LACAK JEJAK MALA

Puspa Kirana
Chapter #27

Pupuk Bawang

“Kamu serius lagi di Surabaya, Ga?”

“Serius.” Rangga menghidupkan mesin mobil pinjaman dari kantor cabang perusahaan ayahnya di Surabaya dan segera memijit tombol pendingin di dashboard. Bulir-bulir keringat mulai bermunculan di kening walaupun baru beberapa menit berada di luar ruangan berpendingin. Reaksi tubuh atas suhu udara yang berbeda dari Bandung.

“Nyusul Gya ke Malang?”

Rangga terkekeh. “Ini baru mau berangkat ke Malang."

“Kamu tuh ya, kalau sudah ada maunya. Terus, enggak bilang ibumu dulu. Baguusss. Aku diinterogasi tadi.”

“Aku memang enggak bilang ibuku. Tapi bilang ayahku. Cukup, kan? Ayah pasti kasih tahu ibuku.”

“Iya, sih. Ibumu tahu kamu ke Surabaya. Cuma dia enggak yakin sama alasanmu. Refreshing. Sendirian. Mendadak pula. Kamu banget, sih. Dan kamu enggak pernah bilang alasan sebenarnya, setiap kali berulah seperti itu. Makanya ibumu curiga, terus telepon aku. Aku jadi bingung mesti jawab apa waktu ibumu tanya sebenarnya ada apa kamu ke Surabaya.”

“Kamu jawab apa?”

“Ya, aku bilang saja, anak bungsu Tante lagi kena pelet cewek Bandung. Ceweknya ke Malang dikejar-kejar. Tante siap-siap saja dia pulang minta diantar melamar.”

“Serius?”

Diaz tertawa. “Kebayang pulang dari situ, kamu diinterogasi ibumu. Gantianlah, ya.”

Triple sialan! Enggak cuma diinterogasi, aku bakalan dikuntit enggak bisa gerak. Paraaahh …. Sudah dulu, deh! Aku telepon ibuku dulu.”

Derai tawa Diaz makin deras. “Santai, Bro! Mana mungkin aku tega begitu. Aku bilang kamu punya ide buat mengembangkan bisnis kuliner di Surabaya. Lagi survei. Jadi kamu siap-siap saja kalau nanti ditanya hasil surveinya.”

Rangga mengembuskan napas lega. “Mending kalau yang ini. Memang sempat kepikiran juga. Tapi nantilah. Bikin bagus dulu yang di Bandung.”

“Makanya, kalau ibumu ngajak kamu kenalan sama cewek, menurut saja dulu. Jangan alasan melulu.”

“Aku enggak pernah menolak. Kalau kebeneran waktunya enggak pas karena kerjaan dan hal lain kan bukan salahku.”

“Selalu kebeneran, ya? Bikin curiga. Jadi kelihatan kalau kamu lagi berusaha menolak, Sabeeeuum.”

“Aku enggak bermaksud menolak. Cuma merasa belum waktunya. Baru juga 25.”

“Lah, sekarang kamu ngejar-ngejar Gya, apa enggak sama saja? Memang umurmu otomatis bertambah?”

“Aku enggak langsung ngajak dia nikah, Yaz. Pacaran bisa bertahun-tahun. Dijodohkan itu, baru kenal, beberapa bulan kemudian jadi suami istri yang kalau bisa buat seumur hidup. Kalau ternyata enggak cocok gimana? Atau cewek itu punya maksud lain, mau hanya karena kesuksesan keluargaku. Enggak masuk akal!”

“Ya, terserah kamu, deh. Susah memang debat sama kamu.”

Rangga tertawa. Setelah berbasa-basi sebentar, percakapan telepon itu berakhir. Belum semenit, ponselnya berbunyi lagi. Kali ini dari Genta, kakaknya. Ia menyampaikan pesan Ayah. Rangga diminta ikut rapat di Surabaya hari Rabu menggantikan Genta, yang sedianya mendampingi sang ayah.

“Mumpung kamu lagi di sana, mengirit dana dan tenaga. Lagian aku setuju sama Ayah, sudah waktunya kamu lebih banyak terlibat di perusahaan kita.”

Rangga tidak mungkin menolak. Lagi pula ini bisa menjadi alasan tambahan saat bercerita kepada Bunda nanti. Percakapan berakhir dengan pesanan oleh-oleh titipan sang bunda.

Sewaktu bermaksud menyambungkan ponsel dengan audio mobil, tak sengaja ia masuk ke aplikasi Whatsapp dan terbaca nama Gya di sana. Rangga membuka percakapan tersebut dan tersenyum membaca pesan terakhir dari perempuan itu. Pesan balasan ketika ia memberitahu keberadaannya di Surabaya beberapa saat setelah pesawat yang ditumpangi mendarat.

 

Gya: Iya, Kak. Nanti dikabari kalau sudah tahu mau makan siang di mana.

 

Rangga mengetik pesan baru.

 

Rangga: Otw Malang. Kamu sudah tahu mau makan siang di mana?

 

Ditunggu lima menit. Tak ada balasan. Bahkan pesannya belum dibaca. Rangga memutuskan menekan tanda gagang telepon di kanan atas. Terdengar tiga kali nada sambung sebelum suara gadis itu menembus gendang telinganya, “Aku di Solaria. Transmart!”

Rangga menaikkan kedua alis. Nada suara Gya terdengar kesal. Ia ingin bertanya kenapa, tetapi empat angkat di bagian atas layar ponsel mengingatkan agar segera bergerak jika ingin sampai tujuan sebelum makan siang. Menurut pengalaman, tidak cukup dua menit mengorek isi hati pemilik suara di seberang sana. Benak Rangga menayangkan sesuatu. Foto profil Whatsapp dan Line gadis itu. Ia tersenyum. Pemuda itu mengakhiri pembicara setelah mengabarkan perkiraan sampai di Malang kepada Gya. Dengan wajah berseri-seri, ia menekan gas kendaraannya.

Lihat selengkapnya