Rumah dengan luas setara tipe 45 di daerah Sukamulya yang padat penduduknya itu terlihat sepi walaupun jalan kecil di depannya kerap dilewati kendaraan para penghuni, seringnya motor, yang beraktivitas di luar rumah. Sebagian dinding kremnya yang mengusam terpapar sinar matahari pagi yang sudah menyapa ramah sejak satu setengah jam lalu. Sebuah mobil keluarga putih keluaran lima tahun lalu tak bergerak di carport-nya. Namun, sesungguhnya di ruang makan yang juga berfungsi sebagai ruang keluarga, terdengar denting sendok dan garpu beradu dengan piring. Bunyi ponsel ikut meramaikan udara pagi di ruangan itu. Bergegas, Satria menaruh sendok di piring sebelum meraih ponsel yang tergeletak di kursi sebelahnya.
"Cek grup BOD[1], Sat. Aku lagi nyetir. Kevin tidur. Tepar dia." Pendek saja kata-kata Aqila setelah panggilan telepon diterima Satria.
Satria langsung mengecek grup Whatsapp BOD Ruang Bisnis begitu percakapan singkat itu berakhir. Sekitar sepuluh menit lalu Bambang mengirimkan pesan memintanya menemani bertemu dengan calon mitra, salah satu komunitas bisnis terbesar di Indonesia. Sedianya yang akan datang menghadiri pertemuan itu Aqila dan Kevin. Awalnya pertemuan dijadwalkan di sore hari. Namun, karena dimajukan oleh calon mitra jadi pukul sembilan pagi, keduanya tidak bisa hadir karena mereka baru berangkat dari Jakarta kembali ke Bandung. Tadi malam mereka bertemu dengan beberapa pengurus salah satu komunitas bisnis besar Indonesia lain.
Dua komunitas bisnis tersebut target terakhir dengan siapa Ruang Bisnis bermitra untuk soft launching besok. Ruang Bisnis memberi potongan harga lebih besar dan jangka waktu uji coba lebih lama bagi para anggota yang tergabung dalam komunitas-komunitas target itu jika mereka menjadi pelanggan di masa promosi. Salah satu strategi pemasaran yang mereka lakukan selain beriklan di beberapa platform media sosial dan saluran TV, serta meminta beberapa artis menjadi endorser.
Setelah mengiyakan permintaan Bambang, Satria membuka percakapan grup Driver Pasteur. Saat berada di percakapan BOD Ruang Bisnis, ia sempat melihat pemberitahuan masuk yang mengabarkan istri Farhan harus dioperasi. Sejak semalam grup cukup ramai membahas perempuan yang sudah mau melahirkan itu. Ternyata jalan lahir bayi dan kontraksi berhenti di pembukaan delapan. Pemberian rangsangan mulas tidak berhasil, sehingga pagi ini terpaksa dilakukan operasi. Segera Satria mengetikkan dukungan doa agar operasi berjalan lancar dan berhasil.
Grup tidak seramai tadi malam. Dua orang paling ribut tidak bisa banyak memantau. Aqila sedang menyetir dalam perjalanannya ke Bandung dan Farhan sibuk mengurus persiapan operasi sang istri karena menggunakan fasilitas asuransi pemerintah. Tanpa sadar Satria memperhatikan satu per satu komentar-komentar di grup itu. Hatinya tergelitik karena tidak menemukan nama Gya. Padahal saat kopdar, dua hari lalu, gadis itu sesemangat dirinya ketika mereka berbincang berdua, walaupun percakapan diawali dengan kecanggungan ketika mereka belum menemukan topik yang tepat. Ia juga sempat terbawa perasaan karena pertanyaan gadis itu tentang merokok yang mengingatkannya akan Ayah. Namun, begitu percakapan menyentuh Ruang Bisnis dan kuliah Gya, mereka seolah teman akrab yang baru bertemu setelah beberapa lama tidak berjumpa. Satria tersenyum mengingat percakapan itu.
“Kamu kuliah di jurusan apa, Gya?”
“Ilmu Komunikasi, Kang. Broadcasting.”
Tiba-tiba satu ide melintas di pikiran lelaki itu. “Ilmu Komunikasi? Wah, bisa dong sesekali bantu aku di Ruang Bisnis. Kalau ada pelanggan korporat minta pelatihan offline, kamu bisa jadi asisten trainer.”
“Asisten trainer? Membantu trainer ya, Kang?” Kening Gya berkerut.
“Iya.”
“Tugasnya apa?”
“Mempersiapkan pelatihan, memandu dan membantu para peserta memahami materi pelatihan terutama pada saat mereka mengerjakan tugas.”
“Terus apa hubungannya sama kuliahku, Kang? Memangnya dari fakultas lain enggak bisa?”
“Bisa saja. Tapi, sebagai lulusan ilmu komunikasi, kamu pasti punya kemampuan berkomunikasi lebih baik dibandingkan dari fakultas lain.”
“Tapi, aku belum pengalaman.” Suara gadis itu memelan.
“Nanti ada beberapa kali briefing sebelum bertugas. Tugasmu akan dijelaskan di sana. Di pelatihan perdana, tugasmu disesuaikan dengan pengalaman dan kemampuan. Kamu juga bakalan belajar banyak di pelatihan perdana itu. Jangan khawatir, asisten trainer lain yang sudah berpengalaman pasti bantu kamu.” Satria ingat pengalaman pertama menjadi asisten trainer. Ia juga sempat tidak yakin mampu melakukannya. Namun, dukungan Bambang dan asisten trainer lain sangat membantu.
“Apa aku bisa?” Gya agak bergumam seolah bertanya pada diri sendiri.
“Setiap orang, bahkan yang sudah sangat berpengalaman seperti Mas Bambang sekalipun, pasti melalui hari pertamanya, Gya. Aku juga. Aku bahkan kuliah di Ilmu Komputer. Jauh kan dari bidang pelatihan?” Satria tersenyum. “Kamu juga pasti bisa.”
Gadis itu membisu beberapa waktu menatap meja sebelum berkata, “Kang Satria serius, mau ngajak aku jadi asisten trainer?”
“Iya, kalau kamu enggak keberatan.”