Ardiyat menghela napas saat melihat pengumuman di Website ISTN yang menyatakan bahwa dirinya lolos seleksi masuk ke kampus tersebut. Dia lolos pada jurusan seperti yang diinginkannya, yaitu Teknik Elektro. Ini dikarenakan prestasinya dalam ajang Olimpiade Fisika Nasional dan pernah mengikuti karantina pelatihannya ke tahap lanjut. Tetapi sayangnya ia tidak berhasil mendapatkan beasiswa penuh dari kampus tersebut dikarenakan nilai rata-rata di rapornya tidak memenuhi syarat untuk mendapatkannya, alias di bawah standar yang ditetapkan oleh pihak kampus.
Tapi bagaimanapun, dirinya harus berbangga hati pada dari sendiri karena mampu lolos ke ISTN tanpa harus mengikuti tes. Banyak sekali yang ingin masuk ke kampus tersebut, tapi tidak berhasil. Bisa diterima melalui tes seleksi saja mereka sudah sangat bersyukur, apalagi jika diterima tanpa tes, mengingat betapa sulit dan ketatnya masuk ke kampus bergengsi tersebut.
Namun setiap kali dirinya teringat gagal mendapatkan beasiswa karena masalah nilai, ia kembali kesal pada dirinya. Ia menyesal kenapa dirinya tidak belajar pelajaran lainnya juga dengan baik. Selama tiga tahun ini dirinya hanya fokus pada pelajaran Fisika atau eksak saja dan juga terlalu fokus pada pelatihan di karantina, ketimbang belajar pelajaran lainnya di sekolah. Seharusnya ia juga fokus mempelajari pelajaran di sekolah seperti siswa lainnya. Begitu pikirnya.
Akhirnya, setelah mempertimbangkan secara mendalam, Ardiyat memutuskan untuk menolak undangan penerimaan tersebut.
Dengan masih merasakan kekecewaan, ia menutup laptopnya dan beranjak ke kamar mandi. Ia membasuh tubuhnya dengan air yang dingin.
Selesai mandi dan berpakaian, ia pun keluar dari kamar untuk makan malam bersama keluarganya. Di sana telah ada Ayah, Ibu, Kakak dan juga Adiknya. Namun melihat mereka yang tidak segera makan, ia pun jadi keheranan.
“Kak, ada yang mau Papa sama Mama bicarakan sama kita,” kata Alvin kepadanya, saat ia hendak duduk di samping adiknya itu.
Setelah duduk, ia dan adiknya memandangi kedua orangtua mereka yang raut wajahnya terlihat begitu serius.
“Ardi, Alvin... Kakak kalian akan lulus S1 tahun ini. Tapi... dia akan melanjutkan lagi ke jenjang master,” kata Ayahnya.
Ardiyat dan Alvin saling berpandangan sebelum kembali mendengar Ayah mereka berbicara.
“Walaupun dia dapat beasiswa, tapi tetap saja membutuhkan biaya yang besar. Untuk itu, Papa dan Mama minta pengertian dari kalian berdua, terutama kamu, Ardi. Kamu harus menunda kuliahmu dulu,” ujarnya Ayahnya sambil memandangi mereka berdua satu persatu.
Ardiyat hanya diam sambil menundukkan kepala. Namun akhirnya ia memberanikan diri untuk menyampaikan keinginannya, walaupun ia tadi telah menolak undangan penerimaan masuk ISTN.
“Pa, Ma... Ardi ingin sekali kuliah di ISTN tahun ini, tolong diusahain...” Ardiyat mencoba untuk memohon. Tetapi Ayah dan Ibunya hanya diam dan tidak menjawab, sehingga ia pun tahu akan jawabannya. Ia sangat merasa kecewa dengan kedua orangtuanya yang lebih memilih membiayai kuliah S2 kakaknya ketimbang membantu biaya kuliah S1 dirinya. Tentu saja hal itu membuatnya sakit hati.
Kakaknya, Andika, masih menempuh pendidikan di salah satu Universitas Terbaik yang ada di Amerika dengan mengambil jurusan kedokteran. Dia adalah anak kebanggaan di dalam keluarga mereka. Kerap kali Ayah dan Ibunya Ardiyat membanggakan kakaknya itu kepada teman, keluarga maupun orang-orang yang mereka kenal.