Belakangan ini, Ardiyat uring-uringan di kamarnya. Ia merasa bosan karena tidak kunjung mendapat panggilan kerja. Ia pun jadi kesal pada dirinya sendiri karena sekarang hanya menganggur dan tidak melakukan kegiatan apa-apa, sehingga ia sempat pesimis dan putus asa.
Namun ketika mengingat Pak Beni yang sudah banyak membantunya, ia jadi kembali optimis. Ia yakin jika dirinya akan segera mendapat pekerjaan. Kini ia hanya bisa berdo'a supaya keinginannya terwujud.
Ardiyat teringat dengan kejadian beberapa waktu yang lalu, saat hari terakhirnya berada di sekolah. Ketika itu ia hendak meninggalkan sekolah, walaupun saat itu belum jamnya pulang. Ketika sudah berada di luar kelas, Nugi yang sempat berpapasan dengannya, memberitahukannya kalau Pak Beni meminta dirinya untuk menghadap. Ardiyat merasa bingung kenapa Pak Beni menyuruhnya untuk menghadap. Soalnya tiap kali Pak Beni menyuruhnya menghadap, pastilah karena ada suatu masalah yang menimpanya. Entah itu masalah nilai tes pelatihan fisikanya di karantina yang jelek, nilai rapornya yang menurun, atau karena masalah lainnya. Ia merasa tidak ada berbuat masalah apapun, kecuali terakhir kali saat dirinya nyontek pas ujian sejarah. Itu pun kejadiannya sudah berlalu. Lagian ia telah menerima hukumannya. Jadi tidak mungkin ada hubungannya dengan masalah itu.
Dengan masih kepikiran, ia pun pergi menghadap Pak Beni.
“Maaf Pak, katanya Bapak memanggil saya?” tanya Ardiyat ketika sudah duduk di depan gurunya itu.
Pak Beni memandanginya beberapa saat sebelum bertanya. “Kamu ada masalah, Ardiyat?”
Ardiyat tidak menjawabnya, melainkan hanya menghela napas dan lalu menggelengkan kepala dengan perlahan.
“Kamu jangan bohong sama Bapak. Kamu pasti lagi ada masalah, kan?” ucap Pak Beni. “Bapak lihat... akhir-akhir ini kamu sering melamun di sekolah. Tampaknya ada yang kamu pendam."
Ardiyat agak terkejut saat mendengar Pak Beni berkata seperti itu. Ia tidak menyangka jika guru yang tidak disukainya itu ternyata memperhatikan dirinya.
“Maafkan saya Pak, saya tidak bermaksud begitu. Saya hanya tidak tahu harus berbuat apa...”
Pak Beni lalu beranjak mendekati Ardiyat. Dia menepuk bahu siswanya sambil berkata, “Kelihatannya masalah yang menimpamu cukup berat, makanya kamu memilih untuk menolak undangan penerimaan masuk ISTN. Jujur sebenarnya Bapak ingin tahu apa masalahmu. Tapi kelihatannya kamu tidak ingin memberitahukannya. Bapak tidak akan memaksamu untuk menceritakannya. Tapi, Bapak berharap... seberat apapun masalahmu, kamu harus tetap melanjutkan pendidikanmu...”
Pak Beni tahu jika siswa bimbingannya itu sangat ingin sekali melanjutkan pendidikannya ke ISTN karena selama tiga tahun ini ia menyaksikan sendiri perjuangan siswanya itu. Namun ia kaget dan seakan tak percaya ketika mendengar kabar kalau siswa bimbingannya itu malah menolak undangan penerimaan masuk ke kampus tersebut. Ia masih memaklumi ketika siswanya itu mengundurkan diri dalam Tim Olimpiade Fisika Internasional, namun TIDAK dengan menolak undangan masuk ISTN. Karena penasaran, ia pun memutuskan untuk bertanya secara langsung kepada siswanya itu.
“Saya... tidak melanjutkan kuliah karena saya...” Ardiyat menghentikan perkataanya sebentar. “Karena saya mau kerja saja, Pak.”
“Kamu yakin?” tanya Pak Beni sambil menatap siswanya itu dengan tajam. Ia melihat kalau siswanya itu masih ragu-ragu dalam menjawab tadi.
Pak Beni lalu berkata padanya, “Ini adalah kesempatan yang bagus, Ardiyat. Banyak sekali temanmu yang ingin masuk ke sana tapi tidak diterima. Kenapa kamu malah menyia-nyiakannya?”
Ardiyat masih diam mendengar pernyataan tersebut. Ia jadi serba salah.
“Apa karena masalah biaya?” tanya Pak Beni lagi dengan serius.
Ardiyat kembali tidak menjawab. Perasaan malu dan ragu bercampur jadi satu.
“Kalau hanya karena masalah biaya, pihak sekolah akan menyampaikan kepada pihak ISTN. Kemungkinan kampus itu bisa memberikan kamu beasiswa jika sekolah merekomendasikan kamu. Kalaupun tidak bisa, kan masih ada beasiswa Pemerintah untuk seorang peraih medali OSN sepertimu,” kata Pak Beni dengan sungguh-sungguh.
Memang benar, jika saja Ardiyat mau, sebenarnya keinginannya itu masih bisa diraih. Ia sudah berhasil mengharumkan nama sekolah dengan meraih prestasi yang bagus, jadi sekolah pasti akan membantunya. Tapi karena ia sudah terlanjur kecewa dengan sikap kedua orangtuanya, ia lalu jadi berubah pikiran. Entah kenapa ia tidak berkeinginan lagi untuk meraih apa yang pernah diinginkan dan diperjuangkannya. Ia merasa bahwa jika ia menerima tawaran itu pun tidak akan bisa membuat orangtuanya bangga dan menghargainya.
“Tapi...”
“Siswa berpotensi seperti kamu sangat disayangkan kalau tidak menerapkan ilmu yang selama ini kamu dalami. Kamu memiliki kemampuan untuk menjadi seorang insinyur yang hebat nanti.”
Ardiyat sedikit kaget dan tidak menyangka Pak Beni akan mengatakan bahwa dirinya “siswa berpotensi”, karena selama ini ia mengenal Pak Beni sebagai sosok guru yang cuma peduli pada siswa yang nilainya tinggi seperti Erik atau anak-anak pintar lainnya.
Pak Beni kembali berkata padanya, “Apa kamu tidak sayang melepas apa yang selama ini telah kamu perjuangkan?”
Ardiyat masih terdiam. Matanya jadi berkaca-kaca mendengar pernyataan tersebut. Ia mengenang kembali bagaimana perjuangan kerasnya selama ini, selama belajar fisika di karantina pelatihan nasional hingga harus mengejar ketertinggalan pelajaran di sekolah. Belum lagi harus mengerjakan tugas-tugas sekolah yang menumpuk di sela-sela pelatihan, tidak punya banyak waktu untuk istirahat, apalagi bergaul dengan teman-temannya. Bahkan ia sampai stres hingga sering sakit dan mengalami mimisan. Rambutnya juga bahkan banyak yang rontok. Itu semua demi bisa meraih salah satu impiannya, yakni berkuliah di ISTN. Namun kini dirinya seolah melepas semua pengorbanannya dengan begitu saja.
“Tetapi saya bukan juara umum yang bisa dibanggakan, Pak! Saya juga pernah menyontek waktu ujian.” Ardiyat menyindir gurunya tersebut. Ia teringat bagaimana Pak Beni pernah membandingkannya dengan Erik.
Saat mendaftar seleksi OSN di sekolah waktu itu, Pak Beni juga mengatakan kepadanya kalau kuota untuk bidang Fisika yang sekarang ditempati olehnya, seharusnya ditempati oleh Erik. Bahkan tidak tanggung-tanggung Pak Beni mengatakannya secara langsung di depan Erik, sehingga sempat membuatnya minder karena merasa kemampuannya berada di bawah level temannya.
“Mengapa kamu berkata seperti itu?" tanya Pak Beni karena mendengar Ardiyat berkata seolah tidak memiliki kemampuan yang baik. “Meski kamu bukan juara umum, tapi kamu tetaplah siswa yang pintar. Kalau masalah nyontek waktu itu... Bapak yakin kamu melakukannya karena terpaksa,” kata Pak Beni. Sebenarnya ia tahu jika dirinya selama ini sudah terlalu keras kepada murid-muridnya, terutama pada murid bimbingannya dalam Olimpiade Fisika, yakni Ardiyat dan Rangga yang selalu dimintanya untuk disiplin dalam belajar. Ia bersikap seperti itu karena ingin kemampuan mereka jadi lebih meningkat.
“Kamu tidak menyukai guru seperti Bapak?” Pak Beni tiba-tiba bertanya seperti itu.
Ardiyat pun mengangguk. Ia lalu berusaha memberanikan diri untuk berkata jujur.“Saya kesal karena waktu itu Bapak pernah mengatakan kalau teman saya yang juara umumlah yang seharusnya ikut Olimpiade Fisika. Saya selalu merasa bersalah tiap kali ingat dengan perkataan itu.”
Mendengar hal itu, Pak Beni terdiam beberapa saat sebelum menyahut. “Ardiyat, Bapak minta maaf karena pernah membuatmu sakit hati akibat perkataan itu. Bapak seperti itu karena ingin kamu termotivasi dengan temanmu.”
“Tapi, apa Bapak tahu bagaimana tertekannya saya menerima perkataan seperti itu?! Saya bahkan tidak bisa tidur lama karena harus belajar sekeras mungkin, untuk membuktikan kalau saya juga bisa melakukannya dengan baik!”
Pak Beni merasa bersalah. Akhirnya dia sadar jika perkataan dan perbuatannya waktu itu telah menghancurkan mental dan perasaan siswa bimbingannya itu.
“Sekali lagi, Bapak hanya bisa meminta maaf padamu, Ardiyat. Sebagai guru yang membimbingmu selama ini, saya bangga karena kamu terus berusaha sampai akhir. Saya juga berterima kasih karena hasil yang kamu peroleh tidak mengecewakan...”
Mendengar pernyataan Pak Beni yang terdengar tulus tersebut, Ardiyat pun jadi luluh. Ia menganggukkan kepala, sebagai pertanda bahwa dirinya memaafkan gurunya tersebut. Di dalam hatinya malah ada rasa salut kepada Pak Beni. Karena meski beliau seorang guru yang disegani, ternyata tidak merasa sungkan untuk meminta maaf kepada seorang siswa seperti dirinya.
“Jadi, rencananya kamu akan melakukan apa nanti?”
“Sebenarnya... saya sendiri juga belum tahu, Pak. Saya cuma berharap bisa diterima kerja di salah satu perusahaan. Saya berjanji akan bekerja dengan baik nantinya,” jawab Ardiyat dengan sedikit malu.
Pak Beni hanya tersenyum mendengar jawaban polos siswanya itu.
“Ardiyat, dunia ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Kamu tidak tahu bagaimana kejamnya kehidupan. Bekerja itu tidaklah mudah.”
“Lantas... saya harus bagaimana, Pak? Jujur, saya jadi bingung.” Ardiyat jadi cemas dan khawatir pada kehidupannya. "Kalaupun saya kuliah, nanti kalau lulus juga pasti tujuannya untuk bekerja."
Pak Beni terdiam sesaat. Ia berpikir kalau memang ada benarnya juga pernyataan siswanya tersebut. Namun yang dimaksud Pak Beni adalah ia ingin siswanya itu bekerja sebagai seorang Insinyur, bukan seorang pekerja lulusan SMA.
“Apa kamu benar-benar tidak ingin melanjutkan pendidikanmu?” tanya Pak Beni, untuk memastikan sekali lagi.
Ardiyat pun mengangguk, meskipun ia belum terlalu yakin kalau pilihannya sekarang adalah pilihan yang tepat.
“Sebenarnya saya memang ingin kuliah, Pak. Tetapi... untuk sekarang ini, saya ingin bekerja dulu. Tapi jika nanti ada kesempatan... saya akan melakukannya,” kata Ardiyat.
“Baiklah, kalau itu kemauanmu. Bapak hanya bisa berharap yang terbaik untukmu,” kata Pak Beni.
Ardiyat kembali mengangguk sambil tersenyum tipis.
Sebenarnya Pak Beni masih berharap agar Ardiyat memilih untuk berkuliah di ISTN agar kemampuannya tidak sia-sia. Namun setelah dipikirkan olehnya lagi, tidak ada salahnya juga jika siswanya itu memilih untuk bekerja. Pak Beni merasa bahwa siswanya itu pasti sedang mencari jati dirinya yang sesungguhnya. Entah kenapa ia melihat Ardiyat serasa melihat dirinya sendiri saat masih muda, sosok yang terlihat keras, tapi sebenarnya rapuh dan gampang goyah.
“Dulu, sebelum memutuskan jadi guru di sekolah ini, Bapak bekerja sebagai seorang teknisi di sebuah Perusahaan Industri dan sering melakukan riset. Bapak juga sudah lumayan banyak meraih penghargaan. Kalau kamu mau, Bapak akan mengajarkan kamu apa yang pernah Bapak lakukan waktu bekerja.”