Malam makin pekat. Sesekali angin berembus kencang meliukkan pepohonan di pinggir rel yang terpantau ketika cahaya terang menyorot dari kereta Malioboro yang melaju menuju Malang. Di salah-satu gerbong, Satria masih berjongkok saat Gya kembali memejam. Setelah terpantau dada gadis itu naik turun lebih lambat, ia berdiri dan kembali ke tempat duduk semula. Langkahnya sempat agak limbung saat kereta Malioboro yang mereka tumpangi, memelan. Sebentar lagi kereta akan berhenti di stasiun Blitar. Ia melihat beberapa penumpang sedang bersiap-siap untuk turun, termasuk seorang laki-laki, sepertinya seumuran Mas Bambang, yang duduk di dekat jendela bersebelahan dengannya.
Satria tetap berdiri ketika sampai di tempat duduknya, memberi kesempatan kepada laki-laki itu berpindah ke lorong tengah gerbong. Begitu kereta berhenti, selama tiga menit terjadi sedikit keributan sewaktu sebagian penumpang turun dari gerbong.
Dua menit sebelum kereta bergerak lagi, Satria sudah duduk nyaman di kursinya yang dimiringkan ke belakang sampai habis. Senyum laki-laki berkacamata itu terlukis tipis ketika pandangannya berhenti pada selimut cokelat yang menutupi kaki hingga perut. Ia teringat benda sama yang tadi diselimutkan dengan hati-hati menutupi kaki hingga leher Gya. Gadis yang akhir-akhir ini kerap membuat bingung, tetapi tidak jarang menduplikasi matahari di hatinya, membuat lebih benderang.
Satria memejam, mencoba melanjutkan tidur. Namun, wajah gadis itu malah makin lekat di pikiran. Ia mulai merasa Gya sedang kesal kepadanya. Dua kali kata-kata ketus terucap dari bibir gadis itu. Seingat Satria, selama ini belum pernah Gya berkata-kata ketus padanya. Kalau menjauh memang sudah beberapa kali. Walaupun sama-sama membuatnya bingung, tetapi ucapan ternyata lebih mengejutkan. Satria jadi menebak-nebak apa yang membuat Gya melakukan itu. Apa karena ia sering menanyakan kondisi Dina? Dan juga sering meminta gadis itu mengingatkan Dina makan dan minum?
Mata Satria sedikit terbuka. Rasanya baru kali ini ia benar-benar merasa terganggu karena perempuan. Bukan cuma satu, tapi dua sekaligus. Ia sudah berusaha mengabaikan dengan berkonsentrasi kepada Ruang Bisnis. Namun, ketika salah satu dari mereka terancam keselamatannya, ia tidak bisa menahan hati terlibat dalam masalah ini. Hati? Satria menggeleng pelan. Ia segera menyadari rasa suka mulai berubah menjadi rasa lain yang lebih dalam. Rasa takut kehilangan. Rasa ingin memiliki. Sampai-sampai ia bersedia meninggalkan Ruang Bisnis hanya untuk menemaninya sampai sejauh ini agar gadis itu terbebas dari ancaman.
Kali ini kedua mata laki-laki itu membuka sempurna. Ia baru menyadari rasa itu makin kuat. Bahkan ia belum menyadarinya ketika menjawab pertanyaan Dina malam itu di teras rumah Bude Wati. Jawaban yang tidak sadar ia ucapkan sekaligus mengungkapkan perasaan yang baru saja disadarinya. Peristiwa malam itu segera menyeruak benaknya.
"Sat ... mmm ...." Setelah Bhanu tidak terlihat, Dina memulai percakapan.
"Iya, Din. Ada apa?"
Dina mematung beberapa saat. Gadis itu menarik napas dalam sebelum bersuara lagi, "Mmm ... kamu masih pegang prinsip itu, Sat? Prinsip baru mau nikah kalau dua adikmu sudah pada lulus kuliah semua dan mandiri?"
Kedua alis tebal Satria menjauhi mata. Pertanyaan gadis tidak seperti yang diharapkan. Tadi ia berpikir Dina akan menanyakan perasaannya terhadap perempuan itu. Tebersit rasa malu karena gede rasa. Namun, ketidaknyamanan lain segera menggantikan rasa itu saat satu kata yang diucapkan Dina menyerobot ruang pikirnya. Nikah. Kata yang sampai saat ini belum ingin ia pikirkan lebih lanjut.
Setelah senyap sejenak, gadis itu melanjutkan, "Maksudnya, kalau ada cewek yang menawarkan kesempatan itu sama kamu sekarang atau dalam waktu dekat, kamu tetap enggak mau?"
Satria tetap bergeming walaupun kedua alisnya sudah kembali ke posisi semula. Ia berusaha meraba-raba arah selanjutnya dari pertanyaan Dina, seraya berpikir keras bagaimana menjawabnya.
"Kalau cewek itu ... Gya, gimana Sat?" Dina menoleh menatap Satria tepat di manik mata coklat tua laki-laki itu.
Napas Satria sesaat tertahan mendengar pertanyaan yang benar-benar di luar dugaan. Kenapa yang disebutkan Gya? Kenapa bukan namanya sendiri? Jawaban yang tadi sudah mulai terangkai, pecah berserakan. Ia tak tahu harus menjawab apa. Ya Allah, apa urusan dengan perempuan selalu serumit ini?
Laki-laki itu menggeser pandangannya ke jalanan di depan mereka yang mulai sepi. Namun, benaknya tidak menyentuh jalanan itu sama sekali, malah berlarian ke sana kemari mencari jawaban. Sang benak baru berhenti ketika satu wajah ditemukan. Wajah Aqila. Jawaban baru segera terangkai. Satria berharap dengan jwaban itu, sang sahabat lebih mudah mendapatkan keinginannya, bersanding dengan Dina.
Tanpa menoleh, laki-laki penggemar kopi itu menceritakan tentang rasa suka yang begitu saja datang kepada gadis yang namanya disebut Dina. Tentang prinsip yang goyah sejak kehadirannya. Tentang perasaan yang mulai berubah dan makin menguat, dari sekadar suka menjadi rasa takut kehilangan, rasa ingin memilikinya.
Begitu cerita berakhir, Satria menarik napas dalam sebelum menoleh ke arah Dina. Ia bermaksud mengatakan perasaan Aqila kepada gadis di sampingnya. Satria berharap Dina menyadari ada laki-laki lain yang lebih pantas mendampinginya. Namun, ia terperangah melihat kedua mata gadis itu sudah dipenuhi air mata yang tidak lama berjatuhan membasahi pipinya. Semua kata-kata sudah disusun rapi membuyar. Terbata-bata ia berucap, "Din, kamu kenapa? Maafkan kalau aku salah kata.”
Setelahnya Satria merasa menjadi orang bodoh. Semestinya tanpa bertanya ia sudah tahu alasannya. Tentu karena ceritanya barusan. Ia mengutuki mulutnya yang menurut saja saat diperintah menceritakan cerita tersebut sebagai jawaban pertanyaan gadis itu yang tidak dipertimbangkan dulu baik-baik. Ia tidak menyangka reaksi Dina seperti ini. Ini pengalaman pertamanya membicarakan perasaan dengan seorang perempuan. Satria kebingungan. Tidak ada tisu di dekat mereka yang bisa ia tawarkan kepada Dina Jadi, ia hanya terpaku canggung menatap gadis yang sedang berusaha menghapus air mata dan sepertinya menahan agar tangisnya tidak berlanjut.
Ketika gadis itu sudah mampu mengendalikan diri, Satria berkata, "Sudah malam, Din. Kamu harus tidur, istirahat. Besok kita perjalanan naik kereta lagi semalaman. Biar kamu tetap fit."
Dina mengangguk dan berdiri mendahului Satria. Langkah Dina sempat tertahan saat mendengar Satria mengatakan, "Din, aku benar-benar minta maaf. Tadi itu, seharusnya enggak aku ceritakan. Maaf ya, Din."
Satria menghela napas dalam. Tidak terdengar sepatah kata pun dari Dina. Ia baru menyadari telah melakukan kesalahan.
Jalan kereta Malioboro yang kembali melambat, memudarkan kenangan Satria. Ia melirik arloji di pergelangan tangan. Masih ada waktu sekitar satu jam duapuluh menit sebelum kereta ini sampai di tujuan akhir. Satria menutup mata lagi. Meskipun sulit terlelap, paling tidak ia ingin mengistirahatkan sejenak pikirannya dari kedua gadis itu.