LACAK JEJAK MALA

Puspa Kirana
Chapter #4

Terbakar

Pintu depan sudah dikunci. Gya terdiam sejenak menatap gagang pintu sebelum membalikkan badan menghadap Mamah.

Eta mobil saha[1]? Mala? Kenapa masih ada di halaman rumah kita, Kak?” Kening perempuan di hadapannya mengerut.

Pertanyaan itu ditunggu-tunggu sekaligus membuat degup jantung meningkat karena sesungguhnya Gya tidak ingin mendengarnya sekarang. Ia belum tahu cara menyampaikan jawaban yang tidak akan menyebabkan Mamah memuntahkan omelan. Itulah kenapa Gya sempat menolak ketika Mala menghubunginya selepas Isya tadi mengatakan akan mengantarkan mobil ke rumah. Padahal dua hari lalu, sewaktu mereka pertama kali bertemu kembali, sahabatnya itu mengatakan tidak perlu tergesa-gesa. Gya bermaksud merayu Papah agar mengizinkan menjadi sopir taksi online sebelum Mala mengantarkan mobilnya.  Namun, sahabatnya itu beralasan bahwa ia sudah harus ke Jakarta besok pagi. Tidak ada waktu lagi mengantarkan mobil itu jika bukan malam ini. Sopirnya akan berada di Jakarta hingga minggu depan yang berarti masa tenggat ultimatum Mamah sudah terlewati.

Saat Mala pamit kepada Mamah barusan, Gya sempat galau. Ia ingin sahabatnya itu membantu menguatkan jawaban pertanyaan tersebut. Namun, ia tidak ingin Mala menyaksikan perempuan itu mengomelinya. Pasti malu dan canggung. Walaupun dulu saat SMA, sahabatnya itu pernah melihat peristiwa tersebut beberapa kali, tetapi Gya tetap tak nyaman jika terjadi lagi.

Kunaon[2], Teh?”

Gya menelan ludah sebelum menjawab, “Mala mau liburan sama keluarganya sebulan, Ma.”

“Memang di rumahnya enggak ada tempat buat parkir mobil? Terus kenapa beli mobil besar segala?”

Gya menarik napas dalam. Ia memutuskan mengatakannya sekarang. Mamah tidak akan berhenti bertanya sampai mendapatkan jawaban yang menurutnya logis. “Teteh menggantikan Mala sementara jadi sopir taksi online, Mah. Mala meminjamkan id sekalian mobilnya. Katanya biar lebih bermanfaat.”

Mata besar Mamah membulat.

“Cuma sementara kok, Mah. Sampai Teteh dapat panggilan kerja lain.” Cepat-cepat Gya menambahkan, berharap mengurangi omelan Mamah. “Lagi pula Mala cuma sebulan liburannya.”

“Jadi sopir taksi online?” Suara Mamah mulai meninggi. “Teteh jadi sopir taksi online?”

“Iya, Mah,” jawab Gya pelan seraya melepas tatapannya dari perempuan itu ke lantai. Ia bersiap menebalkan telinga, agar omelan Mamah tidak sampai ke hati terdalam.

“Teteh nanaonan[3], sih? Teteh lulusan S-1 dari salah satu universitas terbaik di Bandung. Papah mengeluarkan banyak uang buat membiayai kuliah Teteh. Dan sekarang Teteh jadi sopir taksi online? Moal[4]! Mamah enggak izinkan kamu jadi sopir taksi online!”

Walaupun di dadanya seolah muncul tambur yang dipukul makin kencang, tetapi suhunya masih dingin karena Gya sudah menduga akan mendengar kata-kata itu. Benaknya berlarian ke sana kemari mencari cara agar bisa meredam amarah Mamah.

“Apa Teteh enggak tahu? Enggak aman menjadi sopir taksi online. Teteh perempuan. Sendirian berkeliaran di jalanan. Kalau ada orang jahat jadi penumpang Teteh, kumaha? Siapa yang akan menolong Teteh? Kalaupun orang jahat itu sendirian, Teteh bisa kewalahan. Mungkin saja dia bersenjata, atau laki-laki yang tenaganya lebih kuat dari Teteh. Sopir taksi online enggak bisa pilih-pilih pelanggan, kan? Kalau enggak, nanti di-black list sama perusahaannya. Lagi pula, mau ditaruh di mana muka Mamah dan Papah kalau nanti Teteh ketemu teman Mamah Papah atau saudara kita? Pasti mereka berpikiran yang enggak-enggak tentang kami, membiarkan anak gadisnya jadi sopir taksi online.”

“Mah, Mala sudah hampir dua tahun jadi sopir taksi online. Sampai sekarang baik-baik saja, enggak pernah terjadi apa-apa.” Gya memberanikan diri mendongak dan menatap wajah tirus perempuan yang masih langsing di kepala lima.

“Ya, tetap saja ada kemungkinan Teteh dapat penumpang orang jahat. Bisa jantungan Mamah kalau Teteh jadi sopir taksi online.”

Gya hampir menyanggah dengan mengatakan ia bukan anak kecil lagi dan bisa menjaga diri, ketika terdengar seseorang berkata, “Aya naon ribut-ribut?”

Laki-laki agak tambun dengan tinggi sekitar lima senti di atas Mamah, mendekati mereka.

Ieu geura[5] si Teteh, Pah! Masa mau kerja jadi sopir taksi online?” Mamah melirik Papah.

Lihat selengkapnya