"Sudah coba cari penumpang di stasiun, Gya?"
Gya menoleh ke arah si empunya suara. Taufan pemilik wajah kalem, tersenyum padanya. Dari semua teman-teman pengemudi di grup, laki-laki itu paling irit berkomentar. Ternyata tidak jauh berbeda ketika bertemu langsung. Ini pertama kali Taufan mengajaknya bicara selain menyapa singkat saat berkenalan tadi, setelah bergabung setengah jam lalu. Ia terlihat paling dewasa tidak hanya karena usia yang sudah berada di angka 29, melainkan juga perilakunya. Ia sudah beristri, tetapi sampai sekarang, setelah tiga tahun menikah, belum dikaruniai anak. Laki-laki yang bekerja di perusahaan telekomunikasi itu, menjadi sopir taksi online di akhir minggu saja.
Taufan menjadi pengemudi taksi online karena harus membiayai sekolah dan kuliah ketiga adik selain perawatan ayahnya yang sakit strok sejak tiga tahun lalu. Hampir sama seperti yang dialami Satria. Bedanya Satria belum berkeluarga, ayahnya sudah tiada, dan sekarang punya bisnis yang memberinya penghasilan lumayan sebagai Manajer Research & Development di sana. Satria dan Taufan sempat menjadi topik pembicaraan saat keduanya belum datang. Diam-diam Gya jadi terenyuh dan kagum mendengar cerita tentang mereka.
"Belum, Bang. Sepertinya banyak banget yang cari penumpang di sana. Jadi susah parkir pas nunggu. Mana jalannya searah. Repot kalau kelewatan. Mutarnya jauh." Gya juga tidak enak hati menjadi bagian yang menambah kemacetan di sana. Ia pernah mengalami, saat terburu-buru karena datang mepet dengan jadwal keberangkatan kereta, tertahan agak lama di pintu masuk stasiun gara-gara banyak taksi online parkir menunggu penumpang. Ia nyaris ketinggalan kereta. Namun, Gya tidak melontarkan pemikiran itu. Ia tidak mau membuat teman-teman lain yang sering mencari penumpang di stasiun karena sangat butuh upahnya, tersinggung mendengar pendapatnya tersebut.
"Enggak perlu nunggu, gampang kok dapatnya, Gya. Lewat saja, biasanya langsung dapat. Asal lewatnya di jam-jam kereta eksekutif datang.”
"Iya, Gya. Benar kata Bang Taufan. Itu cara terbaik cari penumpang di stasiun.”
Gya menoleh ke arah Bhanu, laki-laki yang tadi turun dari mobil setelah membunyikan klakson di Jalan Pajajaran dan membuatnya berganti pikiran. Ia bersedia mematikan aplikasi taksi online setelah Bhanu membujuk sembari mengingatkan bahwa kopdar kali ini diadakan dalam rangka menyambut kehadiran Gya di grup Driver Pasteur. Dari laki-laki ini, ia jadi tahu lebih banyak tentang Driver Pasteur karena sempat berduaan cukup lama di Warung Semar, tempat mereka kopdar, sebelum teman-teman lain berdatangan. Panggilan “Bang” untuk para anggota yang lebih dewasa di grup tersebut karena dua hal. Pertama, ibunya Taufan orang Aceh dan di rumahnya dipanggil Abang. Ayahnya Sunda dan ia lahir di Aceh ketika sang ayah masih merantau di sana. Kedua, dalam rangka menggoda Satria. Panggilannya jadi Bang Sat. Gya tertawa kecil sewaktu Bhanu menceritakan ini. Padahal Satria tidak ada keturunan Melayu Sumatera. Ayahnya Jawa dan ibunya Sunda, semua anak-anaknya lahir di Bandung. Dina seperti dirinya, asli Sunda. Sementara Bhanu, Aqila, dan Mala, sudah tak jelas. Kedua orangtuanya campuran berbagai daerah.
“Aku juga setuju apa kata Bang Taufan, Gya. Enggak usah nunggu penumpang. Mending nunggu Abang melamar saja.” Celetukan Farhan membuat bibir Gya menguncup menahan senyum. Salah satu anggota yang paling ribut di grup ini tetap kerap menggodanya walaupun tadi memperkenalkan diri sebagai papanya Vanda.
"Njiirrr ... langsung main sambar begitu ada kesempatan. Mana mau Gya jadi yang kedua, Baanggg.” Aqila, lawan Farhan yang membuat grup ramai, langsung berkomentar.
"Siapa bilang kalau itu aku, Qila. Kamu kan yang kemarin bilang kalau di sini abangnya banyak."
Aqila tertawa. "Pasti karena takut diingatkan yang di rumah, ya Bang. Jadi, serius, enggak mau, Bang?”
"Enggak mau apa?" Tiba-tiba terdengar suara laki-laki yang belum pernah Gya dengar sebelumnya.
"Nah, kalau yang ini pasti mau. Ya enggak, Bang Sat?"
Gya segera menoleh begitu nama itu diucapkan Aqila, menatap laki-laki yang berdiri dibalut jaket hitam cukup tebal, sepertinya untuk menahan angin saat bermotor. Rambut pendek hitam lurusnya agak acak-acakan, mungkin karena tadi memakai helm. Wajah berhidung bangir dengan mata ramah berada dibalik kacamata, berseri-seri meskipun titik-titik keringat menghiasi kening dan pelipisnya.
"Mau apa?" Satria tersenyum sambil menyapa dengan genggaman erat kemudian memeluk sesaat setiap orang di sana. Seperti yang dilakukan teman-teman lain ketika di antara mereka ada yang baru datang. Ia mengiyakan sewaktu Bhanu bertanya "Naik motor ya, Bang?". Nah bener, kan? Dia naik motor. Karena semua berdiri menyambut laki-laki yang baru datang itu, Gya jadi tahu Satria laki-laki tertinggi di antara anggota Driver Pasteur.
Satria berhenti sejenak sewaktu giliran menyapa Gya. "Hai! Ini pasti Gya!" Senyum Satria melebar. Ia mengulurkan tangan mengajak Gya bersalaman. Matanya menilik-nilik perempuan di hadapannya.
"Hai, Bang ... mmm ... Sat ... eh ....” Gya bingung. Ia tidak enak hati ikut-ikutan memanggil “Bang Sat”. Baru ketemu, sudah sok akrab. Lagi pula tidak sopan rasanya memanggil seseorang dengan panggilan tidak baik. Bang-Sat punya arti buruk, kan?
"Pasti heran ya, Bang? Gya mirip Mala." Bhanu tertawa kecil. Sepertinya melihat ekspresi Satria saat menatap Gya. “Tadi semua juga begitu, waktu pertama kali lihat Gya.”
"Iya. Kok bisa, sih? Atau memang kamu saudara dekat Mala?" Satria merespons kata-kata Bhanu, tetapi matanya tidak lepas dari wajah Gya."