Satria mengulum senyum saat menutup pintu kamarnya. Senyum yang sulit ditahan sejak meninggalkan rumah Gya. Dadanya mengembang karena kedua paru-paru dengan rakus menghirup udara setelah tali yang mengikat kuat selama setengah jam terurai. Malam itu, Satria bersama-sama Aqila dan Dina menemani Gya meminta izin papanya untuk pergi ke Solo. Selama setengah jam mereka menjelaskan alasan berkunjung ke kota itu. Mereka mengatakan bermaksud menemui Mala yang sepertinya sedang memiliki masalah dan ingin membantu gadis itu, sekalian jalan-jalan mengistirahatkan pikiran dari kemumetan pekerjaan. Mereka tidak mengatakan peristiwa usaha penculikan sesuai permintaan Gya. Jika mereka jujur, gadis itu khawatir Papah tidak mengizinkan.
Saat Satria kembali ke meja mereka di Warung Semar setelah berbincang dengan Bhanu, Gya mengatakan bahwa ia dan Dina belum meminta izin orangtua masing-masing untuk pergi ke Solo. Mereka khawatir tidak mendapat izin. Apa lagi jika mereka menceritakan usaha penculikan Gya. Satria dan Aqila bersedia membantu setelah mereka sepakat mengatakan alasan di atas. Mereka ke rumah Dina untuk meminta izin bapaknya di sore hari dan malam harinya ke rumah Gya.
Ketukan yang diikuti suara pintu dibuka berbarengan dengan permintaan Ibu agar Satria segera makan, mengurai kenangan tersebut. Sewaktu melewati beliau di ruang tengah tadi, pemuda itu mengatakan belum makan malam. Satria bermaksud menuruti permintaan Ibu ketika teringat belum meminta izin pergi ke Solo.
“Bu, besok malam Kakang berangkat ke Solo sama teman-teman DP.”
“Ada apa, Kang? Kok mendadak?”
“Ibu ingat Mala? Teman DP juga?”
“Ingat. Kenapa Mala?”
Satria mengatakan dengan jujur maksud ke Solo. Ia sungkan membohongi ibunya. Laki-laki itu yakin beliau akan mengizinkan. Selama ini jarang sekali Ibu tidak mengizinkannya bepergian ke tempat jauh sekali pun asalkan jelas tujuannya. Ia juga mengatakan sudah melapor ke polisi masalah usaha penculikan Gya. Namun, sampai saat ini belum ada berita apa pun dari polisi terkait perkembangan masalah ini.
“Kita enggak boleh menunda-nunda, Bu. Bisa jadi Mala enggak lama-lama di sana. Biar cepat beres juga masalahnya. Kasihan Gya. Selama belum ada kejelasan dari Mala, Gya belum aman. Masih ada kemungkinan para penculik itu berusaha menculik lagi.”
“Ibu baru dengar nama Gya. Siapa dia?” Ibu duduk di pinggiran ranjang di sebelah putranya.
“Gya … jadi gini, Bu.” Satria menceritakan bagaimana ia mengenal dan siapa gadis itu.
“Apa tidak bahaya Gya ikut ke Solo? Kalau penculiknya tahu, mereka bisa mengejar sampai ke sana, kan Kang?” Ibu menatap Satria khawatir. “Bukan Cuma Gya yang terancam, Kakang sama teman yang lain juga.”
“Kita bakalan bareng-bareng terus, Bu. Kakang juga enggak akan membiarkan Gya sendirian. Mereka enggak akan berani macam-macam kalau kita banyakan. Ibu enggak usah khawatir. Kakang masih ingat cara membela diri. Justru kalau di sini, tanpa ada kejelasan, lebih bahaya. Kakang enggak bisa terus-terusan di dekat dia. Daripada kepikiran terus, kan mendingan dicoba ke Solo. Dan kalau Kakang ke Solo, tapi Gya enggak ikut, Kakang enggak bisa jaga dia, Bu.” Satria tertegun. Ia baru menyadari bercerita terlalu banyak tentang gadis itu. Ia merasa belum saatnya bercerita sebanyak itu kepada Ibu. Kemungkinan besar beliau akan menyadari, ketertarikannya kepada Gya. Padahal ia pernah berjanji kepada beliau, baru akan memikirkan perempuan setelah kedua adiknya mandiri sehingga tidak membebani ibu.
“Kakang perhatian banget sama Gya.” Ibu menilik-nilik wajah Satria. Bibir beliau agak menguncup menahan senyum. “Ibu belum pernah mendengar Kakang bercerita tentang perempuan sepanjang ini.”
Satria tertawa kecil. Tiba-tiba wajahnya menghangat karena dugaannya tepat. Sedikit gugup, ia berucap, “Ibu kan tadi tanya siapa Gya. Kakang cuma menjawab pertanyaan Ibu saja.”
Ibu tersenyum. Ia mengusap-usap lembut punggung putra sulungnya. “Wajar kok, seumuran Kakang tertarik sama perempuan. Ibu malah senang. Ibu khawatir Kakang terlalu memikirkan keluarga kita sampai lupa sama kehidupan pribadi sendiri Nanti kalau sudah pulang dari Solo, bawa Gya ke sini supaya tahu kondisi keluarga kita, ya Kang.”
Laki-laki itu tersipu-sipu. “Ibu, Kakang belum bermaksud berhubungan lebih jauh dengan Gya atau perempuan mana pun. Nantilah kalau Kinan dan Dira sudah mandiri, sudah enggak membebani Ibu lagi.” Ia menegaskan kembali janjinya.
“Kang, Ibu juga enggak mau itu terlalu membebani Kakang. Proses Kakang punya istri, punya keluarga, masih jadi tanggung jawab Ibu. Jangan sampai kondisi keluarga kita menghalangi jodoh Kakang. Ibu cuma minta, Kakang memilih perempuan yang tepat, yang tidak hanya bersedia menerima Kakang, tapi juga menerima keluarga kita.”
"Bukannya jodohnya sudah ditentukan dan pasti datang kalau sudah waktunya?"
"Betul. Jodoh memang bukan wewenang kita. Tapi ikhtiar itu wajib hukumnya, Kang. Kita dinilai bukan dari hasil, melainkan ikhtiar itu. Jadi, walaupun jodoh Kakang sudah ada, bukan berarti enggak berusaha menemukannya. Kakang enggak mau kan, tidak mendapatkan nilai dari penemuan jodoh itu?"
Satria menatap Ibu sejenak sebelum mengalihkan pandangan ke laptop di meja kerjanya. Hatinya seolah berubah menjadi biru. Kata-kata beliau mengingatkan pada sang ayah. Semasa hidup Ayah, beliaulah yang kerap menasihatinya tentang kehidupan berbalut agama.
"Memang Ibu berusaha waktu belum ketemu Ayah?" Tatapan pemuda itu tetap tertancap ke laptopnya.
"Iya, dengan berusaha mengenal setiap laki-laki yang mendekati Ibu. Ibu bersyukur bertemu lagi dengan Ayah tepat pada waktunya sebelum sempat berpacaran dengan yang lain. Ayah yang menyadarkan Ibu banyak hal tentang Islam."
"Ibu percaya begitu saja dan mau diajak Ayah menikah tanpa pacaran?" Kali ini Satria menoleh ke arah Ibu. Kedua alisnya menjauhi mata. Ia pernah mendengar ayahnya bercerita sedikit tentang pertemuan mereka.
"Ya enggak, Kang. Kami saling mengenal walaupun tidak lama."
"Berapa lama?"
"Sekitar tiga bulan. Selain dari perilaku, Ibu juga berusaha mengenal Ayah dari teman-temannya. Bahkan sempat berkunjung ke tetangganya, mencari tahu Ayah seperti apa." Ibu tertawa kecil.
Satria tersenyum. Ia pernah mendengar Ayah menceritakan hal yang sama. “Tapi, Kakang belum tahu apa Gya juga punya perasaan yang sama Bu.”
“Coba Kakang ajak ke sini. Bilang mau dikenalkan sama Ibu. Kalau dia mau berarti punya perasaan yang sama dengan Kakang.”