Satria menyugar rambutnya yang agak acak-acakan sebelum menyesap kopinya. Terdengar suara anggota tim Ruang Bisnis yang sedang berbincang diselingi tawa di ruangan mereka. Kantor Ruang Bisnis setelah makan siang biasanya lebih ramai. Sebelum melanjutkan aktivitas, para karyawan bercakap-cakap, seringkali isinya hanya saling bercanda. Kadang-kadang Satria, Aqila, dan Kevin ikut serta. Bahkan Bambang pun bergabung bersama mereka jika sedang ada di sini.
Namun, siang ini Satria lebih memilih minum kopi sendirian di ruangannya. Sejak tiba dari Malang tadi pagi, hatinya gundah. Ada gejolak menguat yang membuatnya ingin memikirkan ulang keputusan untuk menjauh dari Gya. Keputusan yang dibuat setelah diajak bicara oleh Rangga melalui telepon di malam sebelum pelatihan berlangsung. Tingkah laki-laki yang merebut ponsel Gya dan memaksa berbicara dengannya seolah-olah kekasih gadis itu, awalnya membuat Satria marah dan ingin meladeni tantangan tersebut. Namun, ketika ia tidak sengaja melihat keakraban Gya dan Rangga saat sarapan sebelum pelatihan dimulai dan kengototan gadis itu menemui Rangga seusai makan siang, ia berubah pikiran. Satria merasa kesempatannya sudah jauh berkurang. Sikap yang diperlihatkan Gya akhir-akhir ini terhadapnya menambah keyakinan pemuda itu mundur dari pertarungan, selain teguran Bambang ketika evaluasi pelatihan berlangsung sebelum sesi ketiga dilaksanakan. Beberapa kali konsentrasinya pecah karena memikirkan gadis itu.
Ternyata tidak mudah bagi Satria menjauh dari Gya. Rupanya sang hati sudah terlalu dalam menyimpan rasa untuk gadis itu. Ketika melihat wajah Gya tidak bersemangat saat mereka berpisah di stasiun, juga tatapan gadis itu yang seolah bertanya-tanya kenapa, Satria jadi merasa bersalah. Ia tidak suka melihat Gya bersedih.
"Lah, ternyata dia menyepi di sini dan mukanya sudah enggak berbentuk begitu. Rambut acak-acakan, mata merah, tapi masih juga ke kantor. Kamu enggak bisa tidur semalaman di kereta, Sat? Kenapa enggak istirahat dulu barang sehari. Jadi, besok kamu sudah fresh siap ngantor lagi." Aqila meletakkan bokongnya di kursi berhadapan dengan Satria. Cangkir kopinya ditaruh di meja kerja di antara mereka. Ia melanjutkan ucapannya setelah tak mendengar respons Satria, "Kalau punya masalah, jangan cuma disimpan di pikiran, tapi dicari solusinya, biar enggak jadi penyakit. Dan kamu kan tahu, aku selalu siap kalau kamu butuh bantuan. Ini tentang Gya, ya Sat?"
Satria tertawa pelan dan hambar mendengar dugaan tepat Aqila.
"Kenapa lagi? Sampai bikin seorang Satria yang dulu enggak peduli perempuan, berantakan begini?"
Setelah beberapa saat menimbang-nimbang, akhirnya Satria memutuskan untuk bercerita.
"Aku bingung, Qi ...." Kemudian dia menceritakan kebimbangannya.
"Sat, kamu tahu, aku punya pikiran apa sehabis kamu cerita tentang Dina kemarin itu?" Aqila bersuara setelah Satria selesai bercerita.
Di malam Satria merasa khawatir karena tidak ada kabar dari Gya yang pergi berduaan Rangga, Aqila menagih janjinya bercerita. Walaupun hati sedang tidak karuan, laki-laki itu bersedia memenuhi janji. Ia berharap, dengan menghabiskan sebagian waktu bercerita kepada Aqila maka kegelisahannya bisa berkurang. Mungkin karena Satria tidak mampu menyembunyikan nada gundah saat bercerita, Aqila bisa menebak dengan jitu apa yang membuat sahabatnya itu berantakan.
"Apa?"
Kemudian Aqila bercerita bahwa ia bukan hanya bermaksud menghibur Dina tapi juga berterus terang tentang perasaannya. Ia tidak peduli walaupun Dina masih menyukai Satria.
"Walaupun mungkin selama ini dia merasa aku suka sama dia, tapi kalau aku enggak ngomong bisa jadi dia enggak yakin. Semoga saja kalau sudah yakin, dia jadi lebih mempertimbangkan kemungkinan kita jalan bareng. Semoga saja pelan-pelan dia sadar kalau aku benar-benar serius sama dia." Aqila tertawa getir. "Kemungkinan dia makin menjauh juga ada, sih. Enggak apa-apa, yang penting aku sudah usaha. Aku siap dengan apa pun hasilnya. Kamu percaya enggak, Sat? Kalau tugas kita itu hanya berusaha, Yang di Atas Sana penentu hasilnya?” Aqila melirik langit-langit ruangan. “Aku sedang belajar percaya itu.”
Satria menyesap kopinya. Tidak berkomentar, tetapi pandangannya menerawang memikirkan cerita Aqila.
"Aku bahkan mulai berpikir lebih jauh, Sat. Terakhir aku ngobrol sama dia tentang jodoh, aku bilang mungkin pengalaman kemarin dia batal nikah, Tuhan mau kasih tahu kalau pacaran itu bukan jalan terbaik. Pacaran lama, tapi enggak jadi nikah. Untuk apa coba? Sepertinya dia setuju karena terus bilang "iya aku jadi triple rugi. Berdosa, rugi waktu dan perasaan"." Aqila menyeruput kopinya. "Jadi aku enggak akan ngajak dia pacaran, Sat. Sekalian saja aku ajak nikah. Aku mau nunggu sampai dia siap."
Satria menoleh. Kedua alisnya menjauhi mata, takjub mendengar tiga kalimat terakhir Aqila.
"Mestinya kamu lebih berani dari aku, Sat. Apa kamu enggak enggak merasa kalau Gya sudah kasih kode banyak? Sementara Dina, kan enggak."
Satria tersenyum, menyesap kopinya lagi. Kali ini dia menjawab, "Aku enggak yakin, Qi. Dia suka enggak jelas. Kadang mendekat, kadang menjauh. Bikin bingung."
"Mungkin dia punya prinsip cewek itu perlu menahan diri, menunggu si cowoknya bergerak. Lagian kebingunganmu itu dibikin sendiri. Gampang kok biar enggak bingung. Kamu tanya saja langsung sama dia. Beres, kan? Kamu enggak akan bingung lagi kalau sudah tahu jawabannya." Aqila tertawa pelan. "Masih tetap mau pertahankan prinsip yang itu? Ya, terserah. Pilihan di tanganmu. Tapi kalau aku jadi kamu, punya istri tetap bisa jalan bareng sama tujuanmu di prinsip itu. Kamu pengin adik-adikmu mandiri supaya Ibu enggak terbebani lagi, kan? Kamu pikir Gya bakalan jadi beban tambahan? Aku malah mikir dia bakalan jadi partner paling oke buat sampai ke tujuan itu. Kamu kan tahu gimana baiknya dia sama kita-kita. Masa sama keluarga sendiri enggak."
Satria mengerutkan kening. Pikirannya meracau lagi. Istri? Nikah? Secepat itu? Apa dia enggak bakalan kaget? Bisa-bisa malah dia lari makin jauh dariku.
Namun, setelah merenung agak lama, Satria mulai setuju dengan pemikiran Aqila. Ini memang bukan pertama kali kata "nikah" mengisi benaknya.
* * *
Kamis sore, Satria sedang membereskan laptop di meja kerjanya, ketika terbaca pesan dari Bhanu di grup Driver Pasteur.
Bhanu Indra Brawijaya: Masih pada sibuk, ya? Aku mau kasih kabar tentang Mala.
Lekas, Satria membuka percakapan tersebut dan mengetikkan pesan. Di tengah-tengah mengetikkan pesan, ia membaca "A. Gyandra Candramaya is typing" pada bagian atas layar lebar ponselnya. Satria berhenti mengetik, menunggu pesan Gya muncul duluan di grup. Namun, pesan yang ditunggu tidak kunjung tiba. Bahkan tulisan di bagian atas layar, menghilang. Satria melanjutkan mengetik pesan yang terhenti, berbarengan dengan munculnya tulisan yang memberitahu gadis itu sedang menulis pesan lagi. Satria berhenti kembali dari menuliskan pesan. Seperti tadi ia menunggu pesan Gya muncul. Sayangnya, peristiwa barusan terjadi lagi, pesan yang ditunggu tidak datang juga.
Farhan Alfarezi: Wiihhh pasangan paling ngeheits lagi sama-sama typing. Terus sama-sama menghilang. Pasti ini lagi japrian.
Farhan Alfarezi: Bang Sat: Kamu duluan deh, Bebeb.
Farhan Alfarezi: Gya: Kamu duluan saja, Yayang.
Satria tersenyum tipis. Pesan Farhan itu memunculkan ide. Ia mengganti pesan yang sedianya akan dikirimkan.
Farhan Alfarezi: Gituuu terus. Makanya sampai sekarang dua-duanya enggak muncul-muncul.
Satria BM Ruang Bisnis: Kok tahu Bang? Bisa telepati ya?
Satria BM Ruang Bisnis: Bebeb Gya, duluan deh.
Satria BM Ruang Bisnis: (Emoticon tertawa)
Farhan Alfarezi: Jiaaahh, sekarang dia berani panggil Bebeb.
Satria memang baru pertama kali memanggil Gya "Bebeb", salah satu kata yang akhir-akhir ini jadi bahan bercanda teman-temannya di grup. Satria melakukan itu dalam rangka memberi sinyal kepada Gya bahwa ia ingin mendekat lagi.
Farhan Alfarezi: Mana nih balasan dari bebebnya, Bang? Jangan-jangan bertepuk sebelah tangan.
Senyum Satria berubah kecut.
Satria BM Ruang Bisnis: Iya, nih Bang. Sad.
Satria BM Ruang Bisnis: (Emoticon sedih)
Satria BM Ruang Bisnis: Sorry, Gya. Kalau kamu enggak suka, aku hapus, deh.
Satria benar-benar bermaksud menghapus pesan dengan kata "Bebeb" tadi karena khawatir Gya tidak suka dan makin menjauh. Ia nyaris menghapus pesan itu ketika melihat tulisan "A. Gyandra Candramaya is typing" lagi.