“Jiaahh, ada yang baru datang senyum-senyum terus.” Aqila meledek Satria yang baru masuk ruang tamu kantor Ruang Bisnis. “Kayaknya ada kabar gembira, nih.”
Satria tertawa kecil. Pandangannya bergeser ke arah ruang kerja tim, memastikan tidak ada orang yang bisa mendengar percakapan mereka. Tidak terlihat siapa pun di sana.
“Anak-anak sebagian sudah pulang, tim Kevin di ruang meeting lagi bahas rencana buat besok.” Rupanya Aqila tahu kekhawatiran sahabatnya itu. “Gimana Gya, Sat? Aman?”
“Aman, dong.” Satria melanjutkan langkah ke ruang kerjanya diikuti Aqila.
“Jangan-jangan kamu senyum-senyum terus itu ….” Aqila meletakkan bokongnya di kursi depan meja kerja. “… karena kamu nembak dia dan diterima.”
Satria tertawa lebih kencang dari sewaktu di ruang tamu barusan.
“Beneran, ya? Selamat kalau begitu. Ditunggu undangan makan-makannya. Apa perlu dibewarakan secara resmi di grup DP?”
“Apaan sih, Qi?” Tawa Satria mereda. “Enggaklah! Ada-ada saja kamu, tuh.”
“Ya, habis enggak biasanya kamu kayak gini. Ceria banget. Padahal sebelum aku sama Kevin berangkat tadi, kamu masih kayak orang lagi mikir gimana bayar utang padahal lagi enggak ada duit. Banyak diamnya.”
Satria terkekeh lagi. “Mau kopi, Qi?”
Setelah Aqila mengiyakan, laki-laki penggemar kopi itu melangkah keluar ruang kerja menuju pantri. Saat menyeduh kopi, benaknya melayang kembali ke Morning Glory.
“Jadi, gitu ceritanya.” Gya berkata pelan. Tidak lama gadis itu tersenyum dan melanjutkan dengan hati-hati, “Tapi, enggak semua polisi bersikap jelek kali, Kang. Mungkin banyak juga yang baik. Tadi kan Kang Satria bilang jangan berprasangka.”
Melihat Gya tersenyum dan nada suara gadis itu tidak menyudutkannya, Satria menarik napas dalam perlahan dan wajahnya merileks. Ia mengakui apa yang dikatakan Gya benar. Laki-laki itu berjanji akan berusaha keras untuk mengatasi permasalahannya tersebut. Satria ingin mengatakan itu kepada Gya sekalian berterima kasih, tetapi gadis di hadapannya keburu berkata lagi.
“Eh, Kang. Tadi Kang Satria bilang, sejak kelas V ikut karate dan jadi juara? Keren. Terus sekarang, masih?”
“Sudah berhenti sejak mulai bikin skripsi dan bantu Mas Bambang jadi asisten trainer.”
“Wah, sayang banget. Memang latihan karatenya menyita waktu ya, Kang?”
“Iya, Gya. Sejak jadi atlet mewakili kota Bandung, untuk persiapan ikut kompetisi tingkat provinsi, aku harus masuk pemusatan latihan. Lima kali seminggu. Lumayan juga tenaga yang terserap ke sana. Kalau lanjut, bisa jadi skripsi enggak beres-beres dan Mas Bambang enggak mau ngajak aku jadi asisten trainer lagi karena enggak bisa konsentrasi.” Satria tertawa pelan.
“Tapi, masih bisa kan, Kang?”
“Maksudnya?” Laki-laki itu mengerutkan kening.
“Kalau ada orang jahat menyerang, misalnya, Kang Satria masih ingat gerakan karatenya?”
“Mungkin bisa, kalau kepepet.” Satria tertawa lagi. Ia merasa ada yang berubah dari roman muka gadis itu. Seperti lega dan lebih aman. Dada laki-laki itu menghangat.
Keduanya terdiam. Hanya terdengar musik instrumental yang diputar pelan dan suara para pengunjung lain bercakap-cakap. Satria memanfaatkan jeda tersebut.
“Gya, terima kasih, ya.”
"Terima kasih untuk apa?”
“Sudah mau dengar ceritaku dan ….” Satria berhenti berbicara, memikirkan sejenak apa perlu melanjutkan kata-katanya. Ia khawatir apa yang akan dikemukakan itu perasaannya saja.
“Dan apa, Kang?”
“Dan sudah mengerti aku.” Laki-laki itu mengatakannya dengan canggung. Senyumnya agak surut.
“Aku yang terima kasih. Kang Satria sudah mau antar aku pulang. Ngajak ke sini dan kasih tahu cara menikmati kopi.”
Senyum Satria kembali melebar. Ia merasa wangi kopi yang mengisi udara kafe, menguat. Laki-laki itu menghirup dalam-dalam, mengisap ketenangan yang dijanjikan.
“Sat, bikin kopi kok senyum-senyum sendiri?”
Suara Kevin menginterupsi kilas balik ruang pikirnya. Satria tertawa kecil seraya mempercepat aktivitas membuat kopi yang melambat saat pikirannya tidak berada di pantri.
“Baru balik, Sat? Gya sudah sampai dengan selamat di rumahnya, kan?”
“Sudah, dong. Kamu mau bikin kopi, Vin?”
Kevin mengiyakan.
“Kalau gitu aku duluan. Aqila nunggu.” Satria mengangkat salah satu cangkir kopi di tangannya.
* * *