LACAK JEJAK MALA

Puspa Kirana
Chapter #7

Persiapan

Waktu hampir sampai di tengah malam. Di satu rumah sederhana, suara TV sudah sejam lalu dimatikan. Tinggal detak jarum jam dinding menggenggam sunyi. Di salah satu kamar, Satria menyesap kopi yang baru saja ia buat. Mata dibalik kacamata berbingkai hitam tebal yang bertengger sedikit melorot di hidung bangirnya, memejam. Seolah semilir angin menyusup ke dalam pori-pori tubuhnya, menghalau kepenatan yang sejak tadi terasa. Kesegaran segera menggantikannya.

Namun, tak lama wajah pemuda itu agak meredup. Kopi selalu mengingatkan akan ayahnya. Beliaulah yang mengenalkan kopi tanpa gula saat SMA. "Coba kopi tanpa gula, Kang. Gula itu memang manis, tapi menghilangkan sebagian besar kenikmatan rasa kopinya." Begitu kata Ayah ketika mengajak Satria pertama kali mencicipi kopi tanpa gula. Mungkin seperti hidup ini, belum tentu peristiwa pahit yang terjadi bermaksud menghilangkan kenikmatan pemiliknya. Bisa jadi bahkan sebaliknya. Namun, ia belum bisa merasakan kembali kenikmatan hidup seperti sebelum kehilangan si pengucap kata.  Satria memang dekat dengan ayahnya. Sambil minum kopi di malam hari sepulang beliau kerja, mereka kerap berbincang, membahas berbagai masalah kehidupan. Sikap agamis dan perhatian Ayah pada keluarga melekat di hati pemuda itu.

Satria menarik napas dalam dan mengenakan kembali headphone hitam melanjutkan pekerjaan yang belum selesai. Sejak sampai di rumah pukul sembilan malam tadi, ia langsung masuk kamar menyelesaikan produk pertama Ruang Bisnis, perusahaan yang baru dibangunnya bersama Bambang, Aqila, dan Kevin, teman Aqila.

Setengah jam kemudian, pekerjaan itu selesai. Satria berdiri, meregang, dan menjatuhkan badan di ranjang tidak jauh dari kursi yang baru saja ditinggalkan. Terdengar gemeretak dasar ranjang yang bergoyang cukup kencang. Mungkin beberapa penahan kasurnya sudah terlepas atau kayu-kayunya rapuh dimakan usia. Saat Ayah masih ada, beliau rutin mengganti berbagai perabot, termasuk tempat tidur. Namun, sepeninggalan beliau, kondisi keuangan tidak memungkinan kebiasaan itu berlanjut. Mata Satria tertancap pada langit-langit kamar yang sudah tidak putih lagi warnanya. Ia melirik sejenak dinding kamar berwarna krem. Kusam. Kebiasaan lain, mencat ulang rumah setahun sekali, ikut terhenti. Biaya hidup dan kuliah kedua adiknya menjadi prioritas. Pemuda itu meraih ponsel yang tergeletak di ranjang sebelah ransel hitam, mengusir kesenduan yang mulai merambat di hati. Ia membuka aplikasi Whatsapp di percakapan dengan Erfan, salah seorang tim Ruang Bisnis, tanpa mengindahkan pemberitahuan pesan maupun panggilan masuk yang bertumpuk. Tiba-tiba ponselnya bergetar tanda panggilan Whatsapp masuk. Dari Aqila.

“Ya, Bro. Belum tidur?”

“Menurut kamu? Ya, belumlah.”

Terdengar tawa pelan Aqila. “Kencan terus ya sama laptop. Cinta banget kayaknya.”

“Sialan! Gimana enggak cinta, itu yang bakalan bikin Ruang Bisnis jadi besar. Ada apa?”

“Web belum bisa diakses? Kevin barusan protes. Mestinya siang tadi sudah bisa diakses. Katanya ngontak kamu dari sejam lalu enggak diangkat-angkat.”

“Iya, ini hasil koreksi materi terakhir yang kemarin masih salah. Baru beres. Langsung upload kok, begitu aku bilang oke sama Erfan. Sekitar sejam lagi mestinya bisa diakses.”

“Kamu kasih tahu Kevin, deh. Dia kan panikan orangnya. Gara-gara besok pagi harus presentasi di depan investor.”

“Lah, kan besok presentasinya bareng aku. Sudah dibantu juga bikin slide. Besok kamu datang, kan?”

“Iyalah, aku datang. Kayaknya Kevin stres. Pertama kali presentasi depan Mas Bambang dan temannya. Sekalian kasih semangat buat dia, Sat.”

“Ya sudah. Nanti aku kasih tahu dia, setelah acc ke Erfan. Sekarang aku tutup dulu, ya. Biar cepat beres.”

“Eh, Sat! Kamu sudah tahu, lusa anak-anak DP mau kopdar pas makan siang. Sekalian welcoming meet up buat Gya.”

“Lusa? Sabtu? Waduh, aku kadung janji antar Ibu kondangan.”

“Yaahh, Kamu sih enggak muncul-muncul di grup. Sudah dua hari ini kita bahas itu.”

Lihat selengkapnya