“Bin, sebelum Mbak Dinasti dateng, kita main saling analisis kenapa kita belum nikah, yuk,” di bandara terminal 1, Lexi iseng mengajak Bintang berinteraksi. Mereka berdua adalah sahabat sejak SMA yang memiliki hobby yang sama, yaitu, travelling. Tanpa mereka berdua sadari, di usia yang sudah menginjak 30 tahun ini, keduanya memiliki profesi yang tidak jauh-jauh dari travelling. Bintang adalah seorang jurnalis yang sering liputan di berbagai kota dan negara, sedangkan Lexi adalah seorang mantan atlet softball remaja yang kini mempunyai sekolah softball bersama teman-teman sesama atletnya. Dia sering mengantar murid-muridnya mengikuti event atau kompetisi di luar negeri. Khusus untuk Lexi, jika tidak sedang mengantar murid-muridnya, dia dimintai tolong oleh Bintang untuk membantu beberapa projek. Untuk kali ini, projek Bintang yang dibantu oleh Lexi adalah Projek Desa Wisata Labuan Bajo. Media bernama Detak yang menjadi kantor Bintang sebagai jurnalis tengah bekerja sama dengan Kementrian Pariwisata dan UNESCO. Memang projek yang cukup bergengsi.
“Hah? Lu kayak kagak ada mainan lain aja, Lex?” respons Bintang seraya membetulkan kemeja kotak-kotak finelnya. Dalam hati dia berpikir mengapa kemejanya masih kusut saja? Padahal semalaman, dia sudah teliti sekali menyetrika di kontrakannya.
“Habis, mainan yang seru apaan lagi? Adu ayam?” Lexi menjabat tangan Bintang, memperagakan hendak bermain adu ayam dengan jemari. Memang jangan tertipu dengan paras blasteran Prancis-Pariamannya yang mirip Nathalie Portman. Meski cantik dengan gaya berpakaian yang sporty, kelakuan Lexi sering absurd, “Sambil nunggu Mbak Dinasti dateng, nih.”
Bintang langsung mengangkat kedua tangan, “Mbak Dinasti cepatlah dateng, Amin,” lalu, dia mengusapkan kedua tangan ke wajah. Sebenarnya, dia juga sudah siap bercampur pasrah jika doanya tak dikabulkan. Dia pernah tujuh jam naik pesawat naik pesawat dan terus mendengar celotehan dan lawakan Lexi. Padahal bagi Lexi, jika Bintang sedang tak ada target tulisan, kata yang terlontar dari mulut jurnalis asal Semarang itu juga tak kalah merepet.
“Ih, si Bintang!” Lexi mulai merajuk.
“Ya udah! Kayak gimana mainnya?” Meski benak Bintang sedang penuh karena sedang ada deadline artikel politik tentang KPU, dia selalu berusaha untuk genuine dengan sekitar. Salah satunya tetap asyik diajak berbincang atau bercanda dengan teman sekitarnya. Profesi sebagai jurnalis memang seperti itu. Raga sedang mengikuti projek liputan Desa Wisata Labuan Bajo, tetapi bisa saja hari ini ada deadline artikel topik lain. Misalnya politik. Makanya, kemana-mana, dia selalu memanggul ransel hitam besarnya. Di dalam tas itulah tersimpan laptop dan drone, sedangkan kamera dia kalungkan bersama tasnya.
“Kita suit dulu, Bin! Yang menang, berarti dia yang duluan analisis temennya kenapa belum nikah?” Lexi mulai memberikan aba-aba.
“Allright!” Bintang pun mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya, membentuk gunting.
Sedangkan Lexi, dia mengepalkan tangan, membentuk batu. “Yes, berarti gue duluan yang analisis lo, Bin,” ucapnya kegirangan.
Dari kejauhan, di tengah hiruk-pikuk orang-orang berhilir-mudik memenuhi bandara, kedua sahabat ini seolah asyik sendiri bagaikan memiliki dunia sendiri.
Tanpa menunggu lama, Lexi pun langsung menganalisis Bintang, “Kalo menurut gue, Bin, sebenernya yang suka sama lo tuh banyak.”
“Iya, dong,” potong Bintang pura-pura membetulkan posisi kerah kemejanya.
Lexi sempat melirik agak sinis ke arah Bintang, bete karena ucapannya dipotong, “Dan lo pun juga lagi suka sama banyak orang, kan?” Lexi sengaja memberikan jeda pada perkataannya. Mungkin agar Bintang menganalisa terlebih dahulu mengenai penilaiannya. Lalu, sesungguhnya, dalam hati Bintang, dia menyetujui. “Maksud gue,” lanjut Lexi, “Lo tuh tipe pencarian cintanya kayak nyebar jaring di lautan.”
“Nyebar jaring di lautan? Lu kata gue nelayan mau nangkep ikan?”
“Jangan dipotong dulu omongan gue!” protes Lexi yang seperti biasa, Bintang menurut saja, “Kayak misalnya, nih. Lu kan kerjanya bikin liputan di kota yang beda-beda kayak begini, nih. Komunitas dan kelompok pertemanan lo juga luas. Yaaa, itu tuh sebenernya, lo kayak punya banyak kandidat jodoh.”
“Hmm…,” Bintang melempar pandang ke atas langit-langit bandara.
Lexi terus melanjutkan perkataannya, “Cuma diantara kandidat-kandidat cewek ini, belum ada yang lo deketin dengan serius. Karena lo tuh kayak masih banyak perhitungan. Misalnya dengan rutinitas lo saat ini yang enggak mau lo repotin dengan urusan cewek. Dan lo kayak, ya udah lah ke mana angin membawa gue pergi aja.”
Seulas senyum tergores di wajah Bintang. Dia merasa Lexi sedikit betul membaca dirinya. Memang namanya juga sudah sahabatan semenjak sekolah.
“Di pikiran lo itu, Bin,” terang Lexi, “Selama lo belum nikah, yaaa, lo tuh kayak enjoy dengan menyukai banyak orang gitu. Terus lo kayak, ya udah lo happy dengan posisi mencintai dan dicintai banyak orang gitu. Lo kayak belum siap terikat. Lo belum kayak, nih ada satu cewek. Oke, ya udah! Gue akan serius sama dia. Lo belum begitu. Walaupun sebenernya, kandidat-kandidat ini pada akhirnya mengerucut ke satu tipe wanita ideal lo, yang sederhana, apa adanya, kalau bisa relijius, tapi dia juga seru diajak bercanda, smart, dan mungkin wawasan pengetahuan nasional atau internasionalnya luas.”
“Hahaha!” tawa renyah Bintang seketika sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Bener, kan?” Lexi mengerlingkan mata.
Refleks, Bintang bertepuk tangan seraya menganggukan kepala. Tanpa bicara, dia mengakui daya analisis Lexi kepada dirinya.
“Sekarang giliran gue, ya?” tantang Bintang tampak tak sabar.
“All right!” Lexi mengikuti cara bicara Bintang.