Hidup ini memang penuh teka-teki, apa yang tadinya dianggap penolong saat krisis malah menjadi pemicu krisis berikutnya. Pada pagi yang mendung dan berangin di daerah Geger Kalong, tanpa disadari Gya sedang mengalaminya. Udara dingin itu membuat gadis yang duduk di kursi belakang pengemudi mobil Mala, makin gemetaran. Badan yang terasa lemas bersandar penuh ke jok di belakangnya. Ia mengatur napas dengan menarik dan mengeluarkan udara perlahan agar debaran jantung yang tadi terasa begitu kencang, normal kembali. Matanya terpejam demi menenangkan diri. Namun, sudah tiga menit berlalu, badannya tetap bergetar.
“Kamu enggak bawa jaket atau sweter?” Suara seorang laki-laki tidak dikenal membuat Gya membuka mata.
Gadis itu menggeleng lemah. Laki-laki berkaus polo abu-abu dengan lambang seperti tanda ceklis kuning di dada kanan, meninggalkannya. Tak lama, ia kembali membawa sweter abu-abu. “Ini pakai, kamu kedinginan.”
Gya menatap sweter itu ragu-ragu.
“Ayo, pakai! Daripada kamu gemetaran terus. Lagian, dingin begini kamu enggak pakai jaket. Pakai! Biar kamu enggak masuk angin.”
Gya melirik ke arah laki-laki itu dengan kening agak berkerut. Hatinya mulai berontak merasa diperlakukan tidak sopan. Baru bertemu, belum juga kenal, sudah berani menyuruh-nyuruh dengan nada memaksa. Namun, akhirnya gadis itu menurut. Ia mengakui apa yang dikatakan laki-laki itu bisa terjadi. Dengan bantuan si laki-laki, Gya memakai sweter. Walaupun tidak terlalu tajam, hidungnya masih mendeteksi wangi parfum beraroma kayu-kayuan, seperti yang biasa ia hirup saat berdekatan dengan Iqbal. Gadis itu tertegun. Ia menghapus cepat nama itu dari benaknya, mengalihkan perhatian kepada sweter yang baru terpasang. Kedodoran, tetapi gemetar badan mulai berkurang.
"Sekarang, minum dulu." Laki-laki itu mengulurkan tangannya yang memegang sebotol air mineral.
Kali ini, tidak menunggu permintaan ulang, Gya mengambil botol minuman tersebut dari tangan laki-laki berambut hitam lurus yang panjangnya mencapai kerah kaus polo. Air dalam botol bergerak-gerak tidak beraturan karena tangannya masih menyisakan gemetar. Setelah beberapa teguk air membasahi tenggorokan, ia melirik laki-laki yang masih berdiri agak membungkuk di sebelahnya, tepat di pintu belakang mobil Mala yang terbuka. Mata laki-laki itu memancarkan tatapan bertanya-tanya. Terpantau juga melalui ekor mata, satu laki-laki lain sedang bersandar di mobil Mala tidak jauh dari laki-laki pertama, sedang memperhatikan mereka. Gya memejam kembali. Ia merasa perlu beberapa jenak lagi untuk menenangkan diri. Belum mau bercerita apa pun kepada kedua laki-laki itu.
Belum semenit memejam, Gya mendengar ponsel berbunyi. Ia tetap bergeming karena yang terdengar bukan nada panggil ponselnya. Ia mendengar gerakan suara orang menjauh bersamaan dengan sapaan laki-laki menerima panggilan ponsel. Tiba-tiba gadis itu merasa bersyukur atas kehadiran mereka di saat yang tepat. Kalau saja mereka tidak lewat atau tidak berhenti saat lewat, entah bagaimana nasibnya. Mungkin ia dibawa ke tempat jauh dan disakiti bahkan dihabisi. Dihabisi! Gya mengigil lagi. Ia ingat berita-berita di media sosial yang mengabarkan pembunuhan sopir taksi online.
Peristiwa beberapa saat lalu segera menguasai benaknya.
Pagi tadi, Gya baru saja mengantarkan penumpang dari tempat pemberhentian travel ke perumahan di daerah Geger Kalong. Ia sedang mengemudi santai keluar perumahan ketika suara klakson dari sebuah mobil sedan merah terdengar. Mobil tersebut mendahuluinya dan begitu berada tepat di samping mobil Mala, si pengemudi memberikan kode agar Gya menepi.
Gya mengabaikan kode tersebut. Ia merasa tidak mengenali si pengemudi dan ingat satu tips dari grup Driver Pasteur untuk tidak sembarangan berhenti atas permintaan orang lain di tempat sepi. Gadis itu malah mempercepat jalannya mobil. Kalaupun terpaksa berhenti, ia ingin berada di tempat yang cukup ramai sehingga lebih kecil kemungkinan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Si pengemudi mobil merah rupanya serius menginginkan gadis itu berhenti. Ia ikut mempercepat mobil dan mendahului Gya. Mobil merahnya berhenti tepat di depan mobil Mala, membuat gadis itu harus menginjak rem mendadak. Begitu mobil berhenti, dua laki-laki muda turun dan mendatanginya. Mata Gya membesar saat melihat keduanya berbadan kekar dan bertato walaupun tidak terlalu tinggi. Rasa takut mulai menyusup di hati. Namun, ia masih sadar membujuk diri agar tidak panik dan bertanya baik-baik pada mereka. Enggak semua orang bertato itu jahat, Gya?
Si laki-laki berkaus hitam meminta Gya membuka kaca jendela saat sudah berada di dekat pintu pengemudi mobil Mala. Gadis itu menurut sambil bertanya, "Ada apa, Kak?"
"Kau Mala, kan? Turun!" Logat Sumatera lelaki itu terdengar kental.
“Eh, bukan … aku bukan Mala, Kak. Aku …."
"Ah, jangan bohong. Kau pasti Mala. Turun!" Tangan laki-laki itu sangat cepat meraih kunci kontak mobil Mala, mematikan mesinnya membuat semua kunci pintu terbuka.