LACAK JEJAK MALA

Puspa Kirana
Chapter #22

Sakaw Coffee

"Sekarang gimana, Bang?" suara Bhanu bagai bunyi alarm yang membangunkan di pagi hari. Tidak hanya Satria yang menjadi tujuan pertanyaan tersebut, dua teman lain juga menoleh ke arah pemuda itu.“Boleh lihat nomor telepon tadi? Aku penasaran. Siapa tahu sekarang sudah ada orang di rumah mereka.”

Satria memberikan kertas berisi alamat dan nomor telepon rumah Kakak Mala. Bhanu mencoba menghubungi beberapa kali, tetapi hasilnya masih sama. “Atau kita datangi rumah Mas Baskara saja. Kalau kelamaan nunggu, nanti mereka keburu pergi lagi. Gimana, Bang?”

Satria tidak menjawab, malah menoleh ke arah Gya berbarengan dengan berhentinya sebuah sedan merah tidak jauh dari rumah seberang. Otomatis pandangan gadis itu beralih ke kendaraan tersebut. Wajah Gya menegang dan seolah muncul tambur yang dipukul kencang di dada gadis itu. Matanya tak berkedip menatap mobil merah tersebut. Tak sadar, ia meremas-remas ujung kausnya. Pertanyaan dari Satria terabaikan.

Ia baru tersadar ketika merasakan sentuhan di lengannya. Gya melirik sejenak pemuda yang barusan bertanya sebelum matanya beralih ke tangan yang masih menyentuh lengannya. Gadis itu sedikit membelalak menatap tangan itu.

"Gya, hei! Enggak usah takut. Ada aku, Bhanu, dan Dina di sini. Kalaupun para penculik ada di mobil itu, mereka enggak akan berani macam-macam. Lagian ada Pak Satpam yang bakalan datang kalau kita tekan bel rumah ini lagi.” Rupanya Satria tahu penyebab gadis itu tidak merespons pertanyaannya.

Gya segera mengakui kebenaran kata-kata Satria. Namun, tubuhnya tetap tegang dan pukulan kencang tambur di dada belum berkurang. Tangan si pengucap kata masih berada di lengannya.

Satria menarik tangannya lekas dari lengan gadis itu seraya bergumam meminta maaf. Sepertinya, lagi-lagi pemuda itu tahu penyebab Gya tertegun kali ini. Setelah berjeda beberapa saat dalam suasana canggung, Satria berdeham sebelum mengulang pertanyaannya, “Mmm, Gya, kamu mau pulang ke Bandung atau lanjut cari Mala ke Malang? Ini sudah setengah jalan sih, nanggung juga kalau kita kembali ke Bandung."

"Aku belum tahu, Kang. Papah belum tentu kasih izin,” jawab Gya pelan agak terbata-bata setelah tubuhnya terasa lebih santai dan detak jantungnya hampir kembali normal. Ia ingat Papah mewanti-wanti pulang sesuai janji mereka, Senin pagi sudah di Bandung lagi.

“Kamu mau aku yang minta izin papamu?”

“Nanti aku coba WA Papah dulu.” Gya tidak ingin laki-laki itu kena getahnya diomeli Papa jika ternyata beliau kesal mendengar permintaan mereka.

"Sepertinya, kita perlu bahas ini lebih serius, Sat. Jangan di pinggir jalan kayak begini." Dina yang sejak tadi diam, angkat bicara seraya melirik Gya.

Walaupun lirikan itu sekilas, tetapi Gya merasa temannya itu bermaksud menyampaikan ketidaksukaannya. Sorot matanya menghujam. Nada suara Dina pun agak tajam walaupun senyum tipis mengakhir ucapannya. Senyum yang seolah terpaksa ditampilkan. Pelan Gya bergeser lebih mendekat ke Bhanu melewati teman perempuannya itu. Ia mengetikkan pesan kepada Papa untuk menghalau rasa tidak enak hati. Di sela-sela mengirimkan pesan, gadis itu mendengar percakapan mereka berlanjut.

"Apa aku perlu kontak Dewi sekarang? Kita bisa bicarakan rencana ke Malang di tempat ngopi enak yang dia bilang tadi." Dina melanjutkan ucapannya.

"Jangan! Nanti dia jadi tahu masalah ini. Kalau bisa, cukup kita-kita saja yang tahu, Teh." Bhanu keberatan.

Satria setuju. "Gini, deh. Kita duluan ke tempat ngopi yang dibilang Dewi tadi. Kita bahas masalah ini sampai tuntas, baru kasih tahu Dewi kalau kita sudah ada di tempat ngopi itu. Eh, apa ya tadi nama tempat ngopinya? Sakaw Coffee bukan?"

Tak lama mereka sudah berada dalam taksi online menuju kafe yang dimaksud.

* * *


Gya menoleh dari daftar menu ketika seseorang duduk di sebelahnya. Mata gadis itu agak membesar begitu tahu kalau orang tersebut Satria. Rasa tidak enak hati kembali menguasai. Ia melirik Dina yang duduk di hadapannya. Walaupun seolah tidak peduli, Gya merasa ada larik-larik kecewa di mata teman perempuannya itu. Mata Gya beralih lagi ke daftar menu. Ia mengomel dalam hati karena Bhanu belum datang juga. Kedua laki-laki pamit ke toilet begitu mereka sampai di Sakaw Coffee. Tadinya ia berharap Bhanu lebih dulu datang agar bisa meminta laki-laki itu duduk di kursi yang ditempati Satria sekarang.

Mereka sengaja memilih tempat di lantai dua. Meskipun kursi-kursi di sana tanpa sandaran, tetapi Gya tetap memilih tempat ini daripada kursi-kursi bersandaran di lantai dasar yang gerah karena tanpa pendingin ruangan dan banyak asap rokok pula. Ia dan Dina langsung mengarah ke tangga saat pramusaji mengatakan di lantai dua berpendingin ruangan dan bebas rokok. Lagi pula di sini lebih sepi dibandingkan di lantai dasar. Gya merasa lebih aman. Mungkin kebanyakan penggemar kopi, perokok juga. Jadi, lebih banyak yang memilih meja di lantai dasar.

"Sudah bilang papamu, Gya?" tanya Satria.

“Sudah WA, tapi belum dibalas. Mungkin Papah lagi enggak bisa diganggu.” Gya melirik sekilas pemuda di sampingnya. “Memang berapa lama kita di Malang, Kang? Maksudnya kapan kita sampai di Bandung lagi?”

“Kalau besok malam kita berangkat ke Malang, siang bisa ke rumah kakaknya Mala. Kalau kalian kuat, malamnya kita bisa pulang. Tapi, kalau mau istirahat dulu, nginap semalam, berarti Rabu pagi kita sampai di Bandung.”

"Teh Dina, sudah minta izin juga?" Gya berusaha mengajak Dina masuk ke perbincangan mereka berdua.

"Sudah." Singkat saja jawaban Dina.

“Bapakmu mengizinkan?”

Lihat selengkapnya