LACAK JEJAK MALA

Puspa Kirana
Chapter #5

Persetujuan

Gya tidak ingin peristiwa tujuh bulan lalu terulang lagi. Peristiwa yang membuatnya menarik diri dari keanggotaan grup-grup teman SMA. Bergabung dengan grup kecil, lebih memungkinkan terjadi kontak intens antaranggota hingga berlanjut di luar grup. Ia tidak akan pernah lupa ketika berada di grup kecil teman SMA. Pada awal bergabung terasa menyenangkan, akrab, seolah semua anggota menjunjung tinggi nilai-nilai persahabatan. Jika salah seorang mendapat masalah, keempat anggota lain di grup itu segera membantu dan menghibur. Mereka mengajaknya bersenang-senang di kafe atau nonton, bahkan jalan-jalan ke negeri tetangga untuk alasan persahabatan. Tidak boleh satu pun merasa sedih. Saat itu terjadi semua harus membantu menghilangkannya.

Tentu saja bantuan dan hiburan itu sangat berguna. Apalagi jika itu berhubungan dengan materi. Dua dari keempat temannya di grup tersebut anak keluarga terkaya di Bandung. SMA Gya memang terkenal memiliki murid-murid anak orang berada.

Namun, Gya tidak yakin dengan kehadiran lawan jenis di grup terbatas seperti itu para anggotanya bisa menahan diri tidak berlanjut ke hubungan lebih intens, karena ia pernah mengalaminya. Setelah ada yang tersakiti, bubarlah grup itu tanpa mengindahkan nilai-nilai persahabatan yang sering disebut-sebut sebelumnya. Mereka membiarkan satu hati terpuruk demikian dalam. Tak seorang pun mencoba menghibur dan menariknya dari keterpurukan. Satu hati yang hingga saat ini masih belum bisa terbebas sepenuhnya dari satu nama. Iqbal.

“Gini, deh. Kalau nanti merasa enggak betah karena terganggu sama chat-chat mereka, kamu left group saja. Aku sih kerasan banget di grup itu. Mereka enggak cuma banyak bantu waktu awal-awal on bid, tapi sampai sekarang tangan mereka sangat terbuka saat aku kesulitan. Mereka kasih tips-tips saat on bid. Pokoknya bantu banget.” Suara Mala menguapkan kenangan sahabatnya.

Gya masih belum bereaksi.

“Atau kamu mute grupnya, jadi enggak terganggu keributan mereka. Kamu bisa lihat sesekali kalau lagi senggang.”

Berapa orang di grup, La? Ada ceweknya enggak selain kamu?” Setelah beberapa saat sepi, Gya akhirnya memutuskan tidak menceritakan kekhawatirannya.

Sama kamu jadi delapan, lima cowok termasuk Bhanu, tig caewek, kita dan Teh Dina. Nanti kamu bisa tanya-tanya Teh Dina kalau sungkan tanya-tanya para cowok.”

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu dibarengi suara Papah memanggilnya. Sesungguhnya Gya malas menjawab panggilan itu, tetapi pasti beliau mendengar ia sedang menelepon. Bisa-bisa Papah naik pitam kalau panggilannya diabaikan dan masuk ke kamarnya tanpa menunggu izinnya. Ia tidak ingin menambah masalah.

“La, aku tutup dulu teleponnya. Ada Papah. Nanti aku telepon kamu lagi.” Dengan suara pelan, Gya mengakhiri percakapan.

“Teh, makan dulu. Nanti tidur kamu enggak nyenyak kalau lapar.” Papah tersenyum saat putri sulungnya membuka pintu.

Engke, we[1].” Pendek jawaban Gya seraya kembali ke tempat tidur.

“Teteh mogok makan gara-gara Mamah enggak mengizinkan Teteh jadi sopir taksi online?” Papah menyusul dan duduk di pinggir tempat tidur bersebelahan dengan putrinya.

Gya bergeming. Ia membuka aplikasi Instagram dan menaikturunkan layar di akun entah siapa. Pikirannya sama sekali tidak fokus pada ponsel. Ia menunggu kata-kata Papah selanjutnya dan berharap beliau tidak berlama-lama di kamar ini.

“Kalau Teteh mau cepat kerja, kenapa enggak terima tawaran Om Munaf?”

Papah memang dekat dengan Om Munaf. Mereka teman kuliah dan kebetulan Tante Munaf adalah teman masa kecil Mamah. Mereka makin dekat sejak dua tahun lalu Papah menjadi salah seorang pemegang saham di bisnis Om Munaf. Sebagai karyawan senior usia 52 tahun di salah satu perusahaan BUMN kesehatan, tidak lama lagi masa kerja Papah berakhir. Jabatan yang lumayan tidak terlalu berpengaruh pada usia pensiunnya. Tidak ada perpanjangan masa kerja kecuali ada permintaan langsung dari kementrian bersangkutan. Apalagi makin ke sini jabatan-jabatan papan atas di BUMN mulai diberikan kepada mereka yang berusia lebih muda. Jadi Papah perlu mempersiapkan masa pensiunnya.

Om Munaf sukses menjadi pengusaha travel—baik penyedia moda perjalanan antar kota maupun haji dan umrah. Cabang travelnya, dengan brand Travelindo, sudah ada di beberapa kota besar di Indonesia. Sekarang beliau bahkan merambah ke bidang kuliner, menyediakan tempat bermacam-macam makanan yang dipastikan kehalalannya di mana Papah ikut menanamkan modalnya.

“Di perusahaan Om Munaf, Teteh bisa belajar banyak.”

Temperatur dada Gya yang belum kembali normal kembali merangkak naik lebih tinggi. Itu lagi! Papah memang enggak ada bedanya sama Mamah! Ketus, ia menjawab, “Teteh mah enggak mau!” Itu sama saja dengan menerima perjodohan Papah Mamah! Gya menoleh ke arah Papah. Mata besarnya menatap tajam laki-laki itu. “Kenapa Papah enggak percaya kalau Teteh mampu menjalani pilihan sendiri? Kalau enggak pernah dikasih kesempatan, gimana bisa Teteh berhasil atas usaha sendiri, gimana bisa jadi seperti Ade. Itu kan yang Papah Mamah mau? Teteh jadi seperti Ade?”

Sanes kitu[2], Teh!” Suara Papah meninggi. “Papah Mamah cuma ingin melihat Teteh dan Ade baik-baik saja walaupun tanpa kami. Papah Mamah ingin memastikan kalian hidup berkecukupan. Jangan sampai hidup susah. Papah Mamah sayang kalian.”

“Tapi, Papah dan Mamah tidak berhak memaksa Teteh menikah dengan seseorang yang tidak Teteh inginkan. Teteh juga belum mau menikah sekarang, Pah! Kalau Papah sayang sama Teteh, kasih kesempatan melakukan pilihan sendiri.”

Papah menarik napas dalam. Suaranya pelan kembali ketika mengatakan, “Teh, Papah Mamah khawatir ada apa-apa sama Teteh kalau lagi cari penumpang. Papah Mamah enggak mau Teteh kenapa-kenapa. Mamah betul, bahaya kalau Teteh sendirian di jalanan.”

Tiba-tiba Gya ingat percakapan dengan sahabatnya barusan. “Teteh enggak akan sendirian, Pah. Banyak temannya. Teteh diajak masuk grup teman-teman Mala sesama sopir taksi online. Mala bilang, mereka baik-baik, pasti mau bantu kalau ada yang punya kesulitan. Mereka juga bakalan kasih tips-tips supaya Teteh aman sewaktu cari penumpang. Ada ceweknya juga kok, Pah. Seperti Mala, teman cewek itu sudah lama jadi sopir taksi online. Sampai sekarang mereka berdua baik-baik saja.”

Setelah sayup-sayup suara TV menguasai pendengaran cukup lama, Papah berucap, “Nya, sok atuh[3]. Teteh boleh coba jadi sopir taksi online. Tapi hanya boleh siang hari saja. Sebelum Magrib, Teteh harus sudah di rumah. Setiap tiga jam sekali, Teteh kabari Papah lagi ada di mana. Kalau ternyata yang didapat tidak sebanding dengan usaha yang dikeluarkan, Teteh berhenti jadi sopir taksi online.”

Mata besar Gya berbinar. “Beneran, Pah?”

Papah mengangguk.

“Terima kasih!” Gya meraih dan mencium tangan laki-laki yang duduk bersebelahan.

Papah tertawa kecil serasa mengucap-usap rambut tebal dan bergelombang putri sulungnya. Jenis rambut yang beliau turunkan kepada Gya. “Sekarang, ayo kita makan! Mamah sama Ade sudah nunggu.”

“Papah duluan saja. Nanti Teteh nyusul.”

Laki-laki yang sudah berdiri itu, mengerutkan kening.

“Sebentak, kok. Sepuluh menit saja. Janji.” Gya mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf “V”.

Gya membuka grup Driver Pasteur begitu Papah tidak terlihat lagi. Matanya membaca cepat pesan-pesan di grup tersebut.

 

NanDINA Pramidita: Hai, Gya. Aku Dina. Senang ada teman cewek lagi. Biar nanti ada yang bantu balesin bully-an cowok-cowok berisik di sini.

Bhanu Indra Brawijaya: Berisik tapi keren semua.

Lihat selengkapnya