"Kamu, Sat." Aqila tersenyum tipis menatap Satria yang balas menatapnya seraya menaikkan alis. Mata ramah Satria seolah dipenuhi tanda-tanya.
Setelah beberapa saat keduanya terdiam, terdengar suara laki-laki berkacamata itu, "Kalau bercanda jangan keterlaluan. Orangnya lagi sakit, Qila."
"Aku memang suka bercanda, tapi yang ini serius, Sat."
Selanjutnya Aqila bercerita bahwa sejak pertama bertemu sekitar dua tahun lalu, saat berunjuk rasa kepada perusahaan taksi online dimana mereka bergabung, Dina mulai memiliki perasaan berbeda untuk Satria. Namun, perempuan itu berusaha meredamnya apalagi ketika tahu kalau laki-laki yang disukai belum ada niat berhubungan khusus dengan perempuan. Satria pernah tidak sengaja mengatakan di grup bahwa ia baru akan memikirkan hal itu setelah kedua adiknya lulus kuliah dan bisa mandiri. Waktu itu ada yang menggoda kenapa ia masih sendiri. Sebagai anak pertama dan laki-laki, Satria merasa berkewajiban memikul tanggung jawab tersebut. Baginya keluarga nomor satu. Keluarga tempat pulang terbaik, yang selalu menyediakan bahu saat seseorang butuh bersandar. Seperti yang terjadi selama ini. Ibu dan dulu Ayah, menjadi tempat penipis gelisah saat ia sedang bermasalah.
Kemudian datanglah Mr. K yang sepertinya bisa menggantikan Satria di hati Dina. Sayangnya, perempuan tidak mampu membohongi diri sendiri. Makin hari ia makin tidak yakin keputusan menikah dengan Mr K adalah yang terbaik. Dua minggu lalu, ia memutuskan membatalkan pernikahannya.
"Dina merasa bersalah, Sat. Semua jadi berantakan. Kedua keluarga marah karena pembatalan itu. Dia stres makanya sakit."
"Itu konsekuensi yang harus dia terima."
"Iya, sih. Tetap saja aku pengen banget bantu dia. Tapi enggak tahu caranya, Sat."
Satria apalagi. Ia belum pernah dekat dengan perempuan. Pemuda itu tidak mengerti, ke mana logika orang yang membatalkan pernikahan padahal waktunya tinggal dua bulan lagi dan undangan sudah selesai dicetak. Kalau memang belum yakin, kenapa ketika dilamar enam bulan lalu Dina mau menerima.
"Kamu hibur dia saja, Qi. Lebih sering kontak dia. Kita kasih support juga di grup."
"Masalahnya, setelah kemarin cerita, Dina enggak pernah balas WA-ku lagi. Enggak mau terima WA call atau telepon aku. Dia menghindar, Sat. Gimana aku bisa bantu." Suara Aqila memelan.
Keduanya kembali terdiam sambil melanjutkan makan siang. Satria tidak menyangka tenyata gadis yang dekat dengan Aqila menyukainya. Meskipun sahabatnya sempat mengatakan tidak berharap banyak dari kedekatan dengan Dina, tetapi ia tahu Aqila tetap menyukai gadis itu. Satria jadi tak enak hati. Laki-laki itu melirik sahabatnya bermaksud menyampaikan bahwa ia hanya mengaggap Dina teman biasa. Namun, sebelum sempat maksud itu terucap, ponsel Aqila berbunyi. Laki-laki itu menerima panggilan tersebut setelah menatap sejenak layarnya.
"Sat! Cek grup! Kata Bhanu, Gya ngajak kita jenguk Dina. Gya juga tanya bisa bantu apa buat soft launching RB." Aqila menoleh ke arah sahabatnya setelah percakapan telepon berakhir.
Satria yang baru selesai menyuapkan sendok terakhir makan siangnya, menoleh. Biasanya inisiatif seperti itu datang darinya. Ia jadi merasa keduluan. Namun, keinginan Gya membantu soft launching Ruang Bisnis lebih menarik hati. Ia merasa mendapat perhatian lebih. Senyumnya mengembang. Tak berapa lama, senyum itu menipis dan Satria menggeleng pelan mengenyahkan perasaan tersebut. Bermaksud mengalihkan perhatian, ia meraih ponsel di meja, membuka percakapan Grup Driver Pasteur, dan mengetikkan pesan.
Satria BM. Ruang Bisnis: Thanks Gya. Bantu apa, ya?
Satria menulis di balasan pesan Gya yang menanyakan bisa bantu apa untuk soft launching Ruang Bisnis.