Hari ini aku melihat bangku Ardiyat sudah tidak kosong lagi. Dia kembali masuk sekolah setelah tiga bulan mengikuti pelatihan. Namun entah kenapa, dia sekarang tampak berubah. Dia menjadi lebih sering diam dan suka menyendiri. Akhir-akhir ini dia terlihat tidak memperdulikan teman-temannya yang sedang mengobrol sambil tertawa bersamanya. Bahkan dia juga tak pernah terlihat bersama Caca lagi. Tapi mungkin saja disebabkan karena dia sibuk dan lelah dengan pelatihan.
Hubungan antara aku dan dia juga kini terasa canggung. Kami berdua belum bertegur sapa semenjak kejadian itu. Kejadian saat aku mengungkapkan isi hatiku padanya di ujung lorong kelas.
Aku berusaha mengalihkan pandangan ke arah lain saat mata kami berdua tak sengaja bertatapan. Sebenarnya keadaan seperti ini sungguh tak nyaman bagiku. Tapi mau bagaimana lagi, terpaksa aku harus melakukannya.
“Elo kenapa, Yat?” Erik yang baru datang ke kelas. Dia langsung bertanya ketika melihat temannya yang duduk di sampingnya itu terlihat tidak bersemangat.
“Nggak apa-apa.. gue cuma stres gara-gara keseringan belajar di karantina”
“Oh gitu. Lo jangan terlalu memforsir diri kayak gitu. Gue yakin kok elo pasti bisa masuk ISTN,” Erik menyemangati temannya itu dengan tulus. Dia tahu jika temannya itu berusaha sebaik mungkin untuk bisa lolos seleksi olimpiade, agar bisa berkuliah di ISTN dengan beasiswa.
Ardiyat hanya diam sambil menghela napasnya. Setelah itu dia lalu memandangi temannya itu, namun dengan tatapan yang dirasa Erik agak lain dari biasanya.
“Rik, gue...”
“Ya,” sahut Erik. “Ada apa?” tanyanya sambil menunggu temannya itu berbicara kepadanya.
“Hmmm... nggak ada apa-apa.”
“Apa ada yang lo mau kasi tau ke gue?” tanya Erik sambil mengerutkan keningnya karena merasa jika temannya itu hendak mengutarakan sesuatu, tetapi ragu untuk mengatakannya.
Ardiyat hanya menggelengkan kepala.
“Kalo ada sesuatu kasi tau aja, nggak usah sungkan. Kita kan udah berteman sejak lama!” Erik menegaskan suaranya. Belakangan ini ia memang merasakan kalau sikap temannya itu agak berbeda. Temannya itu tampak tidak menanggapi becandaan yang sering mereka lakukan. Namun Erik tidak ingin berpikir yang macam-macam. Ia hanya menebak mungkin Ardiyat seperti itu karena dia sedang kesal dengan nilainya yang belakangan ini menurun drastis. Ia tahu jika temannya itu sangat ambisius dalam akademis. Saking kesal dengan masalah akademisnya, Erik bahkan pernah memergoki temannya itu diam-diam merokok di belakang sekolah gara-gara nilai rapornya anjlok. Namun ia membiarkan saja temannya itu melakukan hal tersebut dan tidak melaporkannya karena tahu jika temannya itu sedang mengalami hari-hari yang berat. Dia tidak hanya tertekan dengan pelatihan olimpiade dan sekolah, tetapi juga dengan keluarganya.
Erik tahu kalau temannya itu pasti merasa kecewa dan sakit hati dengan keluarganya yang seperti tidak menganggapnya. Ia tak pernah sama sekali melihat kedua orangtua temannya itu hadir ketika pembagian rapor ataupun saat acara kelulusan. Ia hanya melihat kedua orangtua temannya itu datang ke sekolah ketika guru meminta mereka untuk datang.
Tiga tahun yang lalu, ketika masih duduk di bangku SMP, mereka berdua tak sengaja memergoki keluarga temannya itu sedang makan bersama di sebuah restoran. Mereka berempat terlihat tertawa bahagia.
Erik yang tadinya hendak ditraktir makan di sana jadi batal karena melihat Ardiyat malah pergi begitu saja dari tempat itu. Temannya meninggalkan dirinya yang masih berdiri bengong menatap keempat orang yang sedang asyik makan bersama, yang dikenalinya sebagai keluarga dari temannya itu.
Sebenarnya Erik ingin sekali temannya itu memberitahukan masalah yang menimpanya, walaupun sebenarnya ia sendiri sudah bisa menebak masalah temannya itu walau tanpa diceritakan. Tapi tetap saja ia ingin mendengarnya secara langsung.
Namun, ia juga merasa kalau dirinya tidak bisa memaksakan hal itu karena tahu temannya itu lebih suka memendam sendiri masalahnya. Akan tetapi, Erik juga takut jika apa yang dipendam oleh temannya itu nantinya akan 'meledak'. Pikiran itu sempat berkecamuk di dalam benaknya.
Sementara itu, Ardiyat masih tak menyahut. Ia teringat bagaimana akhir-akhir ini dirinya sempat putus asa akibat nilainya yang jelek pada beberapa mata pelajaran. Padahal ia merasa sudah belajar semaksimal mungkin. Tapi tetap saja hasil yang ia peroleh tidak memuaskan. Ia kesal kenapa dirinya tidak sejenius Erik, yang tampaknya tidak berusaha keras, tapi selalu saja mencapai hasil yang memuaskan. Ia juga kesal karena dirinya tidak bisa menjadi yang terbaik seperti kedua saudaranya. Hal itu membuatnya semakin benci pada dirinya sendiri.
Saat keduanya masih sama-sama terdiam, Dewi tiba-tiba datang menghampiri.
“Ardiyat, tadi gue ketemu sama Pak Beni. Dia minta gue nyuruh lo buat menghadap,” beritahu Dewi. “Mungkin dia mau ngasi tau info tentang pelatihan lanjutan.”
Ardiyat hanya mengangguk dan langsung berdiri pergi meninggalkan Erik yang menatap kepergiannya.
***
Ardiyat melangkah pergi ke ruang guru.
Saat tiba di sana, ruangan itu tampak sepi. Sepertinya Pak Beni masih di luar, begitupun dengan guru yang lainnya. Sepertinya sedang istirahat makan siang.
Tanpa sengaja, pandangan Ardiyat tertuju pada meja Pak Ikhsan, guru mata pelajaran sejarah. Di atas mejanya terdapat beberapa lembar soal dan kunci jawaban untuk ujian semester ini. Pak Ikhsan memang selalu mengprint lebih lembar soal beserta kunci jawaban ujian pada mata pelajaran yang diajarkannya, untuk diberikan kepada para murid setelah ujiannya selesai. Tujuannya supaya para siswa bisa mengecek dan mengetahui hasil jawaban mereka. Itu akan membuat mereka lebih tahu mengenai ilmu sejarah karena menurut Pak Ikhsan ilmu tersebut sangat penting untuk diingat.
Ardiyat yang sempat teringat bagaimana dirinya belakangan ini kesulitan dalam mendapat nilai yang bagus pada beberapa mata pelajaran umum, termasuk pelajaran sejarah atau pelajaran yang menyangkut ilmu sosial yang bersifat hapalan, lalu mendekati meja Pak Ikhsan. Ia tersadar bahwa nilainya hanya bagus pada dua mata pelajaran saja, yakni fisika dan matematika atau pelajaran eksak. Nilai pelajaran umumnya sangat rendah. Jika nilainya yang lain terus saja seperti itu, kemungkinan dia tidak akan bisa mendapatkan beasiswa di ISTN. Dan, beberapa hari lagi mereka akan melakukan ujian semester. Ia khawatir apakah dirinya bisa mengerjakan ujian dengan baik, mengingat dirinya yang sekarang agak ketinggalan pelajaran gara-gara mengikuti pelatihan. Apalagi belakangan ini kesehatannya juga mulai kembali memburuk. Oleh sebab itulah, dengan berat hati dirinya terpaksa menyerah dalam pelatihan. Ia mengundurkan diri dari Tim Olimpiade Fisika Indonesia yang akan mewakili Negara ke ajang Internasional tahun ini, dan dirinya diganti oleh siswa lain yang juga ikut pelatnas. Padahal tahun ini adalah tahun terakhir kesempatannya untuk bisa mewakili diri dalam ajang tersebut. Semua itu sungguh membuatnya tertekan dan putus asa.
Teringat dengan semua itu, dengan ragu-ragu Ardiyat meraih satu lembar kunci jawaban tersebut dan lalu melihatnya dengan seksama.
Namun tak lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki seseorang yang berada tak jauh dari depan pintu. Sepertinya itu suara langkah kaki Pak Beni yang datang. Melihat pintu yang hendak dibuka, Ardiyat dengan cepat melipat kertas kunci jawaban itu dan menyembunyikannya ke dalam saku celananya.