Siang ini, gerai oleh-oleh khas Malang yang didominasi warna hijau itu, terlihat ramai. Di akhir minggu, gerai tersebut menjadi salah satu destinasi yang tidak layak dilewatkan oleh para pengunjung kota Malang.
Satria menatap kembali rak di hadapannya setelah mencari-cari gadis yang di mobil tadi membuat dadanya mengetatkan pertahanan. Dada itu seolah tahu salah satu bagian berharganya sedang terancam, dicuri makhluk asing yang baru saja menampakkan diri. Namun, banyaknya pengunjung gerai menggagalkan usaha tersebut. Sosok yang dicari tidak terpantau netra. Keranjang belanja yang masih kosong mengingatkan maksud utamanya ke gerai itu. Ia baru saja memfokuskan lagi pada nama-nama penganan yang tertulis rapi di rak tersebut, ketika seseorang menepuk bahunya. “Satria?”
Seorang laki-laki dengan mata ramah dan berambut super pendek, tersenyum saat Satria menoleh padanya.
“Sam[1] Donny?” Satria mengulurkan tangan mengajak bersalaman begitu laki-laki itu mengangguk.
“Sudah dapat yang dicari?”
“Belum, Sam.” Satria memperlihatkan keranjang belanjaannya.
“Banyak yang mau dicari?”
“Lumayan. Pesanan Mas Bambang dan teman-teman asisten trainer.”
Donny, salah seorang pemilik Malang Strudel, gerai oleh-oleh khas Malang tempat mereka berada saat ini, meminta Satria mengirimkan pesanan ke Whatsapp-nya untuk dicarikan karyawan. “Kita ngobrol sebentar di atas. Ada waktu kan, Sat?”
Satria sudah bersiap-siap untuk ajakan ini. Tadi di mobil Rangga, Bambang sempat mengabari kalau pemilik Malang Strudel ingin berbincang tentang Ruang Bisnis. Ia tertarik berkolaborasi. Menurut Bambang, Donny sedang melakukan pengembangan usaha. Tidak hanya di bidang kuliner saja, ia ingin masuk ke bidang pelatihan juga.
“Sebentar, saya izin teman-teman dulu.”
Satria meninggalkan Donny. Ia tertegun begitu terpantau Rangga sedang berbicara kepada Gya. Posisi berdiri laki-laki itu nyaris tak berjarak di belakang Gya. Keduanya menghadap rak oleh-oleh. Tangan Rangga memegang salah satu oleh-oleh dan sepertinya ia membisikkan sesuatu tentang oleh-oleh tersebut kepada gadis itu. Tak lama, keduanya tertawa bersamaan. Di mata Satria, mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang menikmati libur bersama di kota ini dan membeli oleh-oleh untuk keluarga di kota mereka.
Dengan rahang mengeras dan panas yang tiba-tiba merebak di dada, Satria mendekati mereka. Ia berusaha mengendalikan suara tetap tenang dan rendah saat meminta izin akan berbincang sebentar dengan Donny. Ia juga menyarankan mereka menikmati makanan dan minuman di area yang tersedia di gerai itu jika sudah selesai berbelanja nanti sambil menunggunya. Namun, ia tidak mampu menahan wajah kaku selama berbicara dengan mereka.
“Gya.” Sebelum kembali menemui Donny, Satria memberi tanda agar Gya mengikutinya agak menjauh dari Rangga. “Aku tahu kemarin dia menyelamatkan kamu. Tapi, jangan terlalu percaya dulu. Kita baru kenal dia. Kita enggak tahu dia sebenarnya siapa.”
Gya diam. Ia menatap Satria sejenak sebelum menarik pandangan ke jendela besar di dekatnya.
“Ke Batu, hanya berdua dan malam-malam pula, bukan pilihan yang baik.”
Masih jelas di pelupuk mata Satria, percakapan tentang hal ini di mobil Rangga.
"Iya, kita mau ke Batu habis Magrib. Kalian berdua ikut, enggak? Dina dulu deh. Ikut, enggak?" sambar Rangga begitu Satria selesai melontarkan tanya, seolah tidak ingin memberi kesempatan Gya menjawabnya. Padahal jelas-jelas Satria menujukan pertanyaan tersebut untuk gadis itu.
Wajah Satria menegang. Ingin rasanya ia membekap mulut Rangga yang sudah membuatnya kesal sejak laki-laki yang mengemudi di sebelahnya itu hadir menjelang makan siang tadi. Laki-laki yang duduk dengan dengan santai di hadapan Gya ketika ia kembali dari berbelanja jas, di kursi yang sebelumnya ia tempati. Suara Rangga terdengar arogan setiap mengajaknya bicara, tetapi melembut ketika berkata-kata kepada Gya.
Saat itu saja Satria sudah merasa kecolongan. Apa lagi sekarang. Pemuda arogan itu akan membawa Gya pergi ke Batu. Satu daerah di Malang yang terkenal dingin dan banyak kafe romantis dengan pemandangan indah di sana. Lahar memerah mulai menyusup di dada.
"Memang kamu enggak capek, Gya? Semalaman di kereta. Besok malam kita di kereta lagi. Apa lagi kamu, Din. Belum sehat benar. Masih perlu banyak istirahat." Walau di akhir ucapannya ditujukan kepada Dina, tetapi tatapan Satria tetap menancap ke mata Gya. Namun, ketajaman tatapannya berkurang saat melihat wajah Gya yang mendadak kaku.
Ketegangan memenuhi udara di kendaraan yang mereka tumpangi. Suara Callum Scott pada lagu "You Are The Reason" yang melantun pelan, tidak mampu membuat suasana menjadi lebih cair.
"Sore ini masih bisa istirahat kok. Ada waktu dua jam. Cukuplah." Rangga tetap ngotot. "Ikut enggak, Din?"
"Dina masih belum sehat benar. Perlu istirahat." Suara Satria terdengar gusar. Lahar merah itu sekarang sudah memenuhi dada. Ia jadi berandai-andai Gya yang kurang sehat. Lebih mudah melarangnya pergi berdua Rangga nanti malam.
"O, Dina lagi kurang sehat. Memang bagusnya istirahat saja. Kamu juga kalau kurang sehat, istirahat jugalah, Sat."
"Aku baik-baik aja!" Padahal lahar itu mulai menggelegak di dada. Tidak mungkin baik-baik saja. Pasti ini sudah direncanakan Rangga baik-baik sebelumnya, agar bisa berduaan saja ke Batu. Ia melirik Rangga sekilas tetapi sangat menusuk.