“Ada rasa bahagia tiap kali aku mendengarmu menyebut namaku sambil mengucapkan terima kasih”
Aku mendengar kabar kalau mereka yang ikut OSN di Bali kemarin sudah berada di Jakarta. Tetapi aku tidak melihat Ardiyat masuk sekolah hari ini. Padahal aku ada melihat Rangga, Dewi dan juga anak-anak kelas lain yang mewakili Olimpiade kemarin, hari ini berada di sekolah.
Rangga dan Dewi memberitahu kami di kelas kalau ternyata Ardiyat jatuh sakit saat selesai OSN. Dia sempat diantar oleh Pak Beni ke rumah sakit sewaktu di Bali. Tetapi kemarin dia sudah kembali ke Jakarta. Hanya saja hari ini dia izin tidak masuk sekolah karena belum pulih sepenuhnya. Kami sekelas yang mendengar hal itu pun sepakat untuk menjenguknya. Dewi juga mengajak kami mengumpulkan iuran untuk membeli sesuatu saat berkunjung nanti.
“Ardiyat nggak dirawat di rumah sakit. Dia berada di rumahnya,” kata Dewi saat selesai meneleponnya.
“Kalo gitu, kita jenguk aja ke rumahnya!” saran Erik. Semua yang ada di kelas pun menyetujui.
Kami semua pun pergi menuju rumahnya sepulang sekolah. Sesampainya di sana, kami mengetuk pintu rumahnya. Tak lama kemudian, terlihat Ardiyat membukakan pintu, sehingga membuat kami terkejut. Dia tampak pucat dan lemah. Namun di depan kami dia berusaha memperlihatkan kalau keadaannya baik-baik saja.
“Lho Ardiyat, kamu sendirian aja di rumah? Ayah sama Ibu kemana?” tanya Rangga saat melihat keadaan rumah temannya yang sepi.
“Itu... hmmhhh...,” Ardiyat hanya bergumam karena ragu menjawab. Ia tidak ingin teman-temannya berpandangan buruk pada orangtuanya, membiarkannya sakit sendirian di rumah.
Aku bisa melihat kalau Ardiyat kebingungan untuk menjawabnya. Aku yang memahami hal itu langsung menjawab pertanyaan Rangga. “Coba aku tebak!? Mereka lagi ada urusan penting, pasti bentar lagi juga pulang. Iya kan, Ar?”
“Eh...hmm iya, ayo masuk semuanya,” Ardiyat membuka pintu rumahnya lebih lebar, agar teman-teman bisa masuk ke dalam.
Kami semua pun masuk dan duduk di kursi ruang tamu. Dewi menyerahkan bingkisan berisi buah dan kue kepada Ardiyat, sambil menatapnya dengan agak lama, sehingga membuatku merasa sebal.
“Nih, dari kami semua. Dimakan ya. Cepat sembuh lo, biar gue ada saingan fisika di kelas. Gue neg banget saingan ama dua orang yang nama lengkapnya sama nama panggilannya aja agak beda. Sepertinya orangnya juga memang agak berbeda dari manusia pada umumnya.”
Perkataan Dewi disambut tawa kami semua, kecuali Erik dan Rangga. Mereka berdua tahu kalau Dewi tengah menyindir mereka.
“Heh, nama gue tuh masih jelas. Erlangga dipanggil Rangga! Nah si ini nih... masa Ricky dipanggil Erik!!” kata Rangga sambil menunjuk Erik.
Kami semua kembali tertawa. Sementara Erik langsung menggerutu, “Kenapa emangnya? Toh juga tidak menganggu ketentraman masyarakat. Lagian masih nyambung juga kok kalo nama Ricky dipanggil Erik. Keduanya sama-sama nama yang bagus.”
Namun gerutuan itu tidak diperdulikan oleh kami karena sedang fokus melihat Ardiyat yang menerima bingkisan yang dipegang oleh Dewi.
“Makasih ya, Dewi dan semuanya. Oh iya, maaf kemarin gue gak sempat beli oleh-oleh buat kalian, soalnya abis dari rumah sakit, gue keburu diajak Pak Beni pulang,” Ardiyat memasang wajah antara bersalah dan malu.
“Nggak apa-apa kok, Yat. Rangga sama Dewi tadi udah bagiin kita oleh-oleh. Yang penting elo nya nggak kenapa-kenapa. Gue kangen banget sama elo,” ujar Denis sambil merangkulnya. Namun Ardiyat malah menghindar darinya.
“Apa-apaan lo !! Gue mah maunya anak cewek aja yang kangen sama gue!” kata Ardiyat, membuat Denis cemberut mendengarnya.
Keisha tiba-tiba nyeletuk. “Yat, kamu dapat medali apaan? nanti aku nebeng foto pakai medalimu ya. Aku mau posting di Twitter.”
Teman sebangkuku itu tidak hanya cantik, tapi juga memiliki followers paling banyak di medsos dari sekian anak cewek yang ada di sekolah. Bahkan sebenarnya dia lebih populer daripada Caca. Hanya saja Keisha bukan tipikal orang yang suka menonjolkan diri. Dia agak sedikit pemalu dan introvert.
Dewi pun menjawab dengan nyaring. "Dia dapat medali emas loh !! Dan juga dapat penghargaan sebagai best experimental terbaik lagii...!!"
Mendengar hal itu, seorang teman langsung menimpali. “Wow, keren banget lo, Yat. Pantesan nilai Fisika ama praktikum lo sering dapat seratus. Tugas Mekanika yang Pak B.E kasi kemarin, gue nyontek sama elo ya, please!”
Semuanya langsung meneriakinya dengan teriakan “Huuuuu....!!!”
“Dia buat kesalahan di teori. Kalau di eksperimen sih bagus banget. Kalo aja dia nggak buat kesalahan, dia pasti bisa dapat medali emas urutan pertama!” Dewi bersemangat memberitahukan prestasi teman seperjuangannya tersebut.
“Ahh Dewi... gue mah bisa dapat medali aja udah seneng banget,” sahut Ardiyat.
“Selamat ya, Yat. Nanti gue pinjem medalinya buat dipamerin di medsos gue. Biar orang lain ngiranya gue yang dapet,” Shila ikut-ikutan Keisha.
“Serah elu,” Ardiyat melototkan mata kepada Shila.
“Makaseh Diyat, elo baik banget sihhh...” kata Shila sambil memandangi Ardiyat dengan bahagia.
“Suka banget sih elo nyari sensasi!” Rangga tiba-tiba menimpali ucapan Shila. Dia terlihat agak cemburu saat melihat Shila memandangi Ardiyat dengan penuh kekaguman.
“Biarin, suka-suka gue dong. Siapa suruh elo lebih jelek dari Ardiyat, makanya nggak dapat medali!” Shila mencandai Rangga dengan mengejeknya.
Rangga pun melotot memandanginya saat dikatai seperti itu. Namun Shila membalasnya dengan juluran lidah. Mereka yang lain pada tertawa melihat tingkah kedua pasangan itu.
“Eh... kalian semua, aku mau kasi tau sesuatu nih. Pas nyampe hotel, Ardiyat sama Rangga salah masuk kamar lho. Mana kamar yang mereka masukin itu kamar cewek lagi!!” pekik Dewi yang langsung dilirik oleh Ardiyat dan Rangga dengan tatapan tajam. Mereka berdua memberi isyarat agar Dewi tidak memberitahukan kejadian itu. Namun Dewi malah jadi semakin ingin menceritakannya.
“Apa???!! hahahaha....hahahaha....” Semuanya terkejut dan langsung tertawa terbahak-bahak.
“Dewi! Lo ngebuat kita berdua malu !!” Ardiyat memandangi Dewi dengan wajah cemberut. Rangga juga bermuka masam saat dirinya ditertawai. Sedangkan Dewi merasa puas karena berhasil membuat kedua teman seperjuangannya itu kesal.
Beberapa saat kemudian, akhirnya semua yang ada di situ pada asyik mengobrol. Ardiyat lalu mengatakan kepada mereka kalau dia mau pergi ke dapur.