“Aku ingin mengatakan kepadamu bahwa aku menyukaimu. Dengan seiring berjalannya waktu, bisakah aku menjadi ‘seseorang' di hatimu?”
Kembali aku menuliskan kata-kata di sticky notes dan menempelkannya di buku harianku. Buku harian berwarna pink pastel ini selalu kuisi dengan berbagai tulisan, seperti quotes-quotes maupun puisi. Buku ini akan menjadi saksi perjalanan hidupku, bagaimana aku berjuang selama ini. Banyak cerita yang telah kutuliskan di buku ini. Termasuk cerita tentangku sekarang yang sedang menaruh hati pada seseorang.
Terkadang, ada keinginan untuk mengungkapkan perasaan suka ini kepadanya. Sudah hampir tiga tahun aku memendamnya. Walaupun aku tidak memendamnya sendirian, karena ada Winda yang juga tahu tentang hal ini. Namun tetap saja aku merasa kalau aku menyimpan rasa ini sendirian. Aku ingin orang yang kusukai itu tahu bagaimana aku begitu menyukainya. Tapi... aku terlalu malu untuk memberitahukan kepadanya.
Namun balik lagi, aku juga ingin dia tahu apa yang kurasakan selama ini. Aku ingin dia tahu kalau aku merasa kehilangan saat dia tidak berada di sekolah. Bahkan aku seolah ikut merasakan apa yang dia rasakan, saat dia menceritakan hal buruk yang menimpanya. Mungkin semua yang terjadi padaku ini begitu berlebihan. Tetapi inilah kenyataan yang sesungguhnya kurasakan. Oleh karena itu, aku berkata pada diriku sendiri bahwa lebih baik aku mengungkapkannya daripada nanti memyesal. Siapa tahu dia juga memiliki perasaan yang sama denganku.
Karena sudah tak tahan lagi memendamnya, aku meraih HP dan mengiriminya pesan. Kebetulan dia kemarin sudah kembali masuk sekolah, setelah beberapa bulan mengikuti pelatnas di Bandung. Jadi, ini adalah kesempatan yang bagus untukku mengutarakannya, sebelum dia kembali lagi mengikuti pelatihan.
Irena: “Ardiyat, kamu sibuk nggak besok? Aku mau ngomong sesuatu sama kamu sepulang sekolah.”
Semoga Ardiyat membaca dan membalas pesanku. Tidak mungkin dia tidur jam segini. Dia pasti masih belajar seperti biasa.
Benar saja tebakanku kalau dia belum tidur. Karena beberapa saat kemudian, aku mendapat balasan pesan darinya.
Ardiyat : “Nggak sibuk kok. Ngomongnya dimana, Ren? Di kelas?”
Irena : “Di tempat lain aja, ya. Gimana kalau di ujung lorong depan kelas?
Ardiyat : “Okay.”
Aku menaruh kembali HP ku ke atas meja, kemudian berbaring di atas kasur dengan gelisah. Rasanya aku tidak ingin tidur malam ini. Perasaanku jadi tidak tenang membayangkan hari esok. Untunglah akhirnya kantuk mulai menyerang, sehingga aku bisa tidur dan tidak memikirkan hal itu lagi.
***
Menjelang pagi harinya, aku berangkat ke sekolah dengan rasa yang tidak karuan. Rasa cemas, gelisah, malu dan rasa lainnya bercampur jadi satu. Seperti yang kujanjikan semalam, seusai sekolah aku menungguinya di ujung lorong sekolah. Lorong yang berbentuk seperti labirin.
Ujung lorong tempat kami janjian ini berada di lantai tiga karena kami sudah menginjak kelas XII.