“Aku akan menyemangatimu sampai akhir!!”
Aku menulis kata-kata itu di sticky notes dan lalu menempelkannya di buku catatan Matematika Ardiyat yang sempat kupinjam waktu itu. Selain itu, aku juga menggambar karakter bertubuh kecil lucu yang mengenakan sayap.
Buku ini akan kukembalikan setelah dia berada di Jakarta karena sekarang ini dia sedang berada di Bali bersama teman-teman lainnya yang juga ikut Olimpiade Sains Nasional. Mungkin sekitar empat hari lagi baru kembali.
Dia sudah belajar dengan keras selama ini. Selain tetap mengikuti pelajaran sekolah, dia juga mengikuti bimbingan khusus dari Pak Beni untuk mendalami materi Fisika tingkat lanjut. Selain itu, dia masih harus melanjutkan kegiatan belajarnya lagi di rumah. Aku tahu bahwa dia pasti melakukannya hingga lewat tengah malam.
Aku teringat dengan beberapa waktu yang lalu, saat aku hendak belajar di taman belakang sekolah. Di tempat itu, aku melihatnya sedang duduk sendirian. Dia selalu berada di sana sejak pagi untuk belajar dan hanya berhenti ketika mengikuti pelajaran di kelas.
“Kamu nggak mau berhenti sebentar apa?” tanyaku saat telah duduk di sampingnya.
“Aku harus dapat medali Ren, biar aku bisa dapat beasiswa di ISTN,” ucapnya dengan sungguh-sungguh.
ISTN atau Institut Sains dan Teknologi Nusantara yang di sebutkannya itu adalah nama sebuah kampus Negeri bergengsi yang terletak di Kota Bandung. Kampus tersebut sangat unggul dalam bidang sains dan teknologi, serta telah menghasilkan banyak alumni yang sukses. Karena itu, ISTN merupakan kampus idaman para murid SMANUS yang ingin mendalami sains dan teknologi, termasuk Ardiyat tentunya. Dia pernah bilang kalau salah satu impian dalam hidupnya adalah bisa berkuliah di kampus tersebut. Erik juga sebenarnya ingin masuk ke ISTN. Namun karena dia disuruh oleh kedua orangtuanya kuliah jurusan kedokteran, jadinya dia berencana masuk ke Universitas yang sama bagusnya, yakni Universitas Indonesia karena di ISTN tidak ada jurusan kedokteran.
“Aku juga ingin membuktikan pada orangtuaku kalau aku juga bisa membanggakan mereka, seperti kedua saudaraku,” tambah Ardiyat.
Dia benar-benar seriusnya mempelajari materi Olimpiade Fisika sebelum berkompetisi. Bahkan dia belajar materi Fisika di tingkat yang lebih tinggi, yaitu yang setara dengan materi untuk Mahasiswa S1 dan S2.
“Tapi kamu juga harus mikirin fisikmu juga...” Aku merasa khawatir karena melihat dirinya yang sekarang agak kurus. Soalnya dia suka lupa makan kalau lagi semangat dan seriusnya belajar.
“Aku udah gagal tahun kemarin, Ren. Jadi sekarang aku nggak mau mengulangi kegagalanku lagi. Tahun ini aku harus berhasil mendapatkan medali!” ucapnya dengan penuh semangat.
Aku memandangi wajahnya sambil tersenyum. Senyuman tulus sebagai seorang teman yang peduli.
Dia tiba-tiba menoleh ke arahku, sehingga kedua mata kami saling bertatapan. Dan aku sempat salah gugup.
“Aku liat... akhir-akhir ini kamu jarang makan di kantin lagi. Kamu pasti makan roti aja,” kataku, saat kami berdua mengalihkan pandangan karena sama-sama salah tingkah akibat mata yang saling bertatapan.
Ardiyat kembali melihat ke arah bukunya, sedangkan aku mengalihkan pandangan ke kolam kecil yang ada di taman.
“Aku nggak apa-apa kok.”
“Tapi...”
“Aku nggak mau menyia-nyiakan kesempatan!” dia kembali serius menatap bukunya, sambil menghabiskan roti yang dimakannya.
“Jadi kapan kamu berangkat ke Bali nya?”
“Minggu depan,” sahutnya. “Makanya aku nggak punya banyak waktu lagi.”
“Siapa-siapa aja yang berangkat?”
“Ada enam belas orang pokoknya dari SMANUS. Kalo dari kelas kita, aku, Rangga sama Dewi. Anak-anak di kelas kita kan nggak banyak yang daftar waktu seleksi kemarin,” katanya sambil kembali fokus membaca buku. Aku yang berada di sampingnya hanya bisa tersenyum memandanginya.
Aku lalu membuka tempat alat tulis di atas buku pelajaran yang kubawa, untuk mengambil sticky notes.
Aku menuliskan sesuatu di sticky notes itu, dan menggambar sebuah emoticon senyum. Setelah itu lalu menempelkan ke buku yang sedang dipeganginya.
Semangat ya, Ardiyat Wisesa.
Aku selalu mendukungmu!
“ by Irena Putri”
Ardiyat tersenyum saat melihat tempelan itu. Dia lalu memalingkan wajahnya ke arahku sembari menatapku dalam-dalam. “Aku akan terus bersemangat, Irena. Aku akan menjadi mahasiswa ISTN. Aku pasti bisa!”
Aku bisa melihat dibalik matanya yang sipit dan senyumannya yang manis itu, kalau dia memang bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
***
Hari ini para murid SMANUS yang mengikuti Olimpiade Sains Nasional sudah tiba di bandara kota Denpasar, Bali. Mereka terdiri dari 16 siswa dengan dua siswa mewakili satu bidang. Bidang yang dilombakan adalah Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Komputer, Ekonomi, Astronomi dan Kebumian. Pak Beni juga ikut pergi mendampingi mereka.
Mereka diantar oleh sebuah bus menuju ke sebuah hotel dimana mereka akan menginap selama kegiatan berlangsung.
Setibanya mereka di sana, tempat itu telah ramai para siswa siswi dari seluruh Indonesia. Mereka datang untuk mewakili sekolah masing-masing dalam ajang tersebut.
Selesai mengurusi akomodasi para siswanya, Pak Beni menyuruh mereka untuk pergi ke kamar masing-masing. Setelah itu, dia pergi ke hotel lain tempatnya akan menginap.
Ardiyat sekamar dengan Rangga karena mereka berdua mewakili bidang yang sama. Begitupula dengan teman-temannya yang lain, satu kamar diisi dengan dua orang dan berdasarkan bidang mata pelajaran yang diwakili bersama.
Saat sudah berada di depan kamar, Ardiyat membuka pintunya dengan kunci yang diberikan oleh Resepsionis hotel di bawah tadi. Namun saat memasukkan anak kuncinya, ia merasa ada yang janggal. Kamar itu seperti tidak dikunci.
“Aneh banget deh,” batin Ardiyat, sambil mengerutkan keningnya.
Rangga yang melihat temannya sedang keheranan pun langsung bertanya, “Kenapa, Yat?”
“Kamarnya nggak dikunci.”
Rangga tidak percaya. “Ah, yang benar lo?”
“Gue buka ya,” Ardiyat langsung membuka kamar tersebut.
Saat kamar itu terbuka, sontak terdengar suara teriakan beberapa orang anak cewek.
“Woii...!!! Ngapain kalian, nggak sopan banget buka pintu kamar orang sembarangan !!” hardik salah seorang anak cewek yang sedang membaca buku. Hampir saja dia melempar bukunya ke arah mereka berdua. Mereka yang lainnya juga keburu melempar bantal saat pintu tadi terbuka.
“Aduhh hmmh...anu maaf, kayaknya kami salah kamar. Maaf ya!” Ardiyat meminta maaf, walaupun dirinya juga sempat kesal karena hampir saja ia dan Rangga kena timpukan bantal yang tadi dilempar. Namun mereka yang di kamar itu kan tidak salah. Yang salah justru itu pihak hotel yang tidak teliti mengecek kalau kamar itu sudah ditempati oleh orang lain. Yang lebih penting lagi yaitu mereka berdua sangat malu kepada anak-anak cewek itu, seolah hendak masuk kamar anak cewek sembarangan.
Rangga pun turut meminta maaf dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Para anak cewek yang ada di kamar itu pun akhirnya paham dan memaafkan mereka berdua.
Ardiyat dan Rangga langsung pergi dari tempat itu. Mereka berdua kembali ke lobi untuk memberitahukan tentang kamar tersebut kepada Resepsionis hotel. Dan ternyata memang benar kalau pihak hotel memang salah memberikan kamar. Mereka berdua sempat kesal kepada pihak hotel karena merasa dipermainkan. Namun karena pihak hotel langsung memohon maaf, kekesalan mereka berdua pun jadi mereda.
Setelah mengecek lagi, Resepsionis itu memberitahukan kepada mereka kalau semua kamar di hotel tersebut ternyata sudah terisi.
Mendengar hal itu, Rangga lalu menelepon Pak Beni untuk memberitahukan apa yang menimpa mereka. Namun ternyata Pak Beni sedang sibuk menyelesaikan urusannya. Beliau menyuruh kedua siswanya itu untuk menunggu dulu di sana. Nanti dia akan menjemput mereka setelah urusannya selesai. Namun Rangga meminta untuk bergabung saja dulu dengan teman sekolahnya yang juga ikut OSN.
Untunglah Pak Beni menyetujui permintaan tersebut, sehingga mereka berdua tidak akan bosan menunggu di lobi.
“Gue telpon Nugi aja yah!” kata Rangga sambil menyebut nama teman sekolah mereka yang berada di kamar lain, yang sudah dianggap sebagai "kepala" rombongan OSN dari SMANUS.
“Terserah elo deh, Ngga. Yang penting kita nggak terlantar kayak gini,” kata Ardiyat sambil memeluk koper yang sedang tadi dipeganginya.
Tak lama kemudian, Nugi pun datang bersama dengan beberapa teman mereka yang lainnya. Dia mengajak keduanya untuk menyimpan koper dan tas ke kamar mereka untuk sementara. Setelah itu, dia juga berinisiatif mengajak mereka semua untuk jalan-jalan menikmati suasana Kota Denpasar.
Saat hari mulai siang, mereka kembali mengikuti ajakan Nugi untuk singgah ke sebuah rumah makan. Walaupun mereka juga bakal mendapat makanan dari panitia OSN, namun mereka ingin merasakan makan di luar pada hari pertama ini. Jadi mereka pun masuk ke sebuah rumah makan yang berbentuk semi restoran, yang menyajikan makanan khas Bali. Mereka pun makan sambil mengobrol.
“Kalian berdua gimana ceritanya sih bisa sampe salah kamar?” tanya Nugi, yang dikenal jago dalam programming dan sekarang ikut Olimpiade Komputer.
“Gak tau. Pas gue buka kamarnya udah ada orang. Mana mereka cewek lagi!” gerutu Ardiyat sambil menggigit sate lilit dengan sadis.
“Hahaha... nggak kebayang gue kalo berada di posisi lo berdua! Untung aja mereka nggak gebukin kalian!” Steven, salah satu teman mereka yang ikut bidang matematika, pun menertawai mereka berdua, diiringi oleh para teman-teman yang lainnya.
“Pasti mereka mengira lo berdua mau ngintipin mereka hahahaha...ehh hukk...hukkk...huukkk aduuhh tolong!!” Agus yang duduk di samping Steven pun juga ikut mengolok sambil tertawa bahkan sampai memukul-mukul meja. Namun tiba-tiba saja ia tersedak akibat kelakuannya tersebut.
“Syukurin lu!!” kata Ardiyat dan Rangga bersamaan saat melihat tingkah Agus yang lucu saat tersedak.
Agus pun langsung mengambil gelasnya untuk minum.
“Itulah karma mengolok dan menertawai teman yang lagi kena musibah. Keselek sambal matah kan jadinya!!” kata Rangga yang balik tertawa saat melihat Agus yang masih berusaha meminum air banyak-banyak.
“Udah, Ngga... kasian,” kata Ardiyat sambil membantu menambahkan air ke dalam gelas Agus yang hampir kosong. Sebenarnya ia juga ingin tertawa melihat tingkah lucu temannya yang terlihat seperti onta kehausan itu. Tapi ada rasa kasihan juga jika mentertawainya.
Agus pun segera meminum air yang diberikan Ardiyat. Ia meminumnya dengan cepat karena tenggorokannya terasa panas sekali.
“Sorry deh, gue cuman becanda. Lo bedua kok sewot sampe segitunya sih!!” celoteh Agus saat kerongkongannya mulai membaik.
“Jadi kalian berempat bakalan sekamar dong?” Akbar, partner matematika bersama Steven, yang daritadi diam saja tiba-tiba bertanya sambil memandangi Ardiyat, Rangga, Nugi dan Agus.
“Nggak. Gue sama Rangga nanti bakal nginap sehotel sama Pak Beni. Kita bertiga sekamar bareng.”
Mendengar hal itu, Agus langsung merinding. “Hiii....gak kebayang gue kalo harus sekamar sama Pak B.E !! Do’i kan galak banget. Ketiban sial dua kali tuh kalian!”
“Apalagi dia itu pelatih kalian berdua, haha... mampus kalian kena suruh belajar terus sama guru menyeramkan itu. Kalian nggak akan bisa menikmati suasana kayak kami-kami ini,” Dewi yang daritadi diam pun ikut-ikutan. Dia senang saat mendengar kedua teman sekelasnya itu bakalan tertimpa nasib menyedihkan baginya.