LACAK JEJAK MALA

Puspa Kirana
Chapter #23

Cemburu

Gya mengerjapkan mata beberapa kali sebelum membukanya lebih lebar. Ia melirik jam dinding. Jarum pendeknya belum tepat di angka empat. Masih sekitar setengah jam lagi azan subuh terdengar. Ia bertanya-tanya, apa yang membuatnya terbangun. Saat Gya merasakan kaus yang dikenakan agak basah karena berkeringat, ia menoleh ke arah pendingin ruangan. Mati. Ia pun tahu itu penyebabnya. Tentu bukan karena mati lampu, ia melihat cahaya dari ventilasi di atas jendela. Lampu di luar menyala. Gadis itu mengalihkan pandangan ke sosok yang tidur di sebelahnya. Ia menduga Dina yang mematikan pendingin ruangan. Mungkin temannya itu tidak biasa menggunakan alat tersebut sehingga tadi sempat kedinginan.

Perlahan Gya duduk. Setelah semenit terdiam, ia bangkit bermaksud berwudu. Badannya sudah jauh lebih fit. Kantuk yang seharian kemarin masih sering datang, sekarang entah ke mana. Bisa jadi karena masih pagi. Gadis itu berharap sang kantuk malas menghampirinya seharian nanti.

Itu juga yang membuatnya menolak ketika Satria mengajak berbincang di teras rumah setelah makan malam. Walaupun bukan hanya berdua melainkan mengajak Bhanu dan Dina, tetapi Gya tetap menampik. Kata orang kalau kehilangan waktu tidur maka biasanya kita harus membayarnya dengan berkali-kali lipat. Mungkin ini juga yang tadi malam ia alami.

Gya menatap kembali Dina yang membelakanginya. Sepertinya masih di alam mimpi. Ia tidak tahu kapan temannya itu masuk kamar tadi malam saking terlelapnya. Sedikit berjingkat Gya meninggalkan kamar dan membuka pintu sepelan mungkin. Ia tidak ingin mengganggu Dina yang bisa jadi baru tertidur larut tadi malam.

Gadis itu tidak menduga, sepagi ini aktivitas di rumah Bude Wati mulai terdengar. Yang paling jelas suara air dari kamar mandi terdekat. Ia berhenti tidak jauh dari sana. Tak lama pintu kamar mandi terbuka. Mata Gya sedikit membesar melihat Satria muncul dengan wajah tanpa kacamata serta rambut, yang agak acak-acakan, membasah. Entah kenapa, ia suka sekali melihat pemuda itu dalam kondisi seperti ini. Membuatnya mulutnya mengerucut menahan senyum memikirkan hal tersebut. Tiba-tiba detak jantung perempuan itu meningkat ketika pandangan keduanya terpaut. Apa lagi saat Satria mengulas senyum. Gya membalas tipis sedikit canggung. Cepat-cepat dialihkan pandangannya. Ia hampir masuk ke kamar mandi ketika mendengar suara Satria.

"Gya, Dina sudah bangun?"

Gya batal melangkah. Hati-hati, ia menoleh ke arah suara itu. "Barusan mah, belum."

"Tapi Dina baik-baik saja, kan?"

Kening Gya berkerut. Tidak biasanya Satria bertanya-tanya tentang teman perempuannya itu saat mereka bertemu dan berbincang. Tak bisa dicegah, rasa tidak suka menyusup begitu saja di dadanya.

"Sepertinya baik-baik saja, Kang. Kenapa memangnya?"

"Enggak apa-apa. Ya sudah, aku ke masjid dulu, ya." Gya baru melihat dua laki-laki lain sedang menunggu di ruang keluarga. Bhanu dan Arif, anak pertama Bude Wati.

Seusai salat Subuh, Gya mendekati Dina yang masih dalam posisi sama, membelakanginya. Ia menggoyang-goyangkan lengan temannya itu pelan seraya memanggil namanya bermaksud mengingatkan untuk bersalat Subuh. Gya tersentak. Suhu kulit lengan itu di atas normal.

"Teh, Teteh sakit? Badannya hangat."

Pelan, Dina membalikkan tubuhnya. Gya segera melihat wajah perempuan itu pucat dan yang membuat lebih terkejut, matanya sembab seperti habis menangis.

"Teteh kenapa? Ada yang sakit? Apanya?"

Dina menggeleng pelan sembari tersenyum tipis. Gya merasa senyum itu hambar. Ia menduga telah terjadi sesuatu dengan temannya itu. Apa ada hubungannya dengan pernikahan yang batal itu? Jangan menambah masalah, Gya. Tiba-tiba hati kecilnya menegur. Kamu enggak ingin aku cepat dipenuhi sampah lagi, kan? Tak sadar, gadis itu menggeleng sangat pelan. Kalau begitu, enggak perlu menduga-duga yang bikin kamu penasaran. Lakukan saja sesuai maksudmu tadi.

"Jam berapa sekarang?" Terdengar pelan dan parau suara Dina.

"Jam lima. Salat Subuh dulu atuh, Teh." Gya menuruti kata hati kecilnya. Ia mencoret keingintahuan itu dengan spidol putih besar sehingga warna benaknya kembali putih tanpa ternoda dugaan tadi.

Dina mengangguk, tetapi ia tidak segera beranjak dari ranjang.

"Teteh bisa bangun? Kalau sakit dan enggak kuat bangun mah, boleh tayamum. Salatnya juga bisa sambil tiduran."

Sebetulnya Gya sadar tidak perlu mengatakan itu. Ia yakin Dina sudah tahu. Bahkan mungkin lebih tahu tentang beribadah dibandingkan dirinya. Temannya itu sudah lama berhijab. Namun, Gya merasa perlu mengatakan sesuatu. Walaupun Dina sempat membuatnya kesal, tetapi ia tidak bisa mengacuhkan perempuan itu jika ternyata sakit. Dina sudah bersedia menemaninya mencari Mala, merelakan waktu kerja agar Gya terbebas dari ketakutan mengalami usaha penculikan lagi.

"Bisa kok." Pelan Dina bangkit dan duduk. Ia beranjak dari ranjang menuju pintu. Langkahnya yang pelan kadang limbung, membuat Gya bersiap-siap jika perlu membantu memegangi Dina. Gya sampai mengikuti dan menunggui temannya itu di luar pintu kamar.

* * *


Semestinya Gya dan teman-temannya hari ini berkunjung ke de Tjolomadoe, pabrik gula yang sekarang sudah diubah menjadi museum dan menjadi tempat wisata yang sedang naik daun karena tempatnya instagrammable. Saat di Sakaw Coffee kemarin, Dewi mengajak mereka ke sana. Menurut cerita sepupu Dina itu, di sana mereka bisa melihat berbagai jenis alat dan mesin pemroses gula. Seperti museum umumnya, di sana juga mereka bisa tahu sejarah pabrik tersebut, melalui tulisan, gambar, foto, diorama, dan film yang menceritakan pabrik itu sejak awal didirikan hingga ditutup.

"Pokoknya tempatnya keren, deh! Bagus banget buat foto-foto. Lagian dekat dari sini. Enggak sampai sepuluh menit sampai." Rumah Bude Wati memang berada di daerah yang sama dengan museum tersebut.

Lihat selengkapnya