Hari-hari pun terus berlalu...
Aku yang tadinya semangat untuk sekolah kini mulai kehilangan rasa semangat itu. Perasaanku jadi tak menentu. Kenapa aku harus kehilangan seseorang yang biasanya membuatku bersemangat.
Kemarin, Ardiyat kembali mengikuti pelatnasTim Olimpiade Fisika Internasional di kampus ISTN Bandung, sehingga aku kembali merasa kehilangan sosok dirinya.
Aku hanya bisa memandangi bangkunya yang kosong setiap hari sambil mengharapkan dirinya kembali masuk. Soalnya aku ingin memperbaiki hubungan pertemanan kami seperti dulu.
Namun, dengan terus berjalannya waktu, entah mengapa aku merasa kalau aku dan dia terasa semakin ‘jauh'. Kami bagaikan kenangan yang mulai menghilang dengan seiring berjalannya waktu.
Kini aku malah semakin dekat dengan Erik. Belakangan ini aku merasa kalau sikapnya dia kepadaku itu berbeda dengan sikap dia kepada teman cewek yang lain. Padahal aku tidak ada perasaan apapun dengan dia. Maksudnya aku hanya menyukainya sebagai seorang teman, tidak lebih daripada itu. Tetapi tidak bisa dipungkiri kalau dia juga bisa membuatku merasa nyaman. Dia selalu membuatku tertawa dengan candaan konyolnya. Satu hal yang bisa kunilai dari dirinya adalah dia sangat jenius dalam akademis, tapi dia tidak jenius dalam menyembunyikan perasaannya.
Sayangnya, aku tidak bisa mencintainya karena aku sudah terlanjur mencintai Ardiyat. Meskipun dia tidak memiliki perasaan yang sama denganku, namun aku masih menyimpan rasa suka kepadanya. Dan, aku akan tetap mencintainya selagi aku masih bisa melakukannya.
Meski sempat terpikir juga olehku kalau seharusnya aku tidak mencintainya seseorang yang membiarkanku 'pergi' begitu saja. Namun entah kenapa sulit sekali bagiku untuk menerima kenyataan tersebut.
Aku melamunkan hal itu sambil berjalan ke dalam kelas. Setelah tiba, aku duduk dengan kedua tangan menopang dagu. Shila yang melihatku seperti itu langsung bertanya.“Irena, kamu sakit?”
“Aku lagi nggak enak badan, Shil. Tapi aku baik-baik saja kok.”
“Oh gitu. Tapi kalau ada apa-apa bilang aku ya, biar aku temenin ke UKS.”
Aku mengangguk sambil tersenyum memandanginya, untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja, walaupun sebenarnya sedang tidak dalam keadaan baik.
“Irena, ini buat kamu!”
Seseorang tiba-tiba meletakkan susu coklat kesukaanku di atas meja, tepat di hadapanku. Aku pun melihat seorang cowok yang selalu perhatian kepadaku itu. Di berdiri tepat di depanku.
“Minumlah... siapa tau ini bisa membuat suasana hatimu membaik.”
“Makasih Rik,” sahutku dengan lesu.
“Kalau kamu sakit, nanti biar aku antar pulang,” dia menawarkan diri.
“Tidak usah. Aku tidak mau merepotkan kamu.”
“Aku nggak ngerasa repot kok. Lagian aku juga kayaknya ada perlu nih sama kamu.”
“Baiklah kalau gitu,” akhirnya aku menuruti kemauannya.
Shila yang melihat kami berdua lalu memberikan kode dengan mengedipkan matanya ke arahku. Itu pertanda bahwa dia sedang menggodaku. Dia memang selalu berharap aku bisa jadian dengan Erik. Melihatnya yang seperti itu, aku lalu mencengkeram bahunya.
***
Sepulang sekolah aku dan Erik pulang bersama. Ketika di persimpangan jalan, dia membelokkan motornya ke jalan lain yang bukan arah jalanku pulang. Aku tidak mau menanyainya karena mengira dia ada keperluan dulu di suatu tempat.
Setelah menempuh perjalanan sekitar lebih dari 50 menit, Erik menghentikan motornya di depan sebuah rumah yang mewah dan asri.
“Ini rumahku. Masuklah. Kamu tadi kayaknya lagi bosan, bukan lagi sakit.”
Ternyata dia mengajakku ke rumahnya. Aku termangu sesaat ketika melihat rumahnya, sebelum berjalan mengikutinya dari belakang. Sebenarnya aku malu untuk bertamu ke rumahnya dengan mendadak begini. Kenapa dia tidak bilang dulu sih kalau mau mengajakku ke rumahnya ?! Aku kesal dalam hati.
“Kebetulan di rumahku ada acara nanti malam. Mama nyuruh aku bantuin dia,” kata Erik sambil membuka pintu rumahnya. Dia lalu menarik tanganku untuk masuk kedalam, dan mengajakku ke belakang. Di sana terlihat seorang wanita separuh baya yang masih kelihatan cantik. Seperti gosip yang pernah kudengar dari teman-teman di sekolah, dia merupakan seorang Pejabat di Pemerintahan.
“Ma...” Erik memanggil wanita itu, yang tak lain adalah ibunya.
Kami berdua lalu menyalami dan mencium tangan wanita tersebut.
‘Eh kamu sudah pulang. Ini siapa?” tanya Ibunya Erik sambil memandangiku dengan ramah.
“Ini teman Erik, Ma. Dia lagi bosan, jadi Erik ajak dia kesini buat bantuin Mama nyiapin acara nanti malam.”
“Teman apa pacar kamu?” Ibu Erik langsung menggoda kami berdua.
“Mama...!! Nanti dia nggak mau main kesini lagi lho kalo Mama gituin,” seloroh Erik dengan nada manja.
Ibunya Erik terkekeh saat melihat anaknya merenggut malu. Aku juga merasa malu saat mendengar perkataan tadi.
“Maaf ya Mbak, Ibu hanya bercanda. Anak Ibu ini hampir tidak pernah bawa teman ceweknya kesini. Tadinya Ibu khawatir dia nggak nikah-nikah dan bakal jadi bujang lapuk. Tapi... melihat kamu hari ini datang bersamanya ke sini, Ibu jadi punya harapan kalau dia ada rasa ketertarikan sama perempuan,” kata Ibunya Erik sambil menggoda anaknya.
Aku mengangguk sambil tersenyum saat mendengar Ibunya Erik berkata seperti itu. Kelihatannya Beliau ini orang yang suka bercanda.
Sementara Erik, langsung menyenggol dan melototi Ibunya. Sepertinya dia malu karena Ibunya membuka aibnya kepadaku.
“Oia nama kamu siapa?” tanya Ibunya Erik kepadaku.
“Irena, Tante.”
“Orang mana?”
“Pontianak, Tante.”
“Ooh orang Kalimantan tho.”
“Iya, Tante,” sahut ku. “Ibu sendiri orang Jawa ya? Dimananya Tante?” tanyaku karena daritadi mendengarnya berbicara dengan logat Jawa yang kental.
“Ibu dan Ayahnya Erik sama-sama dari Surabaya. Dulu dia dipindah tugaskan ke Jakarta waktu Erik masih TK. Jadinya tinggal di sini dari Erik masih bocah,” tuturnya sambil bersiap mengolah bahan-bahan masakan yang ada di atas meja.
“Mari saya bantu, Tante,” pintaku saat melihatnya sibuk mengolah bahan-bahan tersebut.
Aku dan Erik lalu membersihkan ayam yang akan dimasak. Setelah itu, kami berdua lalu memotong sayur-sayuran. Kami berdua melakukannya sambil bercanda, sempat saling melempar ujung batang sayur ke wajah, bahkan sampai berlomba siapa yang memotong sayurnya paling bagus. Yang kalah keningnya harus disentil. Beberapa kali kusentil keningnya dengan keras karena potongan sayur Erik lebih jelek dan lebih lambat selesainya dariku.