Sekarang aku hanya bisa duduk istirahat sambil melihat Winda yang begitu jago bermain melawan Tami. Ternyata dia sangat pandai dalam olahraga, meskipun dia tidak begitu bagus dalam akademik.
“Win, aku beli minum dulu ya!” teriakku.
“Iya, tapi aku nitip dong!” teriak Winda.
“Iya deh.”
Aku berjalan dengan terburu-buru. Namun saat melewati sebuah ruangan, aku mendengar suara yang begitu indah namun lagu yang dimainkan. Suara itu berasal dari sebuah alat musik yang digesek. Aku mendengar lagu yang dimainkan, dan walaupun tidak paham dengan musik klasik, entah kenapa aku bisa merasakan kalau lagu yang dimainkan itu menyiratkan makna kesedihan. Yang memainkannya seolah sedang merasakan beban luka yang mendalam. Aku menghentikan langkah dan melihat ke dalam ruangan dari balik jendela. Terlihat seorang cowok dengan lincah menggesek biola yang ada di bahu kirinya, memainkan sebuah lagu klasik dengan penuh penghayatan. Dia tampak mengagumkan, namun terlihat raut kesedihan saat kulihat sekilas wajahnya dari samping.
“Astaga, itu kan Erik !!!” pekikku dalam hati.
Aku yang tadinya hendak beli minuman ke kantin pun, lalu batal karena malah tertarik melihat Erik bermain biola. Dia memainkannya dengan sangat indah, seperti seorang violinis yang tampil di acara orkestra, yang biasa kulihat di TV. Dia juga terlihat semakin tampan saat menggesek biola di pundaknya. Aku seperti melihat seorang pangeran tampan dalam cerita dongeng.
Beberapa saat lamanya aku jadi larut dalam lamunan. Aku tidak sadar jika Erik ternyata juga menatapku dari balik jendela. Dia masih berdiri di tempatnya memainkan biola. Kaca jendela ruang musik ini transparan, sehingga bisa melihat dengan jelas baik dari dalam maupun dari luar. Duh, betapa malunya aku jika dia tahu kalau aku melihatnya begitu lama. Kenapa aku sampai tidak menyadari kalau dia sudah selesai bermain?
Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung membalikkan badan dan pergi meninggalkan tempat itu. Aku kembali ke lapangan badminton, dimana Winda masih bertanding melawan Tami. Aku lalu duduk di sebuah kursi yang ada di tepi lapangan.
“Ren, kamu kok melamun? Minumannya mana?” tanya Winda saat melihatku duduk. Mungkin dia kira aku tadi jadi ke kantin.
“Eh anu... maaf Win, tadi aku kebelet, jadi aku pergi ke toilet dan nggak jadi ke kantin,” aku terpaksa berbohong karena malu mengatakan yang sebenarnya.
“Oh, yaudah,” kata Winda cuek sambil melanjutkan permainannya. Aku pun menungguinya hingga usai bermain.
Tak lama kemudian, akhirnya Winda pun selesai bermain dan lalu duduk di sampingku. Aku pun langsung menanyainya, “Win, aku boleh nanya sesuatu nggak? Tapi kamu jangan berpikiran yang macam-macam ya!”
“Tentang apa?”
“Hmm... Win, ingin tahu banyak mengenai teman-teman cowok SMP kamu itu, yang sekarang sekelas sama aku. Kamu udah kenal baik sama mereka kan?”
“Siapa dulu nih, kan teman cowok SMP-ku yg sekelas sama kamu itu ada Ardiyat, Rangga, Erik, Bima, sama...”
“Semuanya deh.” pintaku. Aku meminta semuanya agar Winda tidak salah paham. Kalau aku cuma nanyain Erik sama Ardiyat doang, pasti dia akan berpikir kalau aku suka sama mereka berdua, walaupun memang ada rasa suka sih.
Sebenarnya aku cuma sama Ardiyat. Namun, terkadang aku merasa kalau aku juga penasaran sama Erik. Selain karena dia punya daya tarik tersendiri, dia juga memiliki prinsip dalam hidupnya yang membuatku mengaguminya.
“Aku kasi tau sesuatu yang aku tahu aja yah, Ren,” Winda bergerak mendekatiku.
“Ini... aku tuh dulu pernah dengar dari Shila, kalo hubungan Ardiyat, Erik dan Rangga itu sebenarnya nggak baik. Tapi nggak tau kenapa mereka bertiga sekarang bisa akrab banget. Dulu kami di sekolah pernah dengar kalau Rangga sama teman-temannya membully Ardiyat!” ungkapnya.
Tapi bukan hal seperti itu yang ingin kuketahui. Yang ingin kuketahui adalah mengenai kisah cintanya di masa lalu gitu. Apakah dia pernah suka sama seseorang sewaktu di SMP Semesta gitu.
“Oh iya Win, kenapa sih kalian sering menggoda Caca sama Ardiyat?” tanyaku sebagai kode jika aku ingin mengetahui hubungan mereka.
“Karena Ardiyat pernah nembak Caca waktu SMP. Tapi Caca menolaknya!”
Aku terkejut mendengarnya. Sementara Winda langsung berkata, “Tapi biarpun begitu, sebenarnya mereka berdua itu sama-sama saling suka.”
Aku tertegun begitu mendengar perkataan itu. Winda yang melihatku langsung bertanya, “Kenapa kamu kayaknya kepo banget sih sama mereka?”
Aku tidak segera menyahut karena masih menyangka Ardiyat pernah menyukai Caca. Pantas saja selama ini aku melihat mereka berdua agak canggung kalau lagi bertemu, seperti ada sesuatu gitu.
"Saat mengetahui engkau telah menyukai orang lain, entah kenapa hatiku terasa begitu hancur. Namun, aku tetap meyakinkan diri bahwa selagi kesempatan itu masih ada, aku akan tetap menyukaimu... Tetapi, jika suatu hari nanti kesempatan itu sudah tak ada, mau tidak mau, aku akan menghormati pilihanmu.“
“Irena!? Apa ada masalah?” Winda kembali bertanya kepadaku yang masih melamun sendiri. Dia bertanya dengan suara agak keras.
“Ehm... nggak ada!” sahutku dengan gugup.
“Beneran ?”
“Iya, nggak ada masalah apa-apa.”
“Lantas kamu kenapa nanyain tentang mereka?”
“Aku cuma kepo ajah kok,” aku berusaha meyakinkannya.
Winda menatapku dengan serius, “Tapi aku curiga kayaknya kamu nyembunyiin sesuatu dariku.”
Aku menghela napas. Winda memang sangat peka dengan seseorang. Sehingga akhirnya aku memutuskan untuk mengatakan hal ini kepadanya. Lagian sebenarnya aku juga tidak ingin menyimpan rasa ini sendirian.
“Win, sebenarnya... aku suka sama seseorang.”
“Tuhkan, benar pemikiranku selama ini!” pekiknya. “Ayo kasi tau. Aku ingin mendengarnya secara langsung dari kamu, ” Winda merasa penasaran. Dia lalu memepetkan tubuhnya ke dekatku.
“Aku... ehmm...tapi kamu nggak marah kan sama aku?” tanyaku
memastikan.
“Kenapa harus marah? Cepetan bilang !” Winda tidak sabar.
“Aku takut kamu akan marah sama aku gara-gara dia pernah suka sama Caca...” kataku dengan perlahan.
“Ardiyat!!” Winda berteriak sambil menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya.
“Maaf ya, Win. Aku tidak bermaksud merusak hubungan pertemanan kita. Tapi perasaan ini ada tanpa aku inginkan,” aku mencoba memberi pengertian kepadanya.
“Aku kira selama ini kamu sukanya sama Erik. Soalnya kalian berdua tampaknya gimanaa gitu. Apalagi Erik tuh kayaknya suka banget sama kamu, Ren,” kata Winda dengan wajah yang masih tidak percaya jika aku menyukai Ardiyat.
Aku menggelengkan kepalaku sambil menatapnya. “Aku hanya menganggap Erik sebagai teman yang sangat baik. Aku sukanya sama Ardiyat. Aku suka dengan dia saat pertama kali bertemu.”
“Ya ampunn kenapa kamu nggak pernah cerita sih, Ren. Aku sih nggak apa-apa, cuma...,” Winda menghentikan perkataannya. Dia hanya terdiam sesaat sebelum kembali bicara seolah kepada dirinya sendiri. “Gimana ya perasaan Caca, kalo tau kamu menyukai Ardiyat?”
“Kata kamu Caca sudah menolaknya,” jawabku dengan cepat.
“Tapi tetap aja kalau mereka berdua pasti masih ada perasaan.”
Mendengar itu, aku lalu bicara dengan sedikit tegas. “Masa sih?! Apa aku nggak boleh menyukai Ardiyat gara-gara dia pernah suka sama Caca?!”
“Bukan begitu, Ren. keliatannya Ardiyat itu nggak akan pernah menyukai cewek lain selain Caca. Aku tahu apa yang kamu pikirkan. Dan aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya ngerasa gimana kalo Ardiyat ternyata hanya menganggapmu sebagai teman, sama seperti dia menganggap kami,” raut wajah Winda terlihat khawatir.
“Tapi Win... aku benar-benar suka sama dia.”
“Iya, aku tahu. Tapi...,”
“Kalau kamu nggak mendukungku juga nggak apa-apa kok.” kataku sambil beranjak pergi.
“Ren...,” Winda memanggilku.
“Aku ganti baju duluan,” kataku untuk beralasan pergi meninggalkannya. Aku kecewa kepada Winda karena dia seolah berpihak pada Caca. Padahal aku juga tidak mempermasalahkan jika Ardiyat pernah suka dengan Caca, bahkan jika seandainya mereka beneran pernah pacaran sekalipun tidak apa-apa. Toh itu sudah masa lalu. Barangkali sekarang mereka sudah tidak punya hubungan apa-apa. Aku tak bermaksud untuk merebut seseorang. Winda kan tadi bilang kalau Caca sudah menolaknya. Berarti kemungkinan Caca tidak begitu suka dengannya. Jadi, aku masih punya hak untuk menyukainya.