Gadis di hadapan Gya berhenti menyesap kopi. Alis tebalnya sedikit terangkat. “Kamu dijodohkan? Dan kamu menolak?”
Gya mengembuskan napas kencang dari hidung bangirnya. “Iya. Tiga minggu lalu, Mamah sampai kasih ultimatum segala. Kalau enggak dapat kerja dalam waktu sebulan, aku harus mau dijodohkan sama Dhika, anak Om dan Tante Munaf, sobat Mamah Papah.”
Ia berjeda sebelum melanjutkan dengan suara sedikit meninggi, “Sebulan coba! Gimana caranya? Aku sudah berusaha cari kerja sejak enam bulan lalu saja, belum dapat juga.”
“Memang kamu cari kerja apa, enam bulan belum dapat juga?”
“Kerja sesuai jurusanku, lah.”
“Broadcasting?”
Gya mengangguk.
“Kenapa enggak coba bidang lain? Zaman sekarang, kesempatan kerja enggak harus sesuai jurusan, kan? Bank, misalnya, terima dari berbagai fakultas. Ilmu Komunikasi bisa, kok. Bank enggak lihat jurusan.”
Gya diam sejenak. “Tapi mestinya Mamah teh ngerti, yang namanya cari kerja itu enggak gampang. Mana bisa sebulan, dengan target Bank sekali pun. Kita kan enggak bisa langsung datang ke sana dan diterima begitu saja. Ada tesnya, wawancara, baru diterima. Belum lagi menunggu di antara itu.”
“Jadi, itu yang bikin kamu ngontak aku lagi?” Setelah beberapa saat hanya terdengar sayup-sayup lagu suara Maudy Ayunda melantunkan “Kukejar Mimpi” dari audio gerai kopi tempat mereka bertemu, gadis di depannya bersuara lagi.
“Sorry. Aku enggak maksud ngontak kamu kalau ada perlunya saja. Tapi …” Gya enggan mengatakan alasan sebenarnya.
Seminggu lalu, Mala, gadis di hadapannya, berteriak tertahan begitu dihubungi. Walaupun nada suara sahabatnya itu ramah dan seperti senang menerima teleponnya, tetapi pertanyaan-pertanyaan Mala hanya dijawab basa-basi. Rasanya kurang nyaman curhat melalui telepon. Gya tidak bisa memantau reaksi lawan bicara melalui mimik wajah dan gerak-geriknya. Padahal ia perlu segera tahu bagaimana Mala bersikap atas curhatnya. Jika terlihat kurang perhatian, ia akan menghentikan curhatnya. Berhadapan saja agak sulit menebak perasaan sahabat SMA-nya itu, apalagi melalui telepon. Sejak dulu memang begitu. Jadi, Gya memutuskan membuat janji bertemu Mala.
“Tapi kenapa?” Tatapan Mala menelisik.
Gya balas menatap sahabatnya, mencari tahu apakah pertanyaan itu hanya basa-basi atau memang Mala benar-benar tidak tahu. Peristiwa yang menjadi alasan tersebut belum lama terjadi, semestinya perempuan itu mampu menebak dengan mudah. Mungkin memang Mala sudah berubah. Atau belum mendengar. Sejak grup besar alumni SMA dibentuk, sahabatnya itu tidak bersedia bergabung. Namun, bisa saja Mala mendengar dari teman lain. Sayang, mata gadis di hadapannya tidak mengabarkan di posisi mana ia berada. Gya jadi ragu membahas peristiwa itu. Jika Mala sudah berubah, belum tentu berada di pihaknya. Ia mengalihkan pandangan ke gelas kertas di meja dan mengaduk-aduk minuman cokelatnya dengan sedotan.
“Oke, deh. Kamu belum mau cerita, enggak apa-apa.” Mala mengalah. “Jadi, kamu benar-benar butuh kerjaan?”
“Iya, La.”
“Tapi, kenapa enggak ikut keinginan papa mamamu saja? Terima dijodohkan. Memang Dhika enggak baik, atau menyebalkan?”
“Enggak tahu juga. Aku belum pernah ketemu. Tapi, enggak, ah! Aku mah maunya kerja dulu, berkarier dulu. Kalau sudah nikah kan repot, ngurus suami, anak-anak, dan rumah. Walaupun bisa punya bendinde atau nanny, tetap perlu dipantau, kan? Enggak bisa dibiarkan begitu saja. Iya sih, orang lain banyak yang bisa berkarier setelah nikah. Tapi kata orang, keluarganya banyak yang kacau. Iya, kan?”
“Iya, juga sih,” gumam Mala.
“Nah, aku enggak mau seperti itu. Biar karierku mantap dulu, baru nikah. Jadi, kalau aku harus meninggalkan karier pun, enggak penasaran lagi. Soalnya sudah pernah merasakan berkarier.”
“Serius, kamu mau seperti itu? Jangan-jangan kamu malah jadi malas nikah karena keenakan punya karier bagus. Mamamu, ada benarnya juga kali.”
“Aku tetap mau nikah atuh. Tapi, enggak sekarang dan enggak usah dijodoh-jodohin segala. Aku bisa cari sendiri. Lagi pula aku belum lupa sama komitmen kita, mau nikah di umur berapa. Baru juga 22.” Gya berjeda lagi. Ia kembali menatap Mala, mencari-cari. Jangan-jangan tentang ini pun sahabatnya sudah lupa atau tidak menganggapnya penting lagi. “Kamu masih ingat, kan?”
“Tiga tahun lagi, Gy.” Mala nyengir. “Kata orang, itu enggak lama.”
Ternyata sahabatnya masih mengingat itu.
“Tapi bukan tahun depan, La. Kalau dijodohin dari sekarang enggak mungkin ditunda tiga tahun, kan? Dan Mama bilang pengin cepat punya mantu dan punya cucu. Lagi pula, apa bisa rumah tangga langgeng kalau baru kenal langsung nikah? Iqbal yang sudah aku kenal lama saja bikin sakit. Apalagi sama yang baru kenal. Enggak ada jaminan dia lebih baik dari Iqbal. Dan waktu itu aku salah, mau saja didekati. Aku enggak mau bikin salah lagi.”
“Jadi, Iqbal yang bikin kamu baru ngontak aku lagi?”