LACAK JEJAK MALA

Puspa Kirana
Chapter #2

Ultimatum

Ada yang bilang hidup tidak selalu adil. Namun bagi beberapa orang, kata “tidak” dan “selalu” berganti posisi. Seperti yang dirasakan Gya saat ini. Senandung lagunya terhenti. Senyumnya menguap. Tubuhnya menegang. Matanya terpaku menatap perempuan yang baru saja dengan suara tajam melontarkan tanya, “Ari Teteh, ti mana wae? Jam sakieu baru pulang![1]”

Tangan Mamah, perempuan yang berdiri di dekat sofa tamu biru tua, bersidekap setelah menekan saklar lampu di dinding yang dilapisi kertas berwarna krem bergaris tipis abu-abu. Mata besar yang mirip milik Gya, tertancap tak berkedip pada putri sulungnya. Karena tidak siap dengan sambutan perempuan paruh baya itu, Gya tidak menjawab. Pagi tadi sebelum keluar rumah, ia sempat menguping percakapan Mamah dengan Papah dari depan kamar mandi atas saat orangtuanya sarapan. Malam ini semestinya mereka menghadiri acara makan malam dengan kolega Papah. Biasanya, jika menghadiri acara seperti itu mereka tidak pulang sebelum pukul sepuluh malam. Karena itu ia berani pulang lebih malam dari sebelumnya. Tapi, kenapa sekarang Mamah sudah berdaster di hadapannya? Padahal saat turun dari mobil temannya tadi, jam di dashboard baru beranjak beberapa menit dari pukul sembilan.

Waktu jeda yang belum sampai tiga detik, tidak disia-siakan Mamah. Beliau seolah berada di arena tanding yang jika tidak cepat menyerang, maka lawan akan memenangkan pertandingan dengan jurus andalan yang sulit ditangkis. Perempuan berwajah sedikit lonjong itu pun membombardir putrinya.

“Ke mana saja seharian enggak di rumah? Keluyuran terus setiap hari, mau jadi apa kamu nanti, Teh? Kalau alasannya jelas, seperti Ade yang pulang malam karena tugas seminar dari kampus atau menyelesaikan penelitiannya, enggak masalah. Bahkan Mamah dan Papah mau jemput kalian kalau memang perlu. Tapi ieu mah[2]. Jangankan kasih tahu Mamah kalau kamu ada di mana dan sedang apa, malah sejak Magrib Mamah hubungi HP-mu enggak pernah aktif! Dihaja, nya[3]?”

Tubuh Gya makin kaku. Ucapan Mamah yang menghakimi memantik api kecil di dada. Ini bukan sambutan ketus pertama Mamah sejak ia kerap pulang malam setelah lulus kuliah. Gya capek mendengarnya. Apalagi setelah perempuan berambut lurus sebahu itu memberinya ultimatum, beliau makin sering menyindir kebiasaan tidak di rumah seharian dan pulang malam kapan saja mereka bertemu. Ia jadi makin malas beraktivitas bareng Mamah, lebih-lebih jika ada Papah dan Kiara, adik satu-satunya.

Kiara! Mamah tidak pernah lupa menyebutkan nama itu setiap mengomel dan selalu menjadi patokan untuk apa pun yang Gya lakukan. Bukan hanya selepas kuliah, melainkan sejak SD pun ia sudah mengalaminya. Patokan yang boro-boro terlewati, bahkan mendekati saja rasanya belum pernah! Pemantik beraksi lagi, memunculkan dua api kecil baru di dada.

Betul, ia keluar rumah setiap hari, sejak dulu memang terbiasa begitu. Aktivitas Osis atau kampus sewaktu SMA dan kuliah dulu memang menyita waktu. Bahkan saat kuliah, tidak jarang gadis itu baru sampai rumah setelah satu atau dua jam lewat dari waktu makan malam. Memang setelah lulus, ia sempat keluyuran tanpa tujuan karena … Gya menghentikan memori dengan gelengan pelan yang membuat kuciran satu rambutnya ikut begoyang. Ia tak ingin mengingat-ingat masa itu. Benaknya dipaksa melompat ke masa yang lebih dekat, dua minggu lalu.

Sama seperti sebelumnya, sejak dua minggu lalu ia setiap hari janjian bertemu dengan teman-teman, baik sekampus maupun kenalan ketika mengikuti berbagai aktivitas mahasiswa yang mengharuskan bertemu dengan orang di luar kampusnya. Namun, kali ini Gya punya tujuan agar ultimatum Mamah tidak terlewati. Ultimatum yang ….

“Terus cari kerjanya, sudah sampai mana? Dilakukan enggak? Tapi, terserah weh[4]! Mamah mah senang-senang saja karena berarti sebentar lagi Mamah bakalan punya mantu dan cepat punya cucu.” Beberapa detik mata besar Mamah berbinar sebelum pandangannya kembali menajam. “Inget, nya[5]. Dua minggu deui[6]! Teteh masih nganggur, Mamah jadwalkan kedatangan Dhika, Om, dan Tante Munaf ke sini buat melamar Teteh!”

Tak perlu bersusah payah benak Gya menayangkan ultimatum tersebut, Mamah sudah mengatakannya. Kata-kata itu sukses menyiramkan segalon bensin ke dada sehingga api-api kecil tadi menyatu dan membesar. Dada gadis itu membara.

“Iya! Teteh tahu!” Nyaris berteriak Gya mengatakan itu. “Mamah enggak usah ingatkan Teteh terus-menerus seperti itu. Mamah juga jangan menuduh. Enggak cuma Ade yang punya tujuan jelas kalau keluar rumah, Mah. Teteh keluar sampai malam dalam rangka cari kerja. Bukan keluyuran enggak jelas seperti Mamah bilang barusan! Itu juga enggak seharian. Teteh berangkat jam sebelas. Dan HP Teteh bukan dimatikan, tapi habis baterai. Teman enggak punya chargernya.”

Gadis itu tidak berbohong, walaupun tujuan penyerta tetap ada. Banyak di rumah makin tinggi kemungkinan bertemu Mamah. Artinya makin besar juga mendengar perempuan berbibir tipis itu memuntahkan kata-kata yang mengaktifkan pemantik di dada. Lebih baik menghindarinya, agar hatinya tidak makin hangus terbakar emosi. Bisa jadi pembicaraan dengan teman tentang kesempatan kerja hanya membutuhkan waktu satu atau dua jam. Sisanya ia mengajak teman itu melihat-lihat tanaman ke daerah Cihideung atau Lembang sekalian. Bentuk daun-daun yang tidak hanya hijau dan semerbak bunga mampu mengikis hangus di hati. Kadang-kadang, jika temannya enggan menerima ajakan itu, ia mengikuti keinginan mereka. Menonton film, seperti yang tadi ia lakukan. Aktivitas yang sering mereka ajukan dan akhir-akhir ini mulai disukainya.

Lihat selengkapnya