"Ada apa, Gya?" Rangga mengecilkan suara audio mobil. Suara apik Jason Mraz yang melantunkan lagu "I"m Yours" menjadi sayup. Kendaraan mereka baru saja keluar dari parkiran Pupuk Bawang. Gya beberapa kali menarik napas dalam sebelum menyandarkan kepalanya ke jok mobil sejenak sembari memejam. Bibirnya membentuk senyum lega sebelum kembali fokus pada ponselnya.
Begitu Rangga mengatakan pesan Satria kepadanya, perempuan itu terpaku pada ponsel yang baru saja dikembalikan. Kekesalan karena tadi laki-laki itu merebut benda itu, seolah menguap. Dada yang akhir-akhir ini kerap menciut, kali ini perlahan merekah membaca pesan-pesan dari dua percakapan yang disebutkan. Gya melirik pemuda yang bertanya, tetapi tidak segera menjawab pertanyaannya. Sang benak malah menggandeng gadis itu menelusuri memori sejak sampai di Malang.
Perasaaan Gya benar-benar campur aduk saat itu. Ia ingin menghentikan pencarian Mala dan pulang saja ke Bandung, tetapi ketakutan kembali membayangi. Mala tidak ditemukan artinya ia harus selalu siap jika peristiwa penculikan terjadi lagi. Sewaktu berangkat dari Bandung, ia semangat karena merasa mendapat dukungan penuh dari orang-orang yang diharapkan. Namun, sejak hari kedua mereka di Solo, semua berubah. Mungkin tidak semua, tetapi justru orang yang diharapkan paling mendukung, berubah. Satria lebih memperhatikan Dina dibandingkan dirinya.
Gadis itu kesal tetapi dituntut mengerti. Kesal dengan sikap Satria dan Dina tetapi ia tahu alasan keduanya bersikap seperti itu. Awalnya, Gya bisa menerima alasan tersebut. Namun ternyata, kekesalan yang makin menumpuk membuatnya tak mampu menahan emosi. Itu juga yang menyebabkan Gya akhirnya setuju ajakan Rangga ke Batu. Setelah pemuda itu membangunkan dari tidur sejenaknya sebelum Magrib tiba, Satria mengirimkan pesan memintanya mempertimbangkan lagi keputusan pergi ke Batu. Gadis itu hampir menurutinya, tetapi keinginan itu menguap setelah membaca pesan lanjutan pemuda penggemar kopi itu. Satria menanyakan kabar Dina dan seperti biasa memintanya mengingatkan ini itu untuk kesehatan teman perempuannya tersebut.
"Gya. Aku pengin ikut senang. Sepertinya kamu dapat kabar gembira. Tapi, mana bisa kalau aku enggak tahu apa kabar gembiranya."
Suara Rangga melepaskan genggaman benak Gya. Gadis itu menoleh ke arah Rangga. Ia sempat merasa, pemuda itu bukan hanya menyelamatkannya dari usaha penculikan tempo hari, tetapi juga hatinya. Saat Gya butuh penampung curhat, pemuda itu dengan senang hati menyambutnya. Walaupun belum yakin benar, tetapi ia merasa Rangga ada hati untuknya jika melihat tingkah laku laki-laki ini. Mungkin sudah waktunya mengalihkan hati pada Rangga. Namun, sejak ia mendengar suara khawatir Satria dan kesempatan menjadi asisten trainer yang diberikan pemuda itu, kemungkinan tersebut menipis lekas, selekas menipisnya kekesalan kepada Satria. Ditambah dengan berita dari Grup Driver Pasteur, kekesalan itu nyaris tak berbekas. Bahkan ia bersedia lebih menerima sikap Dina. Senyumnya mengembang begitu saja.
“Malah senyum-senyum sendiri. Bagi-bagi dong senyumnya.”
"Aduh iya ... iya, maaf ya, Kak.” Senyum Gya melebar. “Aku dapat dua kabar baik, Kak. Pertama, besok aku diajak Kang Satria bantu dia, eh maksudnya bantu Mas Bambang, jadi asisten trainer di pelatihan mereka. Kedua, Bhanu berhasil ngontak Mas Bas, kakaknya Mala!"
Antusias, Gya menjelaskan lebih lanjut siapa Bambang, pelatihan apa, dan tugasnya di pelatihan itu esok hari. Ia juga mengatakan Baskara berjanji dalam waktu dekat akan memberi kabar kapan dan di mana Mala bisa bertemu dengan mereka. Kakak Mala itu juga meminta maaf karena sudah membuat Gya mengalami usaha penculikan karena salah sangka. Baskara berjanji akan membantu agar peristiwa tersebut tidak terjadi lagi.
“Kamu besok bantu pelatihan? Dari jam berapa?” Nada suara Rangga sedikit berubah agak gusar, tetapi Gya belum menyadarinya. Gadis itu terlampau gembira karena dua keinginannya hampir tercapai.
“Dari jam enam pagi, Kak. Aku perlu ketemu Kang Satria dulu, supaya bisa lebih mengerti tugas-tugasku. Baru pertama kali ini aku bantu mereka.”
“Sampai jam berapa pelatihannya?”
“Pelatihannya sampai jam lima sore, Kak. Tapi, aku dan Kang Satria cuma sampai jam setengah tiga-an, sampai akhir sesi tiga. Kereta ke Bandung berangkat jam empat.”
“O, gitu ya. Terus tadi kamu bilang sudah dapat kabar tentang Mala? Berarti kamu bakalan ke Jakarta buat ketemu dia?”
"Enggak tahu juga. Belum tahu di mana Mala bisa ketemu kita."
"Kalau nanti kamu mau ketemu Mala, kasih tahu, ya. Aku temani."
"Eh, enggak usah repot-repot atuh, Kak. Teman-teman di grup pada mau kok menemani aku."
"Selama ini aku enggak pernah merasa kamu bikin repot kok, Gya."
Gya tertegun. Senyumnya menipis. Gadis itu ingat kata-kata yang hampir sama dilontarkan Aqila kepada Dina saat mereka berada di stasiun Bandung ketika akan berangkat ke Solo. Satria mengatakan iya untuk kecurigaannya sewaktu bertanya apakah Aqila menyukai Dina. Kemungkinan mengalihkan hati yang tadi menipis lekas, sedikit menebal lagi.
* * *
Gya tidak bisa menahan senyum sewaktu memasuki kamar untuk kedua kali setelah kembali dari Batu. Dua kabar baik yang diterima menjadikannya lebih toleran kepada Rangga. Seperti yang baru saja ia lakukan saat mengembalikan sweter marun milik pemuda itu. Gadis itu bersedia keluar kamar kembali begitu menyadari sweter tersebut masih menempel di badannya. Pikirannya melayang ke peristiwa tersebut.
"Eh, sebentar, Kak!"
Rangga yang hampir masuk kamar, kembali mendekati Gya, "Iya. Kenapa, Gya?"
Saat itu, Gya sedang melepas sweter marunnya.
"Ini sweternya, Kak. Makasih, ya." Gya menyerahkan baju hangat tersebut kepada Rangga. "Nanti sweter satu lagi, aku kirim saja."
"Yang satu lagi enggak usah dikembalikan, Gya. Biar jadi obat pas kamu lagi kangen." Rangga mengucapkan itu dengan senyum dikulum dan mata menatap jenaka setelah menerima sweter. "Jadi, kamu tinggal pakai sweter itu kalau lagi kangen aku."
Kedua mata Gya membulat. Walaupun terlihat bercanda, ia merasa Rangga berusaha menyampaikan sesuatu padanya.