Namun, Satria menahan diri tidak menyampaikan keingintahuannya tersebut kepada Gya. Di tengah-tengah kesibukan para penumpang yang bersiap-siap turun dan kesadaran gadis itu yang sepertinya belum pulih benar, ia tahu tidak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan. Jadi, Satria hanya meminta izin Gya untuk mengambil dua tas di tempat penyimpanan barang. Itu pun ia perlu mengulangi permintaannya sebelum gadis yang masih terkantuk-kantuk itu mengangguk dan memberi sedikit ruang agar Satria lebih leluasa melakukan maksudnya. Setelah kereta benar-benar berhenti, ia menepuk pelan bahu Gya mengajaknya turun.
Satria memperhatikan gadis itu bergerak dengan sangat lambat dan limbung ketika berpindah menuju lorong tengah gerbong. Otomatis, pemuda itu meletakkan kembali salah satu tas ke lantai kereta dan menahan tubuh Gya agar tidak terjatuh. “Hati-hati, Gya!”
Gadis itu menoleh ke arah Satria seraya bergumam sepertinya mengucapkan maaf dan terima kasih. Matanya terbuka lebih lebar nyaris membelalak, mungkin terkejut atas peristiwa barusan. Kedua alis tebal Satria terangkat. Laki-laki itu makin yakin Gya tidak tidur nyenyak semalaman. Mata gadis itu memerah. Kepenasarannya bertambah.
"Nu! Kamu jalan duluan!" Satria berteriak mengimbangi keramaian suara para penumpang dan pengangkut barang di sekitar mereka. Ia meminta Gya mengikuti Bhanu. Gadis itu merapikan sejenak jaket parasit tipis biru toska mudanya sebelum memenuhi permintaan laki-laki berkacamata itu. Sementara Dina tanpa diminta bergegas melangkah di belakang Gya diikuti Satria.
Begitu sampai di luar kereta, Satria menyapukan pandangan ke sekitar mencari tanda toilet dan musala di Stasiun Solo Balapan. Kereta malam Lodaya kelas eksekutif yang mereka tumpangi cukup dingin. Saat di kereta tadi, ia sempat ke toilet dua kali. Namun sekarang, laki-laki itu butuh ke toilet lagi. Ketika melihat tanda tersebut, ia segera mengajak teman-temannya ke sana. Semua tidak ada yang menolak, sepertinya merasakan hal yang sama. Terbukti mereka bergantian ke toilet setelah tiba di sana.
Selesai urusan ke toilet, Satria mengajak teman-temannya ke musala yang letaknya berdekatan dengan toilet. Walaupun tidak terlalu besar, musala ini cukup nyaman digunakan. Mereka melakukan salat Subuh. Dari musala, mereka mencari tempat duduk untuk menunggu fajar tiba. Suasana stasiun masih sepi sehingga mereka mudah mendapatkannya.
"Jam setengah enam, kita cabut dari sini, Sat. Ada soto enak yang sudah buka jam segitu. Namanya Soto Triwindu,” usul Dina.
"O, iya benar, enak banget soto itu. Waktu dulu aku ke sini, diajak makan di sana juga. Nama itu diambil dari nama jalannya kan, Teh?" Bhanu yang menjawab.
Dina mengiyakan. “Soto itu sudah lama berdiri. Kepemilikan usaha soto itu sudah berganti ke generasi berikutnya.”
"Gimana, Bang? Kita sarapan di soto Triwindu saja?"
Satria mendengar percakapan kedua temannya barusan, tetapi sebagian pikiran pemuda itu tertuju pada Gya. Gadis di sampingnya tersebut beberapa kali tersentak saat kepalanya nyaris terkulai karena tidak mampu menahan kantuk. Rasanya ingin menyodorkan bahu agar Gya bisa menyandar di sana dan melanjutkan tidurnya.
"Iya, boleh." Satria menoleh sesaat ke arah Bhanu sebelum kembali menatap Gya. Kali ini, ia lagi menahan keingintahuannya. "Gya, kamu enggak tidur di kereta? Ngantuk banget kayaknya. Kenapa?”
Gya mengangguk pelan. "Iya nih. Enggak biasa tidur kalau posisinya kayak tadi. Terus dingin banget. Selimut enggak bisa nahan dinginnya."
“Kenapa enggak bilang? Kamu bisa pakai selimutku. Jaketmu memang terlalu tipis.”
“Nanti Kang Satria kedinginan.” Gya melirik Satria.
“Jaketku tebal. Kaus kakiku juga. Aku enggak akan kedinginan. Besok kalau kita pulang ke Bandung, kamu pakai selimutku.” Laki-laki penggemar kopi itu menoleh ke arah Dina. "Din, habis sarapan, kita ke rumah budemu dulu, kan?"
Dina mengiyakan.
"Kita ke rumah paman Mala menjelang makan siang saja. Kita cari makan dulu baru ke sana. Kamu harus tidur barang sebentar, biar enggak sakit, Gya." Suara Satria melembut saat mengatakan kalimat terakhirnya. Ia tidak akan lupa kata-kata papa gadis itu yang menitipkan Gya kepadanya begitu tahu Aqila tidak ikut ke Solo.
Gya mengangguk pelan tanpa suara.
"Apa enggak lebih pagi saja ke rumah paman Mala, Bang? Sebelum makan siang. Biar kita santai makan siangnya kalau urusan sudah selesai."