Setelah beberapa saat terkunci, Gya mengalihkan pandangan dari tatapan lekat laki-laki di hadapannya. Walaupun sedang kesal dengan pemilik tatapan lekat itu, tetapi ia tidak mampu menahan senyum tipis terulas di mulutnya. Juga rasa hangat yang menjalar dari dada ke wajah serta gerakan salah tingkah yang terjadi begitu saja. Ia menyalahkan semut-semut yang berdatangan kembali menggelitiki perut tanpa izin.
Sejak Satria memilih duduk di hadapannya, bukan di hadapan Dina, saat mereka sarapan di Teh Jawa Cafe, kekesalan Gya sedikit berkurang. Sayangnya, pengurangan itu berhenti ketika ia menyaksikan kembali beberapa kali pemuda itu memberi perhatian kepada Dina. Ia sempat memikirkan untuk lebih berkompromi dengan tingkah laku pemuda itu. Satria satu-satunya laki-laki di antara mereka saat ini. Ia juga dititipi ayah masing-masing gadis di hadapannya agar menjaga anak perempuan mereka. Mungkin pemuda itu sedang melaksanakan tanggung jawab tersebut. Jadi, wajar perhatiannya lebih banyak kepada Dina, karena temannya itu sedang kurang sehat.
Gya bukan tidak tahu, beberapa kali Satria menatapnya walaupun tidak selekat barusan. Ia sebetulnya canggung dengan kondisi ini. Mereka berdekatan, tetapi banyak terdiam seolah baru kenal beberapa menit lalu. Sayangnya, gadis itu masih tidak ingin beramah-tamah dengan Satria, terbebani rasa tidak enak hati terhadap Dina.
Beneran seperti itu? Bukan karena kamu enggak suka lihat Kang Satria perhatian banget sama Teh Dina? Hati kecilnya berulah lagi, memanas-manasi Gya yang berusaha mendinginkan dada dan kepalanya.
Awalnya, Gya menolak serangan sang hati kecil. Namun, beberapa kejadian menyadarkannya. Ketika Satria bersikeras membungkus sarapan Dina yang masih banyak tersisa—katanya agar bisa dimakan saat perjalanan ke rumah kakak Mala. Sewaktu laki-laki itu meminta Gya membantu Dina yang kali ini tidak mau ditolak untuk membawa salah satu tas mereka. Dan sepanjang perjalanan ke rumah kakak Mala, saat beberapa kali Satria mengingatkan Dina agar menghabiskan sarapannya. Gya menggeleng pelan ketika hati kecilnya bertanya lagi: masih mau nolak?
* * *
Ketegangan di wajah Satria, Gya, dan Dina mulai terpancar, ketika kendaraan yang mereka tumpangi memasuki Permata Jingga, satu perumahan mewah yang berada di pusat kota Malang. Ketegangan itu makin terasa saat sopir taksi menghentikan kendaraan di depan rumah besar berwarna krem. Setelah taksi berlalu, ketiganya menatap rumah tersebut sebelum melangkah lebih mendekat ke pagar tinggi yang menutupi carport di depan garasi yang pintunya sedikit terbuka. Satu Mini Cooper hitam bergaris putih dan satu Fortuner putih terparkir di sana. Entah kendaraan apa lagi yang ada di garasi.
Satria memijit bel di tembok kanan gerbang. Tidak lama terdengar langkah kaki tergopoh-gopoh mendekat. Seorang laki-laki, mungkin sopir, menyambut mereka. Ia menanyakan siapa dan untuk urusan apa mereka datang ke rumah itu. Laki-laki itu meminta mereka menunggu sebentar di luar gerbang sebelum menghilang.
Saat menunggu, mata Gya menelusuri keadaan sekitar. Sepi. Mata itu membesar ketika tiba-tiba muncul mobil merah dari belokan di ujung jalan. Gya tak melepaskan tatapan sedetik pun dari kendaraan tersebut. Degupan di dadanya meningkat. Ia bergerak begitu saja mendekat kepada Satria hingga menyenggol badan laki-laki itu.
“Ada apa, Gya?”
Sedetik Gya melirik Satria sebelum matanya kembali tertancap pada mobil merah itu. Napasnya tertahan saat kendaraan tersebut memelan mendekati mereka. Tak sadar, ia meraih lengan Satria dan menggenggamnya erat. Gya menarik napas lega begitu mobil merah itu melewati mereka dan menghilang di belokan ujung jalan yang lain.
“Gya.”
Suara lembut Satria membuatnya menoleh. Senyum laki-laki itu menyambutnya. Mata Satria yang menatap selembut suaranya seolah mengatakan “Jangan takut. Aku enggak akan membiarkan para penculik itu membawamu pergi.”. Gya baru menyadari masih menggenggam lengan Satria yang terpantau melalui ujung mata. Cepat-cepat, ia melepaskan genggaman itu dan dengan canggung bergeser menjauhi Satria. Wajahnya memanas. Tatapan gadis itu turut bergeser ke paving block di sekitar kaki-kakinya. Ia tetap dalam posisi itu hingga laki-laki yang menyambut mereka tadi membukakan pintu gerbang dan menggiring mereka ke ruang tamu yang unik. Interior timur tengah yang menghiasi ruang tamu berukuran 4 x 5 m itu, segera saja membuat mata ketiganya membulat.
Mereka duduk di tempat duduk rendah terbuat dari busa empuk dibalut kain bermotif timur tengah. Tempat duduk itu berbentuk huruf U mengelilingi tembok ruangan. Warna meriah menghiasi tempat duduk dan karpet lengkap dengan kerlap-kerlip keemasan seolah ingin memperlihatkan semaraknya tempat duduk di rumah-rumah orang kaya di Timur Tengah. Belum lagi pernak-pernik berwarna emas menghiasi setiap sudut dan wangi kesturi menambah rasa timur tengah di ruang itu. Suasana yang lain dari ruang tamu kebanyakan itu mengurai kecanggungan Gya.
Rasanya lama gadis itu menunggu kehadiran tuan rumah. Tidak ada suara dari mulut ketiganya selama menunggu. Gya menarik napas panjang perlahan beberapa kali, menekan rasa harap-harap cemas, apakah Mala akan muncul dari dalam.
Suara langkah kaki membuat ketiganya menoleh ke ambang jalan masuk dari dalam rumah. Napas Gya tertahan sejenak sebelum ia embuskan bersamaan dengan turunnya bahu beberapa senti. Bukan Mala yang datang melainkan seorang perempuan berusia awal 30-an mendekat sembari tersenyum. Kekecewaan mengetuk-ngetuk pintu hati.
Setelah berbasa-basi sejenak, Erika, istri kakak Mala, mengucapkan kata-kata yang membuat kekecewaan itu sempurna. "Kalian mencari Mala? Sayang sekali, baru dua hari lalu Mala dan Mas Bas ke Jakarta. Iya betul, Mala sempat menginap beberapa hari di sini. Ada apa mencari Mala?"
Singkat saja Satria menceritakan alasan mereka mencari Mala. Seperti Endro, Erika meminta maaf atas apa yang terjadi pada Gya. Tanpa diminta, ia memberi alamat rumah mertuanya di Jakarta, tempat kedua kakak beradik itu menuju, lengkap dengan nomor kontak Baskara.
"Kalian baru sampai tadi subuh dari Solo?" Erika melirik ransel dan dua tas besar yang teronggok di dekat pintu depan. "Pasti capek. Sudah sarapan?"
"Sudah, Mbak."
"Setelah ini kalian mau ke mana? Atau mau istirahat dulu di sini? Nanti biar disiapkan kamar untuk kalian."
Tawaran yang menggiurkan. Setelah semalaman dalam kereta membuat tubuh pegal-pegal dan mata sepet karena kurang tidur, Gya berharap Satria mau menerima tawaran itu. Ia tidak bisa terlelap lagi setelah memergoki Satria berjongkok di dekat kursinya di kereta tadi malam. Walaupun matanya tertutup, perasaan gadis itu seolah puzzle yang keping-kepingnya baru saja ditumpahkan ke lantai, membuatnya terjaga sepanjang sisa perjalanan agar terangkai kembali. Pasti menyenangkan beristirahat beberapa jam sebelum mereka melanjutkan rencana menghabiskan sisa waktu di Malang. Apa lagi kehadiran kecewa karena tidak bertemu Mala membuat lelah makin terasa.
Satria sempat memberi kesempatan kepada Gya dan Dina untuk menerima tawaran Erika. Sepertinya laki-laki itu mengerti kalau kedua teman perempuannya lelah. Namun, Gya memutuskan untuk menolak ketika pemuda itu mengatakan tidak bisa ikut beristirahat karena perlu mencari sesuatu yang dibutuhkan untuk pelatihan esok hari. Gya merasa tidak aman membayangkan berada di kota asing dan jauh dari Satria. Kekhawatiran ditemukan para penculik mencuat lagi. Gadis itu tidak yakin lebih aman berada di rumah ini. Ia tidak mengenal Erika dan laki-laki yang membukakan gerbang tadi. Potongan beberapa film aksi yang pernah ditonton berkelebat di kepala. Bukan tidak mungkin mereka ternyata berkomplot dengan para penculik itu dan menyekapnya begitu Satria pergi. Bulu roma di sekujur tubuh Gya meremang.