SMANUS memasuki ajaran baru tahun ini. Pada liburan semester kemarin, aku sempat pulang ke Pontianak. Namun aku tidak begitu lama di sana karena libur ajaran tahun ini begitu singkat. Jadi, sekarang aku telah kembali lagi ke Jakarta.
Ketika berada di sekolah hari ini, Caca dan Winda mengerubungiku di pintu gerbang. Mereka berdua menagih oleh-oleh makanan khas yang kujanjikan sebelum kembali ke Jakarta. Untunglah kemarin aku sempat membelinya saat di perjalanan menuju bandara.
“Irena, gimana kabar kamu di sana?” tanya Caca sambil menerima oleh-oleh yang dibawa olehku.
“Aku kan cuman pulkam sebentar doang, Ca. Ya tentulah baik-baik aja.”
“Siapa tahu kamu udah terbiasa sama suasana di sini. Jadi pas pulkam lalu sakit,” Caca mencandaiku.
“Justru kalo lagi sakit, pas pulkam langsung sembuh hehehe...”
“Kamu nggak pengen jadi orang Jakarta aja nih?” Caca menggodaku.
“Aku tetep cinta sama Pontianak, tempat dimana keluargaku berada,” kataku dengan bangga.
“Iya deh, yang setia sama daerah kebanggaannya,” kata Caca.
“Oh ya, Wind, kamu jadinya masuk ke kelas IPS ya ?” tanyaku kepada Winda.
“Iya, aku nggak masuk IPA kayak kalian berdua. Soalnya nilai IPS ku lebih tinggi. Lagian aku juga tertarik sama pelajaran Ekonomi,” kata Winda yang pernah bercerita kepada kami kalau dia bercita-cita jadi seorang pengusaha sukses.
Kini kami sudah duduk di bangku kelas XI. Hari ini merupakan pembagian kelas, apakah kami akan masuk ke kelas IPA atau ke kelas IPS. Walaupun di suruh untuk memilih sendiri jurusan, tapi tetap saja gurulah yang akan menyeleksi kelas untuk kami.
Aku sendiri memilih untuk masuk ke jurusan IPA karena aku suka dengan pelajaran Kimia dan Fisika. Nilaiku juga termasuk tinggi di kelas X kemarin, bahkan masuk 10 besar di Kelas. Aku termasuk cewek dengan nilai tertinggi di angkatan, bersama dengan Dewi, Keisha, dan Fika yang merupakan cewek berprestasi. Aku seakan tak percaya sewaktu Bu Rahmi mengumumkannya saat pembagian Rapor.
Setelah mendengarnya, aku merasa usahaku belajar dengan keras hampir setiap hari itu ternyata tidak sia-sia. Karena ternyata aku berhasil mendapat nilai bagus dan bisa masuk ke kelas IPA 1, seperti yang kuinginkan. Aku senang sekali karena bisa sekelas lagi dengan Ardiyat yang diketahui kalau dia juga masuk ke kelas itu.
Caca juga masuk kelas IPA. Namun sayangnya dia masuk ke kelas IPA 2. Jadi dia tidak sekelas lagi denganku maupun dengan Ardiyat dan Erik.
Berhubung kelas IPA 1 ini katanya bakal diisi sama siswa-siswa peringkat teratas, aku jadi merasa takut. Sempat terbayang dalam benakku, jika nanti nilaiku paling rendah di kelas. Kemarin pasti nasibku lagi bagus, makanya aku bisa mendapatkan nilai yang tinggi.
Di kelas IPA 1 juga hampir tidak ada teman cewek yang akrab denganku sewaktu di kelas X dulu, kecuali Dewi dan Shila. Namun mereka berdua sudah duduk bersama karena duluan bertemu. Jadi pas berada di kelas, aku sempat kebingungan mau duduk dengan siapa. Aku hanya mendekati sebuah kursi di tengah lagi sama saat seperti di kelas X dulu. Dan lalu duduk di situ.
“Kamu sendirian?” tiba-tiba ada yang menegurnya. Dia adalah Keisha Diandra Laurentz, cewek blasteran Indo-Amerika yang termasuk cantik di angkatan kami. Mata biru dan rambut pirangnya itu membuatnya tampak mempesona.
Keisha memandangiku yang sedang asyik melihat teman-teman yang lain sedang mengobrol dengan teman sebangku. Aku pun refleks menoleh ke arahnya saat dia menegurku.
“Hmm... iya, aku sendirian. Teman yang lain udah punya teman sebangku. Aku juga belum terlalu akrab dengan anak cewek yang lain. Anak cewek di kelas ini kebanyakan dari kelas yang berbeda denganku waktu di kelas X kemarin.”
“Dengan aku aja mau?” Keisha menawarkan diri.
“Oh boleh, duduk ajah,” aku mempersilahkannya.
Keisha pun duduk dan meletakkan tasnya di atas meja. Aku tidak menyangka diriku akan kembali duduk dengan seseorang yang cantik. Kemarin aku duduk dengan Caca, dan sekarang Keisha.
Sesaat kemudian, kami berdua lalu mengalihkan perhatian ke arah Rangga yang berlari kedalam kelas. Dia melompat ke arah Ardiyat dan Erik yang hendak duduk di bangku yang ada di depan.
“Hai, Surya !! Rendra !!” Rangga berteriak menyapa kedua temannya yang sedang duduk bersama. Dia memanggil kedua temannya itu dengan nama Ayah mereka.
“Horee... kita sekelas lagi!!” mereka bertiga saling ber tos tosan dan berteriak kegirangan, bagaikan habis dapat harta warisan gono gini aja.
“Ehhh tapi... kurang ajar lu, berani-beraninya nyebut nama bokap gue!!” hardik Ardiyat. Ia baru menyadari kalau Rangga tadi memanggilnya dengan sebutan Surya, yang merupakan nama Ayahnya.
“Tau nih Rangga, kena tulah baru tahu rasa lo!!” Erik juga ikut menghardik karena nama Ayahnya juga disebut tadi.
“Yaahh... Maaf deh, Surya dan Rendra... hahaha!!!” Rangga semakin menjadi-jadi mengolok kedua temannya itu.
“Berani-beraninya lo mengolok nama seorang Jendral terhormat!” Erik mengait lengannya ke leher Rangga.
“Hahaha... rasain lo !!” Ardiyat menertawakan Rangga yang tampak tersiksa.
Tak lama kemudian, Bima akhirnya datang. Dia juga terlihat bahagia setelah tahu mereka berempat sekelas lagi. Rangga sempat mengiriminya pesan tadi kalau mereka berempat ternyata sekelas lagi. Mereka berempat kembali gembira.
“Wah... emang kebetulan apa gimana sih. Kok kita bisa bersama terus dari SMP ?!” kata Bima.
“Mungkin kita memang udah ditakdirkan untuk bersama terus.” kata Rangga, yang kemudian berjalan mendekati meja kosong yang ada di samping mejaku, untuk meletakkan tasnya.
“Woi, Nitip tulong !!” Bima melempar tasnya pada Rangga.
“Lu kira gue pembantu lo??!” kata Rangga dengan kesal kepada Bima. Tetapi walaupun kesal, tetap saja dia melakukan perintah kawan sebangkunya itu meletakkan tasnya di tempat duduk mereka berdua.