Gya membuka mata ketika terdengar suara mesin motor dimatikan. Ia melihat Satria bersama Aqila turun dari motor itu dan bergegas mendekat. Selama seperempat jam menunggu mereka, gadis itu memejam menenangkan gelegak kawah aktif di dadanya setelah mendengar pertanyaan Rangga. Ia bungkam, khawatir mulutnya tidak mampu menahan emosi jika menjawab.
“Gya! Kamu enggak apa-apa, kan?” Dari jarak semeter, suara Satria sudah terdengar.
Gya mengangguk dan tersenyum tipis.
“Kamu mau cerita sekarang? Atau mau pulang, ceritanya di jalan?
“Jangan pulang, ke kantor Kang Satria saja. Boleh, enggak? Aku enggak mau mobil Mala ada di rumah. Takut mereka tahu rumahku.”
Satria setuju. “Kamu yang nyetir atau …?”
“Kang Satria saja.”
“Mau berangkat sekarang?”
Gya mengangguk.
Satria menoleh ke arah Aqila, meminta sahabatnya itu membawa motornya kembali ke kantor. Laki-laki itu sempat mencegah ketika melihat gelagat Gya akan turun dari mobil. Ia bilang tidak keberatan kalau gadis itu duduk di belakang. Namun, Gya tak menggubris, tetap akan melakukan niatnya. Gadis itu tidak enak hati jika tetap duduk di belakang mengesankan Satria sopirnya.
Gya baru turun dari mobil, ketika terdengar Rangga berdeham. Ia baru sadar kehadiran penolongnya. Gadis itu segera mengenalkan Rangga kepada Satria dan Aqila. Rangga juga memperkenalkan temannya kepada Gya, Satria, dan Aqila. Walaupun belum tahu ceritanya, Satria berterima kasih karena Rangga dan temannya sudah menolong Gya. Ia tidak lupa meminta maaf karena mata kanan Rangga terlihat kemerahan.
Gya baru menyadari warna kemerahan di sekeliling mata Rangga. Rupanya saat menyelamatkannya tadi, pukulan si penculik sempat meninggalkan jejak di sana. Gya jadi merasa bersalah. Ia nyaris mengucap maaf sekalian berterima kasih saat Rangga berkata, “Enggak masalah. Tapi kalau aku jadi kamu, punya cewek kayak dia, enggak akan pernah aku biarkan keluyuran sendirian.”
Gya tertegun mendengarnya. Sementara Rangga dan Satria bertatapan bak dua prajurit perang siap bertarung. Setelah beberapa saat suasana terasa tegang, Aqila berdeham membuat Rangga mengalihkan pandangan ke arah Gya.
"Ok, deh. Aku pamit. Sampai ketemu, Gya." Rangga melempar senyum kepada Gya dan mengangguk kecil ke arah Satria serta Aqila.
Kening Gya berkerut ketika menatap punggung kedua penolongnya yang menjauh. Lupa niatnya untuk meminta maaf dan berterima kasih. Kenapa Rangga bilang “sampai ketemu”? Ia memilih bertemu ular daripada laki-laki tak sopan itu. Sejenak kemudian, Gya berubah pemikiran. Ia tidak ingin bertemu keduanya. Gadis itu sangat takut ular.
Pada perjalanan menuju kantor Ruang Bisnis, Satria membujuk Gya menceritakan peristiwa usaha penculikan tadi. Ia berhasil, tetapi gadis itu gemetaran lagi.
“Gya, kamu mau kita berhenti dulu di kafe depan situ? Kita bisa minum cokelat hangat. Kamu ingat, aku pernah bilang cokelat bisa bikin mood kita membaik?”
Gya menggeleng pelan. Hatinya belum kembali mengembang. Ia kerap tersentak setiap melihat mobil sedan berwarna merah merek apa pun menyalip mobil Mala atau datang dari arah berlawanan. Ia khawatir mobil merah itu menghadang dan memaksa mereka berhenti. Bayangan para penculik yang menarik-nariknya kasar masih kerap menyeruak di benak. Rangga berdua temannya saja kewalahan melawan para penculik tadi, apa lagi Satria hanya berdua dengannya. Lebih cepat sampai di kantor Ruang Bisnis lebih baik. Di sana pasti banyak karyawan yang sedang bekerja. Para penculik tidak mungkin berani mendekat.
* * *
“Sorry, teh dulu ya, Gya. Cokelatnya menyusul.” Tangan kanan Satria terulur memberikan secangkir teh panas kepada Gya. Sebelum menyesap teh panasnya, Ia meletakkan bokong di sofa sebelah gadis itu.
“Ini sudah cukup, Kang.” Gya tersenyum tipis. Setengah perjalanan menuju kantor Ruang Bisnis tadi, Satria membiarkannya memejam. Satria juga mengganti lagu yang diputar di mobil Mala dengan permainan piano Yirumi yang menenangkan. Hatinya mulai meluas, walaupun sesekali peristiwa penculikan tadi masih melintas di kepala.
Satria menatap ponselnya setelah menaruh cangkir di meja. “Cokelatnya mau yang panas, Gya?”
“Lho, tetap mau pesan? Enggak usahlah, Kang.” Kedua alis Gya nyaris bertaut.
“Enggak apa-apa. Sekalian aku mau pesan kopi juga. Atau … kamu mau coba kopi?”
Gya terdiam. Ia ingat kata-kata laki-laki di sampingnya saat kopdar kemarin. Cokelat mengandung kafein, tetapi tidak sebanyak kopi. Mungkin jika ia minum kopi, lemas yang masih dirasa bisa lebih cepat menghilang. Namun, gadis itu masih ragu dengan rasa pahitnya.
“Aku pesankan kapucino, kalau mau. Mengandung susu, jadi pahitnya berkurang. Aku juga minta kasih gula.”
Gadis itu tahu jenis minuman itu. Ia pernah mengonsumsinya. Warna permukaan yang nyaris putih karena hiasan krim memang menarik hati. Namun, tetap saja rasa pahit menguasai mulutnya.
“Nanti waktu kamu minum, fokus pada manis dan creamy-nya supaya pahit kopi enggak terlalu mengganggu. Dan, jangan lupa, pakai hati.” Satria tersenyum. Tangan kirinya menyentuh dada saat mengatakan itu.
Pakai hati? O, mungkin waktu minum kopi nanti, aku perlu menatap laki-laki ini, biar pahitnya benar-benar enggak berasa. Pikiran itu menghangatkan pipi Gya. Senyum kecil tersipu-sipunya otomatis terulas.
“Jadi, gimana? Mau? Kok malah senyum-senyum.” Kening Satria agak mengerut.
Gya mengatakan persetujuannya begitu saja sebelum terburu-buru menyesap teh. Ia berharap laki-laki itu tidak terlalu memedulikan perubahan wajahnya karena terhalang cangkir. Satria masih menatap Gya. Bibir laki-laki itu mengulum senyum. Gadis itu nyaris salah tingkah. Untung saja Aqila datang dan kata-katanya merobek kecanggungan Gya.
“Sat! Gya! Cek grup DP. Kita lagi bahas kejadian kamu tadi, Gya.”
Gya menarik napas lega seraya mengambil ponsel dari ranselnya. Segera terpantau puluhan pesan masuk dari grup Driver Pasteur begitu membuka percakapan grup tersebut. Pesan-pesan itu berisis permintaan cerita lengkap peristiwa penculikan tersebut. Ia masih bergeming menatap ponsel ketika Satria bersuara.