“ Aku tidak tahu kapan kita bisa bertemu lagi. “
Kami, para siswa kelas XII akhirnya telah selesai melakukan Ujian Nasional. Kini tinggal menunggu hasilnya. Para siswa mulai pada sibuk mencari informasi untuk melanjutkan pendidikan. Ada pula yang mencari informasi tentang kerja, seperti yang tengah Ardiyat lakukan saat ini.
Hari ini para siswa di kelas sedang asyik mengobrol. Mereka membicarakan mengenai kehidupan mereka ke depannya. Ada juga yang menanyakan rencana kehidupan temannya.
“Rik, selamat ya, lo bakal jadi Mahasiswa kedokteran nih!” ucap teman-teman di kelas sambil menyalami Erik.
“Makasih ya, semuanya!” kata Erik sambil tersenyum tipis.
“Elo nggak jadi kuliah musik, Rik?” Bima tiba-tiba menyinggung tentang hal yang diketahuinya saat di lapangan futsal dulu.
“Hah?? Emangnya Erik mau kuliah jurusan itu?” Dewi seakan tak percaya.
Erik menggeleng lemah.
“Oh ya, gue keluar dulu ya.” kata Erik sambil berjalan keluar kelas. Dia berjalan dengan gontai di lorong sekolah, lalu berhenti di tengah lorong dan menyandarkan tubuhnya ke dinding sambil memejamkan kedua mata.
Aku yang kebetulan sedang berjalan di lorong pun menghampirinya. Tadinya aku hendak pergi ke kelas. Namun ketika melihat dia di sana, aku menghampirinya.
“Rik, kamu kenapa?” tanyaku.
Erik pun membuka matanya dan lalu menatapku. “Aku... cuma bingung.”
“Bingung gara-gara apa?”
“Setelah kupikir-pikir lagi, kayaknya aku ingin melakukan apa yang aku suka. Tapi aku takut kedua orangtuaku akan kecewa...”
“Mengenai kamu yang ingin kuliah musik itu?”
Erik mengangguk. “Iya!”
“Kenapa kamu harus takut? Kamu kan bisa bicarain lagi sama mereka secara baik-baik.”
“Aku kan sudah bilang, Ren, kalau aku nggak mau ngecewain mereka...”
“Ini kan demi kehidupan kamu!”
“Tapi...” Erik tidak melanjutkan perkataannya.
“Waktu kamu mengajakku ke rumahmu... aku rasa orangtuamu adalah orang yang baik. Sepertinya mereka orang yang sangat terbuka. Aku yakin, mereka pasti akan mendukungmu selama kamu melakukan sesuatu yang baik. Percayalah padaku!”
"Apa menurutmu mereka baik?"
Meski sempat keheranan sesaat dengan pertanyaan tersebut, aku pun mengangguk yakin. "Mereka orangtuamu, Rik. Apapun yang mereka inginkan, pasti menurut mereka itu yang terbaik untukmu."
Erik hanya terdiam sesaat sebelum kembali bertanya,“Ren, seandainya aku jadi dokter, apa aku masih bisa melakukan apa yang aku suka?”
“Kenapa tidak?!”
Erik lalu menatapku dengan sangat serius.
Melihatnya, aku pun kembali berkata, “Kamu adalah seseorang yang cerdas dan bertalenta. Jadi kenapa kamu tidak melakukan keduanya saja?”
“Maksud kamu aku harus ambil kuliah kedua-duanya gitu?”
Aku menggelengkan kepala sambil menatapnya. Sepertinya dia belum paham dengan maksudku, sehingga aku kembali berkata kepadanya, “Rik, aku mengenalmu sebagai seseorang yang baik. Jadi... aku berharap kamu bisa melakukan kebaikan dengan talenta yang Tuhan berikan padamu. Aku yakin, kamu bisa melakukan apapun yang kamu suka.”